"Biar Reyot Milik Sendiri"
Jurnalis : Himawan Susanto , Fotografer : Anand Yahya * Joe Riadi, salah seorang relawan Tzu Chi, membungkukkan badan dan berterima kasih kepada penerima bantuan karena telah diberikan kesempatan untuk berbuat kebajikan. | “Bersyukurlah kepada orang yang menerima bantuan kita, karena mereka memberikan kesempatan baik bagi tercapainya pembinaan rasa cinta kasih kita.” |
Ibu Suriyem (55) dengan sabar berbaris tertib dalam antrian bersama 119 penerima bantuan paket tanggap darurat dari Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. Jumat siang itu, 16 Januari 2009, Tim Tanggap Darurat (TTD) Tzu Chi Indonesia membagikan 120 paket bantuan, yang setiap paketnya berisi 1 buah handuk, 1 buah selimut, 2 buah sabun mandi, 3 bungkus kecil lotion anti nyamuk, dan 5 botol air mineral ukuran 600 mililiter. Dalam bantuan siang itu, Joe Riadi mengatakan, sebagai seorang relawan Tzu Chi, kita tidak hanya membantu mereka yang kebanjiran, namun juga mereka yang kebakaran. Untuk bantuan siang itu, mereka memberikan air mineral lebih banyak karena mereka lebih membutuhkannya saat itu. Dengan wajah berbinar-binar, Suriyem menerima 2 buah paket bantuan dari relawan Tzu Chi. Paket pertama untuk dirinya dan suami. Paket kedua untuk Suryadi (24), anak satu-satunya yang tak bisa datang karena sakit paru-paru. Ombak air laut yang terjadi Jumat lalu, 9 Januari 2009 telah menghancurkan rumah Suriyem dan Suryadi. Karenanya, untuk sementara Suryadi yang telah menikah dan memiliki 2 orang anak itu bersama istrinya menumpang sementara di rumah mertua. Tak tega Suriyem membiarkan Suryadi tinggal di penampungan sementara di Rumah Susun Marunda seperti dirinya. “Takut kena angin. Namanya sakit paru-paru, takutnya kumat. Biayanya dari mana? Nanti malah jadi lebih mahal dan berabe,” ujar Suriyem. Ket : - Tim Tanggap Darurat (TTD) Tzu Chi dengan dibantu anak-anak mempersiapkan lokasi pembagian bantuan Ombak laut dan angin kencang yang menghantam seminggu lalu tidak saja merusak rumah-rumah yang berada di tepian pantai, namun juga menghempaskan 1 buah kapal tongkang dan 1 buah kapal tanker minyak milik Pertamina yang sedang melego jangkar di tengah laut. Dua buah kapal ini pula yang akhirnya merusak tempat pembudidayaan dan pembiakkan kerang hijau milik nelayan setempat. “Rumah saya hancur tidak bisa untuk berteduh sama sekali,” ujar Suriyem yang rumahnya memang berada persis di depan laut. Tinggi penahan ombak yang semakin berkurang membuat ombak air laut dapat leluasa menerjang apapun yang ada di tepian pantai, termasuk rumah penduduk sekalipun. “Tiap tahun memang ada ombak, tapi nggak separah sekarang. Jamak aja kalau air laut masuk sih? Tapi waktunya juga sebentar, nggak kaya sekarang sampe harus ngungsi,” lanjut Suriyem yang telah 25 tahun lamanya menetap di Marunda. Saat ombak besar datang, ia dan suami sedang berada di dalam rumah. Demi alasan keamanan, aparat pemerintah kemudian menyarankan Suriyem dan ibu-ibu lainnya untuk mengungsi sementara di Rumah Susun Marunda hingga ombak air laut mereda. Sudah 1 minggu lamanya Suriyem hidup mengungsi. Di sana, Suriyem bersama warga lainnya menetap di ruangan yang telah disediakan. Setiap hari mereka juga memperoleh bantuan makanan dan pengobatan. “Untung di pengungsian nggak kedengeran ombak. Masih trauma karena tingginya dulu tidak segitu,” ungkap Suriyem. “Kata orang-orang, tinggi ombaknya 2 meter,” tambahnya. Ket : - Warga kini mulai memperbaiki rumah mereka yang terkena air pasang dan ombak tinggi satu minggu yang Hari itu, ombak air laut sudah mulai kelihatan berkurang tingginya. Karenanya suami Suriyem, Suraji (53) tak mendampinginya mengambil paket bantuan karena sedang pergi mencari potongan-potongan bambu yang terbawa arus laut. Potongan-potongan bambu inilah yang nantinya akan dipergunakan untuk memperbaiki rumah mereka yang hancur. Saat ditanya apakah ia tidak ingin tinggal di rumah susun, Suriyem menjawab, pengin tapi kalau bukan milik sendiri buat apa. “Walaupun rombeng-rombeng, penginnya punya sendiri. Apalagi mencari nafkahnya memang di pinggir laut,” jelasnya. Meski begitu, tanah tempat bangunan mereka berdiri bukanlah milik sendiri. Mereka hanya diperkenankan untuk mempergunakan tanah tersebut sementara oleh pemiliknya. Jika satu saat pemilik tanah ingin memakainya, maka mereka diharuskan untuk merelakannya. “Kalo tanah mau dipake maka ada penggantian ala kadarnya. Kita ikhlas jika satu saat tanah itu dipake. Malah terima kasih karena telah diperbolehkan tinggal selama 25 tahun ini,” ungkap Suriyem seraya berkata bahwa pemilik tanah ini orangnya baik. Ket : - Seorang warga sedang memperbaiki jalan menuju kampung yang rusak akibat diterjang ombak air laut. (kiri) Walau hidup berbatasan dengan laut, kebutuhan air dan listrik mereka tidaklah kesulitan. Air bersih mereka dapatkan dengan membeli dari tetangga yang berlangganan dari Perusahaan Air Minum (PAM) DKI Jakarta. Sementara untuk listrik, mereka berlangganan bulanan dengan Perusahaan Listrik Negara (PLN). Sayangnya, untuk sanitasi, karena rumah mereka adalah rumah panggung biasanya langsung dibuang ke laut. Suriyem dan puluhan keluarga lainnya memang hanya memiliki bangunan tanpa tanah, namun mereka tetap merasa bersyukur karena selama 25 tahun ini telah dapat merasakan indahnya memiliki rumah sendiri. “Biar reyot milik sendiri”, sebuah ungkapan yang mungkin dapat mewakili perasaan Suriyem dan puluhan keluarga lainnya di tepian Pantai Marunda, Jakarta Utara. | |
Artikel Terkait
Menjadi Relawan Pemerhati Rumah Sakit dengan Sepenuh Hati
14 Desember 2020Suara Kasih : Harapan Pascabencana
07 Mei 2010Tidak Mudah Menyerah
26 Oktober 2016Kelas budi pekerti yang diadakan sebulan sekali dibagi menjadi dua kelas sesuai dengan rentang usia mereka. Kelas kecil belajar tentang tidak mudah menyerah sementara kelas besar bagaimana membangun kepedulian terhadap sesama. Kelas budi pekerti yang diadakan pada tanggal 23 Oktober 2016 diikuti sebanyak 61 anak.