“Besar Gunung, Masih Besar Hati Nenek”

Jurnalis : Hadi Pranoto, Fotografer : Hadi Pranoto
 
 

fotoSabtu, 13 Februari 2010, relawan Tzu Chi mengunjungi Panti Wreda Budi Mulia 04 di Jakarta Selatan. Kegiatan ini dilakukan untuk memberi perhatian dan kebahagiaan kepada para penghuni panti menjelang perayaan Imlek 2561/2010.

Sabtu pagi, 13 Februari 2010, cuaca terlihat sangat mendung. Awan hitam merata membayangi langit Jakarta. Sepertinya perayaan tahun Imlek kali ini juga akan diiringi turunnya hujan. Benar saja, tak lama kemudian hujan pun turun. Cuaca yang dingin dan hujan lebat membuat suasana tampak sunyi. Tapi tidak demikian dengan suasana di Panti Sosial Tresna Wreda Budi Mulia 04 Margaguna, para penghuninya yang mayoritas manula – berusia di atas 60 tahun – tampak bersemangat dengan wajah ceria menyambut kedatangan relawan Tzu Chi. Hujan dan cuaca yang dingin menjadi hangat dengan cinta kasih yang diberikan insan Tzu Chi.

 

Keharuan Nenek Ipah
Sebanyak 20 relawan Tzu Chi dari wilayah He Qi Selatan mengunjungi dan memberi perhatian kepada 156 penghuni panti yang berada di Jl. Margaguna No. 1, Radio Dalam, Jakarta Selatan. Karena dilakukan bertepatan dengan menjelang perayaan Imlek, maka bingkisan yang diberikan pun bernuansa etnik Tionghoa: kue keranjang, jeruk, dan angpau. “Tujuan kami di sini adalah untuk menghibur kakek dan nenek, menyanyi bersama, bermain games, dan memberikan angpau,” kata Niko, relawan Tzu Chi dalam sambutannya.

Meski baru pertama kali mengunjungi panti ini, namun suasana hangat dan kekeluargaan sangat terasa. Relawan Tzu Chi dengan cepat berbaur dan berinteraksi dengan para penghuni yang mayoritas (90%) tak lagi memiliki keluarga. Banyak hal dilakukan relawan, mulai dari mengajak berbincang-bincang, memotong kuku, rambut, menyanyi hingga berjoget bersama. Di penghujung acara, relawan Tzu Chi lantas membagikan bingkisan yang bernuansa etnik itu. Karena banyak penghuni yang sudah sangat lemah dan tidak lagi bisa beraktivitas  (hanya berbaring di ranjang atau sakit - red)  maka relawan Tzu Chi berkeliling ruangan untuk membagikan bingkisan.

Hal ini pun menimbulkan keharuan dan sukacita yang mendalam bagi para penghuni panti. Salah satunya Nenek Ipah yang berusia 72 tahun. Nenek Ipah menangis terharu tatkala menerima bingkisan dari relawan. “Terima kasih banyak, Nenek Ipah nggak bisa ngasih apa-apa, mudah-mudahan semuanya mendapatkan rezeki yang berlimpah,” ungkapnya sembari menyeka kelopak matanya yang basah. Nenek Ipah merasa bahagia sekaligus juga sedih dengan kedatangan para relawan. “Senang dikunjungi, tapi sedihnya saya jadi ingat sama anak dan cucu saya di Kalimantan,” terangnya, “Orang lain datang menjenguk, sementara anak dan cucu saya nggak bisa pada datang.”

foto  foto

Ket : - Niko, relawan Tzu Chi saat menyampaikan kata sambutan dan mengenalkan Tzu Chi kepada 156             orang penghuni panti. (kiri)
        - Koordinator kegiatan, Oey Lim Vong secara simbolis menyerahkan bingkisan kepada penghuni dan            disaksikan kepala panti. (kanan)

Nenek Ipah yang asal Cirebon ini punya jalan cerita yang berliku hingga akhirnya ia menjadi penghuni panti sejak 5 tahun silam. Awalnya Nenek Ipah bersama suami dan anaknya berangkat dari Cirebon ke Kalimantan dalam program transmigrasi. Tujuannya untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Namun setibanya di sana, harapan itu sulit terwujud. Sampai suaminya meninggal, kehidupan mereka tak kunjung membaik. Nenek Ipah kemudian memutuskan pulang ke Cirebon. Ia menolak tawaran putri semata wayangnya yang telah menikah dan telah memiliki anak untuk tinggal bersama. “Nggak enak, nggak tega, dia kan juga punya anak. Nenek nggak mau nyusahin anak,” katanya. Kala itu Nenek Ipah bertekad untuk mandiri dan berusaha di kampung halamannya.

Tetapi nasib berkata lain. Di Cirebon ia tak lagi memiliki pekerjaan. Tak ada lagi sawah yang bisa digarap, dan saudara-saudaranya pun sudah memiliki keluarga dan tanggungan masing-masing. Merasa tidak enak menjadi beban saudara-saudaranya, Nenek Ipah kemudian mengikuti ajakan temannya untuk mengadu nasib ke Jakarta. “Kata teman saya, daripada di Cirebon bengong-bengong, mending cari kerjaan di Jakarta. Jadi pembantu atau baby sitter gitu,” kenang Nenek Ipah. Sesampainya di Jakarta, ternyata memperoleh pekerjaan itu tak semudah yang dibayangkan, apalagi di usia yang senja seperti Nenek Ipah. Maka, daripada luntang-lantung di Jakarta tanpa tempat dan tujuan yang jelas, akhirnya oleh temannya Nenek Ipah dititipkan di Panti Sosial Tresna Wreda Budi Mulia 04 yang waktu itu masih bertempat di Tebet, Jakarta Selatan.

Hidup di panti tentu bukan keinginan Nenek Ipah. Namun Nenek Ipah sudah ikhlas dan menerimanya dengan lapang dada, meski hidup terpisah dari anak dan cucunya. Sejak masuk panti, Nenek Ipah belum pernah dikunjungi oleh anak dan cucunya. “Mungkin anak juga belum berhasil jadi belum bisa nengok Nenek di sini. Makanya dengan kedatangan Bapak dan Ibu semua (relawan) ini seperti kedatangan keluarga sendiri,” ungkapnya, “besarnya gunung, masih lebih besar hati nenek.”

foto  foto

Ket : - Relawan Tzu Chi memperlakukan para penghuni panti ini seperti orangtua mereka sendiri.   (kiri)
         - Keharuan tampak di wajah Nenek Ipah yang sudah 5 tahun lamanya tidak pernah lagi bertemu dengan              anak dan cucunya. (kanan)

Bukan Bantuan, Tapi Perhatian yang Lebih Utama
Bagi Nenek Ipah dan 155 penghuni lainnya di panti ini, kehadiran dari para relawan maupun masyarakat umum lainnya sangatlah membahagiakan. “Bukan kami mengharapkan bantuan atau bingkisannya, tapi ada yang mau ngunjungi kami aja, kami sudah sangat senang,” kata Nenek Mariam (80)       , yang sudah 6 tahun hidup di panti. Nenek Mariam yang tak memiliki anak ini mengaku tak lagi memiliki saudara kandung di kota kelahirannya, Surabaya, Jawa Timur. “Lebih enak hidup di panti, nggak nyusahin keponakan atau orang lain,” katanya dengan tulus. Untuk mengisi waktu dan kejenuhannya, Nenek Mariam membuat kerajinan bunga hiasan dari bahan baku daur ulang. “Modalnya dari panti, nanti kalau ada yang laku baru dikasih bagian saya,” ungkapnya bahagia.

Menurut Kepala Panti Sosial Tresna Wreda Budi Mulia 04, Drs. Saeman, M.Si, kehadiran relawan dalam memberikan perhatian kepada para penghuni di pantinya ini sangat berarti, “Mayoritas penghuni panti ini adalah orang-orang yang tidak lagi memiliki sanak keluarga. Karena itu, kehadiran relawan Tzu Chi ini seperti keluarga bagi mereka.” Ia pun menyampaikan apresiasinya atas niat baik relawan Tzu Chi yang rela mengisi hari liburnya dengan mengunjungi dan memberi perhatian kepada penghuni panti.

Bagi relawan He Qi Selatan, kegiatan yang baru pertama kali mereka adakan ini pun cukup berkesan. “Kita lihat, kakek dan nenek di sini begitu bahagia dengan kehadiran kita,” kata Oey Liem Vong, relawan Tzu Chi yang kebetulan tinggal di daerah sekitar panti itu. “Tzu Chi kan menggalakkan komunitas relawan, jadi pas saya lihat ada panti, saya pikir ini kegiatan yang tepat untuk dilakukan,” terangnya. Bukan hanya penghuni panti yang memperoleh manfaat dari kunjungan ini, para relawan pun mendapat hikmah dari kegiatan yang dilakukan. “Saya jadi merasa jauh lebih muda dan beruntung. Kita juga jadi bahagia, bisa nyanyi dan joget-joget bersama. Kalau di rumah mana pernah kita nyanyi-nyanyi seperti itu,” ungkap Liem Vong.

foto  foto

Ket : - Kebahagiaan dan keceriaan tampak di wajah para penghuni panti. Kehadiran relawan bisa menjadi              pengobat rindu mereka akan kehadiran sebuah keluarga. (kiri)
         - Selain menghibur, relawan juga memotong rambut dan kuku para penghuni panti agar mereka lebih              bersih dan sehat. (kanan)

Seperti Liem Vong, Eva Wiyogo pun merasakan hal yang sama. “Kita ke sini untuk memperhatikan dan menghibur mereka. Sebenarnya yang diharapkan bukan uang atau apa, tapi yang mereka butuhkan adalah perhatian kita. Kita ajak ngobrol, kita elus dia, itu aja yang mereka butuhkan sebenarnya,” kata Eva senang. Sebagai wakil dari He Qi Selatan, ia merasa bangga dengan kegiatan yang telah dilakukan relawan di wilayahnya. “Semoga tambah banyak relawan yang berpartisipasi,” harapnya.

Kegiatan ini sendiri rencananya akan diadakan secara rutin 2 bulan sekali dengan materi kegiatan yang lebih beragam. “Nanti kita juga akan ada games, gunting kuku, rambut, pijat, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang lebih bervariasi, supaya Opa dan Oma ini juga nggak bosan,” kata Liem Vong. “Seperti yang disampaikan Master Cheng Yen, umur manusia ada batasnya. Nah, kita kalau bisa harus membahagiakan orangtua kita dan opa-oma yang tak lagi memiliki keluarga dengan menghibur dan memberikan kesenangan kepada mereka untuk menjalani sisa hidupnya dengan bahagia dan damai. Ingat, kita pun nanti akan menjadi tua,” kata Eva mengingatkan.   

 

  
 
 

Artikel Terkait

Suara Kasih: Berbagi Melalui Celengan Beras

Suara Kasih: Berbagi Melalui Celengan Beras

27 Juni 2012 Salah seorang dari mereka berkata bahwa dia bisa makan lebih sedikit saat makan. Dia berkata pada istrinya, “Keluarga kita terdiri atas 4 orang, setiap kali akan memasak, kita bisa menyisihkan segenggam beras.” Setelah beras dimasukkan ke dalam panci, dia akan mengambil satu genggam dari panci dan menaruhnya kembali di sebuah guci plastik.
 Inilah Kehidupan yang Nyata

Inilah Kehidupan yang Nyata

20 Februari 2012
Kunjungan kelompok mahasiswa Universitas Tzu Chi Taiwan ini akan  kembali dilanjutkan pada hari Rabu 15 Februari 2012 dengan agenda melakukan kunjungan kasih, mengenal lebih dekat DAAI TV Indonesia, juga melihat bagaimana kondisi rumah warga yang menjadi target bedah rumah.
Gempa Jepang : Bantuan Tiba di Tokyo

Gempa Jepang : Bantuan Tiba di Tokyo

15 Maret 2011
Demi mengantarkan cinta kasih ke Jepang, maka pada tanggal 13 Maret 2011 malam Yayasan Buddha Tzu Chi telah menghantarkan sebanyak 5.000 helai selimut tebal dan bahan bantuan lainnya ke CTW Logistics Corporation yang ditunjuk sebagai tempat pengumpulan materi bantuan oleh Kementerian Luar Negeri Taiwan.
Keharmonisan organisasi tercermin dari tutur kata dan perilaku yang lembut dari setiap anggota.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -