“Citra Diri” dan Pengenalan Budaya Humanis Tzu Chi

Jurnalis : Teddy Lianto, Fotografer : Teddy Lianto
 
 

foto
Suriadi Shixiong mengatakan jika kegiatan Ini bisa dibilang sebagai salah satu contoh untuk menyebarkan budaya humanis Tzu Chi . Kan Master Cheng Yen selalu bilang, salah satu tugas insan Tzu Chi adalah di mana saja, ketemu siapa saja kita harus cerita Tzu Chi.

Sering dikatakan bahwa citra diri dan profesionalisme seseorang salah satunya dapat dilihat dari sikapnya dalam keseharian. Lalu sikap keseharian seperti apa yang dapat membangun citra diri yang baik? Sikap penuh bersyukur, menghormati dan saling mengasihi. Hal-hal inilah yang disharingkan oleh para relawan Tzu Chi kepada para murid-murid dari lima Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB) di Indonesia dan beberapa peserta dari organisasi kemahasiswaan.

Untuk pertama kalinya, Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia mengadakan pengenalan budaya humanis Tzu Chi kepada mahasiswa selama 3 hari dua malam.  Awal mulanya tercipta jalinan jodoh ini dimulai dari permintaan STAB Nalanda, di mana mereka akan mengadakan camp “Citra Diri” yang bertujuan  memberikan pemahaman tentang arti  “Citra Diri” itu sendiri kepada mahasiswa yang akan lulus dari STAB Nalanda. Semacam masa orientasi tentang “Citra Diri”, tetapi itu semacam salah satu syarat untuk lulus di STAB Nalanda. Mereka meminta Tzu Chi untuk menjadi panitia dan pelaksana kegiatan tersebut.

“Kita pikir jodoh yang baik ini akan lebih baik jika bisa mengajak STAB lain, yang mungkin mau sama-sama sharing. Kebetulan begitu ditawarkan ternyata banyak STAB yang mau,” terang Suriadi Huang, Ketua Divis Training Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. “Topik utama kita adalah kaitan dengan “citra diri” itu sendiri dan kompetensi Tzu Chi, yaitu budaya humanis Tzu Chi. Apa yang baik dari Tzu Chi juga kita bisa sharing kepada mereka ,” lanjutnya.

Suriadi juga menerangkan jika sebenarnya kegiatan ini adalah pengenalan dan pembiasaan budaya humanis Tzu Chi. “Karena kalau cuma pengenalan kita bisa pakai ceramah Master. sedangkan pembiasaan itu kan harus dibiasakan.  Jadi, pengenalan dan pembiasaan dari budaya humanis Tzu Chi perlu dirasakan. Karena ketika hanya di dengar, hasilnya akan berbeda dengan jika didengar dan diaplikasikan (Budaya Humanis Tzu Chi).  feel nya pasti akan berbeda,” ungkap suriadi.

Suriadi juga menambahkan jika kegiatan Ini bisa dibilang sebagai salah satu contoh untuk menyebarkan budaya humanis Tzu Chi . “Master Cheng Yen selalu bilang, salah satu tugas insan Tzu Chi adalah di mana saja, ketemu siapa saja kita harus cerita Tzu Chi.  Tentunya sebagai yayasan harus memberikan  keteladanan di mana  ada organisasi yang kita kenal,  kita juga selalu ingin sharing kan mengenai Tzu Chi. Dengan harapan semakin banyak orang yang tahu Tzu Chi dan mendukung Tzu Chi, aliran cinta kasih ini akan semakin lama akan semakin luas,” jelasnya.

foto  foto

Keterangan :

  • Di kegiatn ini, para mahasiswa juga mendapat pengenalan dan praktik melakukan pelestarian lingkungan yang baik dan benar (kiri).
  • Relawan memotivasi para mahasiswa agar ketika mereka pulang, mereka bisa bertekad ”Citra Diri” yang mereka pelajari di sini bisa mereka terapkan di rumah meskipun lingkungan tempat mereka tinggal tidak mendukung. Tentunya akan terjadi hambatan-hambatan. Makanya mereka mementaskan drama biksu Jianzhen. Jadi perlu setelah datang kemari mereka bisa bertekad dan menjalankan tekad itu (kanan).

 Niat dan Motivasi yang Kuat untuk Berubah
Setelah tiga hari mengikuti kegiatan ini, Saya juga merasa heran bagaimana relawan Tzu Chi yang memiliki perbedaan bahasa, wilayah dan waktu dengan Master Cheng Yen dapat begitu mengangumi master. Setelah berbincang-bincang dengan mentor saya, saya baru tahu jika Master Cheng Yen selalu mengatakan apa yang telah ia kerjakan dan ia selalu melakukannya dari diri sendiri. Keteladanan inilah yang  mungkin terus menginspirasi relawan untuk terus bermunculan dan mau berjalan di Jalan Bodhisatwa ini. Oleh karena itu saya merasa keteladanan adalah hal yang efektif untuk membuat orang terinspirasi. Bila kita dapat merubah diri kita menjadi baik, perubahan baik ini mungkin tidak hanya dapat dirasakan oleh orang lain tetapi juga lingkungan sekitar.

Oleh karena itu, terbersit di benak  saya niat untuk bervegetaris. “Saya pernah dengar jika dilihat dari jumlah gigi kita (32). Gigi taring yang berfungsi untuk makan daging itu hanya ada 4 buah yang berarti hanya seperdelapan. Jadi dari tubuh kita sendiri telah berkata bahwa kita (manusia) adalah pemakan tumbuh-tumbuhan. Tapi itupun saya masih kurang yakin. Tetapi setelah mendengar penjelasan dari relawan jika ternyata sapi minum sebanyak 68-91 liter sehari, padahal jauh di sana (Afrika) kekurang air. Saya rasa tindakan untuk ikut bervegetaris adalah salah satu bentuk nyata untuk menyelamatkan bumi,” jelas Aulia Qisthi yang mengenyam pendidikan di Universitas Indonesia, jurusan teknik lingkungan .

“Menurut saya yang paling penting ialah sebuah niat dan motivasi yang kuat. Karena mengingat kantin-kantin di Universitas Indonesia belum ada yang vegetaris, maka saya pun menginformasikan mengenai tekad dan niat saya untuk bervegetaris  kepada teman-teman, sehingga jika saya menyimpang, mereka akan mengingatkan saya kembali ke jalur yang semestinya,” ujar mahasiswi semester ke lima ini.

Belajar untuk memaafkan dan Berbakti kepada orang tua
“Sebelumnya saya pernah dengar-dengar tentang Tzu Chi, tetapi itu hanya sekedar tahu jika Tzu Chi sering bagi-bagi beras. Tetapi sejak datang ke kegiatan ini, saya suka di sini karena cinta kasihnya universal tanpa pandang bulu,” terang Winarno, mahasiswa STAB Maha Prajna semester tujuh ini.

Winarno juga menerangkan jika  di STAB Maha Prajna, para siswa sejak mulai kuliah sudah harus bervegetaris. Budaya berbaris sendiri sudah dipraktikkan dalam menunggu giliran mengambil makanan dan memasuki ruang dharmasala. Dalam tata cara makan juga menggunakan sumpit, selama makan tidak boleh bersuara dan nasi sebutir pun tidak boleh dibuang, harus dihabiskan, serta tidak boleh merokok selama di lingkungan sekolah. Jadi secara tidak langsung budaya di Tzu Chi dengan di STAB Maha Prajna  sendiri sudah hampir sama.  Winarno juga menceritakan jika selama datang ke acara pengenalan budaya humanis Tzu Chi ini dirinya merasa sangat beruntung. Ia bisa memahami arti berbakti kepada orang tua yang sesungguhnya.

foto  foto

Keterangan :

  • Menurut Aulia yang paling penting ialah sebuah niat dan motivasi yang kuat, karena dengan ikut bervegetaris adalah salah satu bentuk nyata untuk menyelamatkan bumi (kiri).
  • Winarno yang merasa tergugah setelah mendengar sharing relawan Tzu Chi mengenai arti berbakti kepada orang tua (kanan).

Pada usia satu tahun setengah, ibunda Winarno meninggal dan pada usia dua tahun, papanya pergi entah kemana. Jadi yang membesarkannya ialah nenek dan pamannya. Selama bersekolah, ia juga mengalami kendala dalam hal keuangan untuk iuran sekolah. Beruntung, tetangganya berkenan untuk  membantunya membayarkan iuran sekolah sehingga ia dapat terus bersekolah.  

Pada saat ia berusia 12 tahun dan naik ke kelas 6 SD, papanya kembali ke rumah. Rasa bahagia mulai muncul dalam diri Winarno, karena selama ini ia kurang kasih sayang dari orang tua kandungnya. Harapan akan kasih sayang papanya membuat ia merasa bahagia. Tetapi hal yang ia impikan ternyata tidak seperti kenyataannya. Selama papanya berada di rumah, Winarno sering diperlakukan kasar: dipukul dan diomeli. Pada kala itu sempat terbersit dalam pikirannya kenapa papa saya seperti itu,  rasanya berbeda dengan anak-anak lain yang punya orang tua lengkap. Akumulasi perlakuan tidak baik papanya, menciptakan sebuah gundukan kebencian yang kian lama kian membukit.

Lalu suatu hari papanya menikah lagi, Winarno pun dibawa ikut tetapi di sana ia kembali diperlakukan dengan kasar  oleh papa dan ibu tirinya. “Rasa benci sebenarnya sudah timbul sejak masa SD ketika papa pulang ke rumah. Kok saya seperti ini sih, kok saya nggak seperti yang lain punya ibu, dan papanya juga menyayangi anaknya. Tetapi saya sendiri kok seperti begini. Terus kalo pulang saya nggak mau nyapa papa, nggak mau tahu papa lagi ngapain. Pokoknya saya benci banget sama papa saya,” terang Winarno yang mengambil jurusan Dhamma Achariya di STAB Maha Prajna.”  Bahkan Winarno pernah berujar kepada papa nya,” awas, kalau nanti saya besar saya lawan,” terangnya.

Setelah kembali ke rumah sang nenek, Winarno pun mengambil kejar paket C karena setelah lulus SMP, ternyata ia tidak dapat melanjutkan masuk ke SMA karena kendala biaya. Ia pun mengambil kejar paket C untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan sertifikat dari kejar Paket C tersebut, Winarno di daftarkan ke STAB Maha Prajna oleh pamannya.

Ketika bersekolah Di Maha Prajna, Winarno harus tinggal di asrama sekolah, karena rumahnya yang jauh. Selama belajar agama buddha di Maha Prajna, Winarno pun memahami Hukum karma, “ ternyata itu adalah karma saya sendiri di kehidupan masa lalu yang sedang berbuah,” ujar Winarno.  Ia pun berusaha untuk menerima dalam hati kesulitan-kesulitan yang sudah berlalu tersebut. Tetapi rasa kebencian dalam diri masih tetap melekat dan sulit untuk  dihilangkan.

Selama mengikuti kegiatan pengenalan budaya humanis Tzu Chi, ia berjumpa dengan relawan Tzu Chi, Andy Wang Shixiong yang mengajarkan jika meskipun orang tua memperlakukan diri kita semena - mena kita tetap harus berbakti dan melepas kemelekatan terhadap rasa benci dalam diri. “Shixiong Andy bilang, walaupun papa seperti itu, saya harus tetap berbakti dan menyikapinya dengan baik. Jika saya dapat menyikapi hal ini dengan baik, perasaan benci dan tersiksa saya perlahan-lahan juga dapat berkurang dan saya tidak akan tersiksa dengan rasa benci ini lagi,” Sekarang Winarno pun mulai belajar untuk bisa menyayangi papanya dan menerima perlakuan kasar yang ia terima di masa lampau dan mencoba untuk menerapkan pelajaran yang ia dapat selamat di Tzu Chi untuk berguna bagi keluarga dan masyarakat.

  
 

Artikel Terkait

Banjir Jakarta:Banjir Pasti Berlalu, Cinta Kasih Tetap Di Hati

Banjir Jakarta:Banjir Pasti Berlalu, Cinta Kasih Tetap Di Hati

30 Januari 2013 Puluhan warga yang telah dievakuasi sejak hari pertama banjir, telah memadati Posko Yayasan Buddha Tzu Chi di Jalan Pluit Indah. Para korban banjir mengambil bantuan sembako dan makanan, ada juga korban mengambil obat-obatan yang telah disediakan oleh Yayasan Buddha Tzu Chi.
Bermuara dalam Lautan Cinta Kasih

Bermuara dalam Lautan Cinta Kasih

23 Agustus 2016

Untuk mewujudkan niat baik yang digenggam oleh para karyawan Toko Sejahtera General Houseware, sebanyak 27 karyawan bersama-sama menuangkan kumpulan tetesan cinta kasih pada kegiatan penuangan celengan bambu pada 9 Agustus 2016. Koin yang terkumpul disalurkan untuk membantu sesama yang membutuhkan.

Berawal dari Sebersit Niat

Berawal dari Sebersit Niat

12 Januari 2016

Pada 31 Desember 2015, relawan Tzu Chi Tanjung Balai Karimun mengadakan kegiatan pelestarian lingkungan dengan mengambil sampah dan memilahnya di salah satu lokasi acara yang dihadiri oleh Bupati Karimun, Coastal Area. Sebanyak 40 relawan turut berpartisipasi dalam kegiatan ini, tak terkecuali warga dan para pedagang yang juga membantu memungut sampah-sampah.

Saat membantu orang lain, yang paling banyak memperoleh keuntungan abadi adalah diri kita sendiri.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -