“Citra Diri†dan Pengenalan Budaya Humanis Tzu Chi
Jurnalis : Teddy Lianto, Fotografer : Teddy Lianto
|
| ||
Untuk pertama kalinya, Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia mengadakan pengenalan budaya humanis Tzu Chi kepada mahasiswa selama 3 hari dua malam. Awal mulanya tercipta jalinan jodoh ini dimulai dari permintaan STAB Nalanda, di mana mereka akan mengadakan camp “Citra Diri” yang bertujuan memberikan pemahaman tentang arti “Citra Diri” itu sendiri kepada mahasiswa yang akan lulus dari STAB Nalanda. Semacam masa orientasi tentang “Citra Diri”, tetapi itu semacam salah satu syarat untuk lulus di STAB Nalanda. Mereka meminta Tzu Chi untuk menjadi panitia dan pelaksana kegiatan tersebut. “Kita pikir jodoh yang baik ini akan lebih baik jika bisa mengajak STAB lain, yang mungkin mau sama-sama sharing. Kebetulan begitu ditawarkan ternyata banyak STAB yang mau,” terang Suriadi Huang, Ketua Divis Training Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. “Topik utama kita adalah kaitan dengan “citra diri” itu sendiri dan kompetensi Tzu Chi, yaitu budaya humanis Tzu Chi. Apa yang baik dari Tzu Chi juga kita bisa sharing kepada mereka ,” lanjutnya. Suriadi juga menerangkan jika sebenarnya kegiatan ini adalah pengenalan dan pembiasaan budaya humanis Tzu Chi. “Karena kalau cuma pengenalan kita bisa pakai ceramah Master. sedangkan pembiasaan itu kan harus dibiasakan. Jadi, pengenalan dan pembiasaan dari budaya humanis Tzu Chi perlu dirasakan. Karena ketika hanya di dengar, hasilnya akan berbeda dengan jika didengar dan diaplikasikan (Budaya Humanis Tzu Chi). feel nya pasti akan berbeda,” ungkap suriadi. Suriadi juga menambahkan jika kegiatan Ini bisa dibilang sebagai salah satu contoh untuk menyebarkan budaya humanis Tzu Chi . “Master Cheng Yen selalu bilang, salah satu tugas insan Tzu Chi adalah di mana saja, ketemu siapa saja kita harus cerita Tzu Chi. Tentunya sebagai yayasan harus memberikan keteladanan di mana ada organisasi yang kita kenal, kita juga selalu ingin sharing kan mengenai Tzu Chi. Dengan harapan semakin banyak orang yang tahu Tzu Chi dan mendukung Tzu Chi, aliran cinta kasih ini akan semakin lama akan semakin luas,” jelasnya.
Keterangan :
Niat dan Motivasi yang Kuat untuk Berubah Oleh karena itu, terbersit di benak saya niat untuk bervegetaris. “Saya pernah dengar jika dilihat dari jumlah gigi kita (32). Gigi taring yang berfungsi untuk makan daging itu hanya ada 4 buah yang berarti hanya seperdelapan. Jadi dari tubuh kita sendiri telah berkata bahwa kita (manusia) adalah pemakan tumbuh-tumbuhan. Tapi itupun saya masih kurang yakin. Tetapi setelah mendengar penjelasan dari relawan jika ternyata sapi minum sebanyak 68-91 liter sehari, padahal jauh di sana (Afrika) kekurang air. Saya rasa tindakan untuk ikut bervegetaris adalah salah satu bentuk nyata untuk menyelamatkan bumi,” jelas Aulia Qisthi yang mengenyam pendidikan di Universitas Indonesia, jurusan teknik lingkungan . “Menurut saya yang paling penting ialah sebuah niat dan motivasi yang kuat. Karena mengingat kantin-kantin di Universitas Indonesia belum ada yang vegetaris, maka saya pun menginformasikan mengenai tekad dan niat saya untuk bervegetaris kepada teman-teman, sehingga jika saya menyimpang, mereka akan mengingatkan saya kembali ke jalur yang semestinya,” ujar mahasiswi semester ke lima ini. Belajar untuk memaafkan dan Berbakti kepada orang tua Winarno juga menerangkan jika di STAB Maha Prajna, para siswa sejak mulai kuliah sudah harus bervegetaris. Budaya berbaris sendiri sudah dipraktikkan dalam menunggu giliran mengambil makanan dan memasuki ruang dharmasala. Dalam tata cara makan juga menggunakan sumpit, selama makan tidak boleh bersuara dan nasi sebutir pun tidak boleh dibuang, harus dihabiskan, serta tidak boleh merokok selama di lingkungan sekolah. Jadi secara tidak langsung budaya di Tzu Chi dengan di STAB Maha Prajna sendiri sudah hampir sama. Winarno juga menceritakan jika selama datang ke acara pengenalan budaya humanis Tzu Chi ini dirinya merasa sangat beruntung. Ia bisa memahami arti berbakti kepada orang tua yang sesungguhnya.
Keterangan :
Pada usia satu tahun setengah, ibunda Winarno meninggal dan pada usia dua tahun, papanya pergi entah kemana. Jadi yang membesarkannya ialah nenek dan pamannya. Selama bersekolah, ia juga mengalami kendala dalam hal keuangan untuk iuran sekolah. Beruntung, tetangganya berkenan untuk membantunya membayarkan iuran sekolah sehingga ia dapat terus bersekolah. Pada saat ia berusia 12 tahun dan naik ke kelas 6 SD, papanya kembali ke rumah. Rasa bahagia mulai muncul dalam diri Winarno, karena selama ini ia kurang kasih sayang dari orang tua kandungnya. Harapan akan kasih sayang papanya membuat ia merasa bahagia. Tetapi hal yang ia impikan ternyata tidak seperti kenyataannya. Selama papanya berada di rumah, Winarno sering diperlakukan kasar: dipukul dan diomeli. Pada kala itu sempat terbersit dalam pikirannya kenapa papa saya seperti itu, rasanya berbeda dengan anak-anak lain yang punya orang tua lengkap. Akumulasi perlakuan tidak baik papanya, menciptakan sebuah gundukan kebencian yang kian lama kian membukit. Lalu suatu hari papanya menikah lagi, Winarno pun dibawa ikut tetapi di sana ia kembali diperlakukan dengan kasar oleh papa dan ibu tirinya. “Rasa benci sebenarnya sudah timbul sejak masa SD ketika papa pulang ke rumah. Kok saya seperti ini sih, kok saya nggak seperti yang lain punya ibu, dan papanya juga menyayangi anaknya. Tetapi saya sendiri kok seperti begini. Terus kalo pulang saya nggak mau nyapa papa, nggak mau tahu papa lagi ngapain. Pokoknya saya benci banget sama papa saya,” terang Winarno yang mengambil jurusan Dhamma Achariya di STAB Maha Prajna.” Bahkan Winarno pernah berujar kepada papa nya,” awas, kalau nanti saya besar saya lawan,” terangnya. Setelah kembali ke rumah sang nenek, Winarno pun mengambil kejar paket C karena setelah lulus SMP, ternyata ia tidak dapat melanjutkan masuk ke SMA karena kendala biaya. Ia pun mengambil kejar paket C untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan sertifikat dari kejar Paket C tersebut, Winarno di daftarkan ke STAB Maha Prajna oleh pamannya. Ketika bersekolah Di Maha Prajna, Winarno harus tinggal di asrama sekolah, karena rumahnya yang jauh. Selama belajar agama buddha di Maha Prajna, Winarno pun memahami Hukum karma, “ ternyata itu adalah karma saya sendiri di kehidupan masa lalu yang sedang berbuah,” ujar Winarno. Ia pun berusaha untuk menerima dalam hati kesulitan-kesulitan yang sudah berlalu tersebut. Tetapi rasa kebencian dalam diri masih tetap melekat dan sulit untuk dihilangkan. Selama mengikuti kegiatan pengenalan budaya humanis Tzu Chi, ia berjumpa dengan relawan Tzu Chi, Andy Wang Shixiong yang mengajarkan jika meskipun orang tua memperlakukan diri kita semena - mena kita tetap harus berbakti dan melepas kemelekatan terhadap rasa benci dalam diri. “Shixiong Andy bilang, walaupun papa seperti itu, saya harus tetap berbakti dan menyikapinya dengan baik. Jika saya dapat menyikapi hal ini dengan baik, perasaan benci dan tersiksa saya perlahan-lahan juga dapat berkurang dan saya tidak akan tersiksa dengan rasa benci ini lagi,” Sekarang Winarno pun mulai belajar untuk bisa menyayangi papanya dan menerima perlakuan kasar yang ia terima di masa lampau dan mencoba untuk menerapkan pelajaran yang ia dapat selamat di Tzu Chi untuk berguna bagi keluarga dan masyarakat. | |||
Artikel Terkait
Banjir Jakarta:Banjir Pasti Berlalu, Cinta Kasih Tetap Di Hati
30 Januari 2013 Puluhan warga yang telah dievakuasi sejak hari pertama banjir, telah memadati Posko Yayasan Buddha Tzu Chi di Jalan Pluit Indah. Para korban banjir mengambil bantuan sembako dan makanan, ada juga korban mengambil obat-obatan yang telah disediakan oleh Yayasan Buddha Tzu Chi.Bermuara dalam Lautan Cinta Kasih
23 Agustus 2016Untuk mewujudkan niat baik yang digenggam oleh para karyawan Toko Sejahtera General Houseware, sebanyak 27 karyawan bersama-sama menuangkan kumpulan tetesan cinta kasih pada kegiatan penuangan celengan bambu pada 9 Agustus 2016. Koin yang terkumpul disalurkan untuk membantu sesama yang membutuhkan.
Berawal dari Sebersit Niat
12 Januari 2016Pada 31 Desember 2015, relawan Tzu Chi Tanjung Balai Karimun mengadakan kegiatan pelestarian lingkungan dengan mengambil sampah dan memilahnya di salah satu lokasi acara yang dihadiri oleh Bupati Karimun, Coastal Area. Sebanyak 40 relawan turut berpartisipasi dalam kegiatan ini, tak terkecuali warga dan para pedagang yang juga membantu memungut sampah-sampah.