“Dua Hal yang Tidak Bisa Ditundaâ€
Jurnalis : Juliana Santy, Fotografer : Chandra Wijaya (Tzu Ching)Koordinator Tzu Ching Singkawang, Yulia, memeluk ayah dan ibunya pada saat sharing, sembari mengucapkan rasa sayangnya kepada kedua orang tuanya tersebut. |
| ||
Tzu Ching di Indonesia dimulai dengan sekelompok relawan muda-mudi di Jakarta yang pada tahun 2003 secara khusus berkumpul untuk membentuk wadah bagi para muda-mudi. Setelah itu pada tanggal 10 Mei 2003, terbentuklah Generasi Muda Tzu Chi (GMTC). Saat itu GMTC belum diakui secara resmi oleh Tzu Chi Indonesia. Para perintisnya diberi waktu 3 bulan untuk membuktikan bahwa GMTC memang dapat mendukung kegiatan Tzu Chi sekaligus sebagai penerus misi Tzu Chi. Ternyata perkembangan GMTC lebih cepat dari perkiraan. Akhirnya tanggal 7 September 2003, GMTC diresmikan menjadi Tzu Ching. Sejak saat itu, jumlah Tzu Ching pun terus bertambah, baik kuantitas maupun kualitas , hingga pada akhir tahun 2011, perkumpulan muda-mudi berseragam biru muda ini telah menyebar ke beberapa daerah di Indonesia, diantaranya, Jakarta, Bandung, Pekanbaru, Pati, Medan, Surabaya, Makassar, dan Batam. Perlahan tapi pasti, jumlah ini terus bertambah setiap tahunnya, merambah hingga ke berbagai daerah di Indonesia. Sebuah jodoh pun terjalin kembali pada tanggal 19-20 Mei 2012, benih-benih Tzu Ching kembali menyebar hingga ke sebuah kota yang dikenal dengan julukan “Kota seribu kuil” melalui kegiatan Tzu Ching Camp Singkawang. Kegiatan pertama Tzu Ching yang diadakan di Singkawang ini diikuti oleh sebanyak 49 peserta yang berasal dari beberapa universitas dan diisi dengan sharing dari 9 Tzu Ching Jakarta dan 4 orang relawan Jakarta lainnya.
Keterangan :
Selama dua hari itu, mereka diajak untuk mengenal apa itu Tzu Chi karena mayoritas peserta adalah muda-mudi yang baru mengenal Tzu Chi. Selama dua hari tersebut, camp yang bertemakan kata perenungan Master Cheng Yen, yaitu “Ada 2 hal yang tidak bisa ditunda dalam kehidupan: berbakti kepada orang tua dan melakukan kebajikan” ini menekankan dua poin berbeda selama dua hari. Pada hari kedua, 20 Mei 2012, menekankan mengenai berbakti, menyadari pentingnya berbakti dimulai dari berbakti kepada bumi dengan melakukan pelestarian lingkangan dan bervegetarian, hingga berbakti kepada orang tua yang telah membesarkan kita. Pada siang itu, peserta diajak untuk kembali mengingat budi luhur orang tua dengan menyaksikan drama Sutra Bakti Seorang anak. Mereka diajak untuk kembali mengingat masa lalu, mengingat apa yang telah dilakukan kepada orang tua. Jangan Malu Mengucapkan Terima Kasih Dedy berasal dari ibukota provinsi Kalimantan Barat, yaitu Pontianak. Sudah dua tahun ia berada di Singkawang dan jauhnya jarak antara Pontianak dan Singkawang membuat Dedy jarang kembali ke rumah orang tuanya di Pontianak. Hubungan keluarga yang kurang harmonis hingga kerap terjadi pertengkaran antar orang tuanya pun membuatnya jarang menelepon ke rumah untuk sekedar menanyakan kabar.
Keterangan :
Namun usai menyaksikan drama Sutra Bakti Seorang anak ini, Dedy sadar bahwa apa yang terjadi dalam keluarganya juga karena dirinya, karena orang tuanya ingin melihat anaknya hidup bahagia. ”saya memeluk ibu saya saja hanya ketika saya meminta maaf karena bertengkar dengan ibu saya. saat itu saya merasa sudah dewasa, sehingga tidak mau mendengar nasihat sehingga terjadi pertengkaran. Lalu adik saya bilang, ‘Hia (kakak-red) kamu jadi anak kok kurang ajar, mama ingin kamu jadi baik, kamu malah bertengkar?!’ Sampai saat itu saya baru sekali memeluk ibu saya,” cerita Dedy dengan penuh rasa haru. Terkadang sebagai anak kita tak menyadari bahwa kehadiran kita menemani kedua orang tua, berbicara dan tertawa bersama mereka, walaupun hanya sebentar, namun mampu membuat hati mereka senang dan bahagia. Tapi sering kali kita lebih memilih bersama teman daripada bersama kedua orang tua kita sendiri. “Ketemu orang tua mungkin 10 menit, bertemu teman-teman bisa sampai setengah hari. Jika duduk terlalu lama dengan orang tua merasa bosan, duduk dengan teman-teman terasa menyenangkan,” ungkap Dedy mengingat kelakuannya pada masa lalu. Usai bercerita mengenai pengalaman hidupnya, Dedy pun membuat sebuah janji pada dirinya, “Setelah acara ini saya akan berusaha minimal bisa menanyakan kabar kepada orang tua, mengatakan satu kalimat, ‘saya sayang papa dan mama’, biarpun sederhana tapi itu berarti untuk mereka.” Ia pun berpesan kepada teman-teman lainnya agar tidak melakukan kesalahan yang serupa dengan dirinya serta mengajak teman-teman lainnya agar jangan malu mengucapkan terima kasih kepada orang tua dan jangan ragu untuk memeluk mereka. Tahu berbuat Kebajikan dan Tahu Berbakti Tzu Ching Camp di Singkawang ini telah memperpanjang barisan pasukan semut Tzu Ching di Indonesia, kelak mereka harus lebih giat bersumbangsih agar di masa depan barisan pasukan semut ini pun semakin panjang dan menyebar hingga ke berbagai daerah di Indonesa, sehingga Shigong Shangren (Master Cheng Yen) merasa tenang karena banyak Tzu Ching di Indonesia yang selalu bersemangat berjalan di jalan Tzu Chi. Itulah cita-cita Tzu Ching Indonesia. | |||
Artikel Terkait
Tetap Bersumbangsih di Masa Pandemi
21 Januari 2021Minggu, 17 Januari 2021, Tzu Chi Tanjung Balai Karimun kembali melakukan kegiatan pengumpulan celengan bambu yang sempat tertunda akibat pandemi Covid-19. Kegiatan ini pun diikuti 14 orang relawan yang bertugas mengumpulkan koin cinta kasih warga Karimun.
PAT 2023: Sukacita Bersumbangsih di Lahan Berkah Tzu Chi
23 Januari 2024Dalam acara Pemberkahan Akhir Tahun terdapat beberapa sharing inspiratif dari relawan amal, relawan pemerhati rumah sakit, dan relawan pendidikan. Selain itu juga terdapat 5 relawan komite yang dilantik.
Waisak 2019: Menyucikan Ladang Batin
13 Mei 2019Dipimpin para anggota Sangha dan pemuka agama, para peserta Waisak Tzu Chi secara bergantian menuju altar Buddha dengan hati yang hening dan jernih bersyukur atas Budi Luhur Buddha, Orang Tua, dan Semua Makhluk. Kegiatan diadakan di Aula Jing Si Lt. 4, PIK, Jakarta Utara pada Minggu, 12 Mei 2019.