”Bukan Sedih, Saya Sangat Terharu”

Jurnalis : Juniwati Huang (He Qi Utara), Fotografer : Juniwati Huang (He Qi Utara)
 
foto

* Giok San Mina (61) yang akrab dipanggil Ama ini tak kuasa menahan haru saat mengetahui salah seorang relawan Tzu Chi, Oka yang memberi perhatian padanya ternyata mengalami kekurangan fisik. ”Ama jangan sedih, saya ke sini untuk menghibur Ama,” kata Oka.

Seorang ibu tua tampak sedang duduk di sebuah kursi depan pintu rumahnya ketika relawan Tzu Chi menapaki lantai 2, pelataran Rumah Susun Tanah Merah, Blok L No.10. Saat melihat kedatangan relawan Tzu Chi, dari kejauhan Ibu tersebut mengangkat tangannya dan terlihat senyuman di wajahnya yang menua. Asien Shijie, relawan yang menangani kasus pasien ini tersebut berjalan mendekat, diikuti oleh relawan lainnya sambil melambaikan tangan dan memanggil ceria, “Ama…!” Relawan lainnya satu per satu memperkenalkan diri sambil mencium tangan Ama, panggilan akrab pasien itu.

Pagi itu, Minggu, 19 April 2009, tangis haru langsung membanjiri wajah Ama yang diikuti keprihatinan relawan. Saat ditanya apakah Ama sedang bersedih, ia menjawab dengan logat Mandarin yang khas ”Pu se nan kuo, wo hen kan tung (bukan sedih, saya sangat terharu -red).” Sempat tinggal di Taiwan selama 10 tahun, Ama berkata-kata dalam bahasa campuran Mandarin dan Hokkian dalam menyampaikan keharuannya. Tangis yang berlangsung cukup lama membuat para relawan berlutut mengelilingi Ama untuk menenangkan dan menghiburnya.

Menghadapi kenyataan
Nama asli Ama adalah Giok San Mina, dengan nama Mandarin ”Chen Ie Lan”. Di usianya yang ke-61, guratan kecantikan wajah Ama masih tampak di sela-sela kerutan wajah akibat termakan usia. Di rumah susun yang hanya terdiri dari sebuah kamar tidur dan WC, Ama dan suaminya, Asiong, tinggal berdua tanpa dikaruniai anak. Asiong adalah suami dari pernikahan Ama yang kelima. Sejak kepulangan Ama dan Asiong dari Taiwan, mereka mulai melakukan usaha dagang. Kehidupan berjalan normal hingga Ama menderita stroke yang menyebabkan kedua kakinya lumpuh sejak 6 bulan lalu. Pada saat bersamaan, usaha mereka mengalami kegagalan, dan orang-orang yang berhutang pada mereka pergi tanpa bertanggung jawab.

Melihat ketidakberdayaan istri dan gagalnya usaha dagang sebagai sumber penghidupan mereka, sang suami tidak dapat menerima kenyataan, dan akbiatnya mengalami depresi berat. Suami Ama berasal dari Taiwan dan tidak dapat berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Keluarga suami di Taiwan sudah memutuskan hubungan keluarga karena kesalahan yang pernah mereka lakukan. Tiga anak Ama dari pernikahan dengan suami sebelumnya juga tidak berhubungan lagi dengan Ama. Dengan latar belakang demikian, praktis mereka tidak memiliki kerabat lain di Jakarta yang dapat membantu. Tidak adanya dukungan keluarga dan teman juga menambah berat beban suami untuk menghadapi kenyataan.

Berjodoh dengan Tzu Chi
”Saat pertama kali relawan Tzu Chi berkunjung, rumahnya gelap dan bau sekali. (Asiong) Rambutnya gondrong, kumisan, dan sedang ngoceh-ngoceh sendiri. Ama saat itu terbaring di lantai, dan berceceran dengan kotoran (air besar) dan air kencing. Itu penyebab baunya, dan listriknya sudah dimatikan karena tidak dibayar,” cerita Asien sejie menjelaskan kondisi awal Ama dan Asiong yang diperolehnya dari Marlinda, relawan Tzu Chi yang pertama kali menangani kasus ini.

Setelah mendapatkan informasi kasus ini dari Joli Shijie, relawan Tzu Chi memberikan perhatian bagi pasangan suami istri ini. Setiap hari Senin, Asien dan Marlinda Shijie mengantar Ama berobat dan melakukan fisioterapi di RS Atmajaya, Pluit, Jakarta Utara. Suami Ama sempat dirawat di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Grogol, Jakarta Barat akibat depresi berat selama 1 minggu. Setelah berangsur sembuh, pasangan tersebut akhirnya juga mendapat bantuan keuangan untuk biaya hidup mereka. Hingga saat ini, Ama mulai dapat berjalan walaupun masih sangat lemah—dengan bantuan tongkat. Suami Ama juga masih mendapatkan pengobatan rutin untuk memulihkan gangguan kejiwaannya.

foto  foto

Ket : - Walaupun senang dikunjungi relawan Tzu Chi, Ama sempat memberikan pesan bahwa relawan tidak boleh
           melupakan kewajibannya. ”Kasihan juga relawan (Tzu Chi) kalau sering ke sini, mereka juga ada pekerjaan,"
           jelas Ama. (kiri)
         - Ama yang mengalami stroke tidak bisa beraktivitas. Kini ia sedang berlatih jalan denga menggunakan
           tongkat. Kunjungan relawan Tzu Chi menjadi pendorong semangatnya untuk terus berusaha. (kanan)

”Nah dia (Asiong) sering gini nih, suka sisain makanan. Takut ngga ada makanan kalo dihabisin katanya,” ujar Asien setengah berteriak tatkala melihat sisa makanan di atas meja. Asien melanjutkan bahwa Asiong memang memiliki kebiasaan tidak menghabiskan makanan karena khawatir tidak ada makanan lagi untuk keesokan harinya, namun makanan itu tidak dihabiskan juga, ”Nga dihabisin, tapi dianggap ga ada.” Pada awalnya, gizi makanan Asiong dan Ama sangat tidak cukup. Setiap hari Asiong hanya membeli mi instan untuk mengisi menu makan mereka sehari-hari. Hingga suatu saat Ama menjadi sangat gemuk dan dokter melarang makan nasi dan mi setiap hari, karena hal itu yang menyebabkan kakinya menjadi tidak bertenaga. Berdasarkan keterangan dokter itu, akhirnya relawan Tzu Chi memesankan makanan rantangan bagi Ama dan Asiong.

Karena kondisi Ama yang lumpuh, pekerjaan rumah menjadi tugas Asiong dengan keterbatasannya. Asiong dan Ama tidur di sebilah papan kayu ranjang dan tidak menggunakan kasur. Kasur yang dahulu pernah digunakan sudah bau dan rusak karena Ama sering mengompol. Asiong pun keberatan untuk mengganti kasur karena sampai saat ini Ama masih mengompol. Jika mencuci piring, Asiong juga tidak menggunakan sabun cuci piring, sehingga rumah tersebut tidak terawat dengan bersih. Para relawan pun membantu membersihkan rumah dengan menyapu dan mengepel dalam kunjungan tersebut.

Hati seorang Ibu
”Anak saya ada yang di Batam, ada yang di Hongkong, tapi tidak ada satu pun yang datang melihat, kalian semua sungguh baik,” cerita Ama sambil menangis (dalam bahasa Mandarin –red). Kehadiran relawan memberikan penghiburan yang sangat berarti bagi Ama. Selain bantuan perawatan secara fisik, perhatian relawan memberi kehangatan bagi hati Ama. Asien Shijie bercerita bahwa di sela-sela kunjungannya, Ama juga terkadang dapat memberikan nasihat kepadanya karena dianggap terlalu cerewet. Selama perjalanan kasus, Asien pun memperlakukan Ama bagaikan orangtuanya sendiri. ”Saya sudah tidak punya orangtua, makanya saya anggap orang tua ini sebagai orangtua saya sendiri,” ungkapnya.

Saat melihat Oka Shijie, seorang relawan Tzu Chi dengan cacat pada kedua tangannya, Ama langsung meneteskan air mata lagi karena merasa kasihan sambil berusaha menghibur, ”Jangan dipikirkan ya.” Bagaikan seorang ibu terhadap anaknya, Ama mengelus tangan Oka dan terus mengulang-ulang pesannya agar Oka tidak merasa tertekan dengan kondisi cacatnya. Setelah Oka dan relawan lain membantu menjelaskan bahwa Ama tidak perlu mengkhawatirkan relawan tersebut karena ia sudah dapat hidup mandiri dan tidak bersedih atas keadaannya, Ama menjadi lebih tenang. ”Ama jangan sedih, saya ke sini untuk menghibur Ama,” tutur Oka sambil membelai Ama. Sambil berbincang-bincang, Ama menanyakan apakah Oka sudah punya pacar, ”Ia sangat cantik,” ujarnya menunjuk pada Oka. Seakan berusaha membesarkan hati Oka, Ama meminta relawan lain menerjemahkan dari bahasa Mandarin, ”Bilang padanya, dia pasti akan menemukan pasangan yang baik.” Keduanya pun saling menghibur bagaikan seorang ibu dan anak. Ditengah penderitaan yang dialami, Ama masih dapat berbesar hati memikirkan penderitaan orang lain dan memberikan kasih sayangnya.

foto  foto

Ket : - Selain kunjungan kasih, relawan Tzu Chi juga membersihkan tempat tinggal Ama. Suami Ama, Asiong
           mengalami depresi berat sehingga tidak bisa mengurus istrinya dengan baik. Kondisi agak membaik
           setelah relawan membawanya berobat ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ), Grogol. (kiri)
         - Relawan Tzu Chi dengan penuh perhatian membersihkan rumah Ama. Sebelum bertemu insan Tzu Chi,
           kondisi rumah ini sangat kotor dan berbau. (kanan)

Walaupun senang dikunjungi relawan Tzu Chi, Ama sempat memberikan pesan bahwa relawan tidak boleh melupakan kewajibannya. ”Kasihan juga relawan (Tzu Chi) kalau sering ke sini, mereka juga ada pekerjaan, kalau ke sini, tidak bekerja, nanti bos-nya jadi bingung,” tutur Ama dalam bahasa Indonesia yang terpatah-patah.

Dengan tekad membalas kebaikan Tzu Chi yang telah membantunya, Ama pun menyatakan keinginannya untuk menjadi relawan Tzu Chi. Di saat yang bersamaan, Ama menyatakan ketidakmampuannya untuk menjadi relawan karena kondisinya, ”Mau..., tapi bagaimana? Saya tidak bisa jalan,” ucap Ama secara perlahan dengan nada menyesal. Para relawan berkata bahwa dengan niatnya saja, sebenarnya Ama telah membuka hatinya untuk memberi.

Tidak semua orang yang masih berkesempatan untuk berbakti terhadap orangtua dapat melakukannya dengan baik. Demikian juga tidak semua anak yang ingin berbakti masih memiliki kesempatan tersebut. Dan tidak semua orang yang berniat untuk bersumbangsih dalam kebajikan memiliki kemampuan. Selain menyadari berkah yang telah kita miliki, kisah Ama dan Asiong mengingatkan kita untuk menjalankan pesan Master mengenai dua hal yang tidak dapat ditunda di dunia selama masih berkesempatan: berbakti kepada orang tua dan berbuat kebajikan.

 

Artikel Terkait

Berbagi Cerita Berbagi Cinta

Berbagi Cerita Berbagi Cinta

10 Juni 2014 Minggu, 1 Juni 2014, He qi Pusat kembali melakukan kegiatan pembagian bantuan bagi para penerima bantuan. Kegiatan ini dihadiri oleh 94 gan en hu dan 56 anak asuh. Kegiatan ini juga dibantu oleh 43 relawan He Qi  Pusat.
Dari Signature Club untuk Padang

Dari Signature Club untuk Padang

06 November 2009
Dari turnamen golf ini, ditambah  lelang lukisan dan membership South Link serta dari Signature Club sendiri, terkumpul sejumlah dana yang kesemuanya diserahkan kepada Tzu Chi untuk membantu para korban gempa di Padang.
Banjir Jakarta: Sepenggal Kisah Nasi Bungkus

Banjir Jakarta: Sepenggal Kisah Nasi Bungkus

19 Januari 2013
Di saat pembagian berlangsung, terlihat 2 sosok pria yang langsung memakan nasi bungkus yang baru mereka terima, tidak jauh dari antrian. Saya menghampiri mereka dan memulai perbincangan, ternyata mereka adalah ayah dan anak.
Lebih mudah sadar dari kesalahan yang besar; sangat sulit menghilangkan kebiasaan kecil yang buruk.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -