“Bersyukur Bisa Mengenal Tzu Chiâ€
Jurnalis : Veronika Usha, Fotografer : Veronika UshaBetty merasa bersyukur bisa mengenal Tzu Chi, selain bekerja ia juga bisa melatih diri. Karakternya yang keras pun perlahan mulai lembut dan tidak lagi menggunakan kekerasan dalam mengajar anak muridnya. |
| |
Sekitar tahun 2006, melalui sebuah iklan di sebuah surat kabar, Betty Theresia mencoba melamar sebagai guru Akuntansi di SMK Cinta Kasih Tzu Chi. Ketika mengantarkan lamaran ke ITC, ia pun sempat melihat poster-poster rumah susun yang terpajang di sana. Dalam poster itu dijelaskan bahwa rumah susun tersebut gratis untuk para warga bantaran Kali Angke. Awalnya saya tidak percaya, kok ada rumah rusun segini bagus dikasih gratis untuk mereka. Karena tidak pernah mendengar nama Yayasan Buddha Tzu Chi ia pun sempat menjadi bingung, “Waduh, yayasan ini kok kerjanya hanya membantu dan membantu saja?” Berusaha untuk Beradaptasi Awalnya, mendengar nama Yayasan Buddha Tzu Chi, ia berpikir mayoritas anak-anak murid yang akan diajarkannya akan berasal dari ras Tionghoa, tapi kenyataannya saat itu hanya ada satu orang “Tionghoa” dalam kelasnya. “Sembilan puluh sembilan persen dari mereka adalah warga pribumi,” ucap wanita yang sebelumnya mengajar di beberapa sekolah Kristen dan Katolik tersebut. Ia pun mengakui bahwa daya tangkap anak-anak itu pun tidak sebaik anak didiknya terdahulu. “Mungkin karena pengaruh lingkungan mereka dulu, serta gizi yang mereka dapatkan,” tambah Betty. Tidak hanya itu, dari segi lingkungan kerja Betty juga harus bekerja keras untuk bisa menyesuaikan diri dengan beberapa perbedaan. “Waktu pertama kali mengajar, kami mendapatkan training dari guru-guru Taiwan. Di situ saya yang biasanya memakai celana (panjang), harus pake rok,” kenangnya. Karena tidak tahu Betty pun menggunakan rok sepan pendek yang biasa dipakainya untuk mengajar. Alhasil sebuah teguran pun ia terima. “Ibu Rose, yang menjadi pembina kami saat itu meminta saya untuk menggunakan rok yang lebih panjang,” katanya sambil tersenyum. Begitu pula dengan rambut. Kalau dahulu ia lebih suka mengerai rambutnya, saat ini ia harus menggulung rapi rambutnya agar terlihat lebih angun. Ia berkata, “Saya melihat maksud dari peraturan yang mereka terapkan adalah baik. Jadi selama masih berada di jalur yang saya pegang, maka saya yakin bisa untuk beradaptasi.” Meskipun demikian, Betty mengaku sempat merasa kesulitan dalam beradaptasi dengan guru-guru yang berbeda agama. “Dulu, saya terbiasa bergaul dengan guru yang beragama Kristen atau Katolik, jadi sebelum mengajar kami selalu bernyanyi dan berdoa bersama. Tapi di Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi semua agama ada di sini, jadi kami biasanya mengadakan perenungan pagi dan berdoa sesuai keyakinan masing-masing. Saya pun akhirnya belajar untuk bertoleransi dengan mereka,” jelasnya.
Ket : - Betty yang awalnya merupakan sarjana ekonomi tersebut terlanjur jatuh cinta dengan mengajar,dan membaktikan dirinya untuk menjadi seorang guru. (kiri). Pelajaran Budi Pekerti Setelah melihat metode yang diajarkan, Betty menyadari bahwa pendidikan budi pekerti yang diberikan oleh Tzu Chi kepada anak-anak, ternyata sangat baik dalam membentuk karakter mereka. Ia menambahkan, “Pelajaran budi pekerti yang diberikan selama dua jam itu bukan hanya menjadi teori belaka. Para murid dan seluruh guru juga menerapkan budi pekerti dalam kegiatan sehari-hari mereka. Saya melihat ini sangat baik, sekolah ini tidak hanya memberikan ilmu tapi juga bertujuan untuk menciptakan anak-anak yang berbudi baik.” Pulang ke Kampung Batin Tapi karena dari pihak sekolah berharap bahwa seluruh Kepala Sekolah Cinta Kasih harus ikut serta ke Hualien, akhirnya Betty pun memutuskan untuk ikut, dan menunda keberangkatannya ke Medan. “Saya mencoba nego untuk tidak ikut, tapi ternyata tidak bisa. Pihak sekolah meminta saya untuk memundurkan jadwal keberangkatan ke Medan, sehingga setelah pulang dari Hualien baru saya mengambil cuti untuk menjenguk ayah saya,” tambahnya. Setelah tiba di Taiwan dan mengikuti seluruh kegiatan, Betty merasa sangat bersyukur bahwa jodoh telah mempertemukannya dengan Tzu Chi. Banyak hal yang Betty dapatkan setelah bergabung dengan Tzu Chi. Semakin ia mengenal Tzu Chi, semakin besar pula rasa syukur yang ia rasakan. Terlebih setelah melihat langsung sosok Master Cheng Yen. “Waktu itu saya pernah mendengarkan sharing Ibu Guru Zainah. Ia berkata, “Kenapa kalau melihat sosok Master Cheng Yen yang mungil, rasanya kok pengen nagis saja.” Saya pikir masa begitu banget. Tapi setelah saya melihat langsung, memang benar Master Cheng Yen memiliki karismatik dan aura yang begitu kuat,” tegas Betty. Betty pun merasa sangat kagum kepada sosok Master yang meskipun mungil dan sudah berumur, tapi memiliki konsep hidup yang bisa dipercaya oleh banyak murid-muridnya di beberapa negara di dunia. “Sosok mungil yang bisa mengubah dunia,” tambahnya. Tidak hanya bertemu dengan Master, Betty juga merasa sangat senang bisa secara langsung meninjau sekolah Tzu Chi di sana. “Sekolah di sana memang sangat bagus dan bersih. Kebersihan adalah suatu hal yang tidak bisa ditawar.” Oleh karena itu, ia pun mencoba untuk menerapkan sistem kebersihan di sana untuk Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi Jakarta. Salah satunya adalah dengan menyediakan sandal di depan kamar mandi, agar para murid terbiasa menggunakannya saat ingin ke kamar mandi. Metode tersebut bertujuan agar kamar manti tetap terawat dan bersih, karena tidak terkena kotoran dari sepatu para murid ataupun guru. Tidak hanya itu, sebuah program mengenai petugas piket kebersihan juga akan mulai diterapkan. “Jadi setiap anak nantinya akan bertanggung jawab atas meja dan daerah tempat duduk mereka sendiri, serta kebersihan sebuah tempat (etc: jendela) yang diberikan kepadanya. Selain itu, para guru juga harus mengingatkan anak-anak untuk terus meningkatkan kebersihan, dan itu juga dimulai dari diri mereka masing-masing,” jelas Betty, yang juga meminta para guru juga bertanggung jawab atas kebersihan meja mereka masing-masing. | ||