“Kami Ingin Diperlakukan Samaâ€
Jurnalis : Hadi Pranoto, Fotografer : Hadi Pranoto * Prof Irwanto saat memberikan presentasi dalam acara ramah tamah yang diadakan DAAI TV pada hari Sabtu, 23 Agustus 2008 di kantor Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. | Meski acara baru akan dimulai pukul 9 pagi, sejak pukul 8 relawan Tzu Chi sudah bersiap menyambut para tamu yang hadir. Tidak hanya di depan pintu, para relawan tersebar di berbagai tempat, seperti di lobi parkir, serta di depan dan dalam lift menuju kantor Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia di gedung ITC Mangga Dua Lt 6 Jakarta. Tak jarang para relawan harus menuntun para tamu hingga masuk ke ruang pertemuan dan mendorongkan kursi roda. Bukannya manja dan minta diistimewakan, tapi para tamu ini memang berasal dari berbagai penyandang cacat tubuh (disabilitas), baik tuna netra, tuna rungu, ataupun tuna daksa. |
Tayangan yang Menginspirasi Sabtu, 23 Agustus 2008, DAAI TV Indonesia yang berprinsip pada “Kebenaran, Kebajikan, dan Keindahan” mengadakan acara ramah tamah dengan berbagai organisasi dan lembaga yang mewadahi para penyandang cacat di Indonesia. Acara yang bertujuan untuk menjalin kerja sama antara DAAI TV –dalam bentuk tayangan yang indah dan inspiratif– dengan para penyandang cacat ini dimotori oleh Pusat Kajian Disabilitas Universitas Indonesia ini, dan juga didukung oleh Yayasan Penyandang Anak Cacat Indonesia (YPAC), Komunitas Peduli Tuna Daksa (Kopetunda), Yayasan Mitra Netra Indonesia, Himpunan Wanita Penyandang Cacat Indonesia, dan Bandung Independence Living Center, serta dosen dan dekan FISIP UI. Menurut Prof Irwanto, Kepala Pusat Kajian Kecacatan (Disabilitas) UI, kegiatan ini berawal dari tayangan-tayangan DAAI TV yang menginspirasinya. Irwanto yang juga menggunakan kursi roda akibat sakit yang dideritanya ini, setelah melihat drama Tangan-tangan yang Sempurna –kisah hidup pelukis yang menggunakan mulut setelah kehilangan kedua tangannya– dan terinspirasi untuk membuat tayangan-tayangan pendek mengenai orang-orang yang memiliki keterbatasan tapi memiliki sikap hidup sebagai manusia yang sempurna. “Selama ini, tayangan-tayangan tentang para penyandang cacat di media TV selalu menampilkan kesan ketidakberdayaan dan penderitaan. Nah, kami ingin mengubah pandangan masyarakat bahwa orang yang cacat tidak selalu menjadi beban orang lain,” kata Irwanto. Melalui tayangan-tayangan yang inspiratif, diharapkan bisa memberi kesadaran kepada masyarakat bahwa memiliki anak atau anggota keluarga yang mengalami disabilitas masih bisa juga membuat keluarga bahagia. “Jangan diumpetin atau disembunyikan, tapi berilah kami kesempatan yang sama seperti orang normal lainnya,” tegas Irwanto. Dalam presentasinya, Irwanto juga menghimbau agar masyarakat tidak usah merasa takut para penyandang cacat ini akan merepotkan. “Kami tidak ingin selalu dibantu, kami ingin diperlakukan wajar, tapi berilah kami kesempatan,” kata Irwanto. Tayangan-tayangan televisi yang memuat dan mengapresiasi para penyandang disabilitas ini juga diharapkan dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah dalam memfasilitasi kepentingan para penyandang cacat. “Kami ingin jalan-jalan di Jakarta juga dapat dinikmati oleh para penyandang cacat,” kata Irwanto kritis. Ia menyoroti berbagai sarana umum yang tak ramah bagi para penyandang cacat seperti dirinya. Ia mencontohkan trotoar yang justru habis dipergunakan untuk berdagang dan dilewati sepeda motor, pintu masuk ke gedung-gedung dan pusat perbelanjaan yang tidak menyediakan jalur untuk kursi roda, hingga kamar kecil yang sulit dipergunakan. Ket : - Relawan Tzu Chi menyambut dan mengantar para tamu undangan yang mayoritas menderita cacat fisik, Dalam kesempatan itu, Hong Tjhin, CEO DAAI TV menyambut baik uluran kerja sama ini. “Kemungkinan kerja samanya adalah dengan menggunakan program (acara DAAI TV) yang sudah ada, Refleksi, 2x24 menit. Program ini akan mengangkat kisah-kisah nyata yang positif. Silahkan mengajukan konsep based on true story dan riset, nanti kita akan mengemasnya dengan cantik. Bukan rasa iba dan kasihan dampak yang ingin dihasilkan dari tayangan ini, tapi justru memberi semangat dan inspirasi bagi orang lain,” kata Hong Tjhin. Untuk tahap awal, minimal akan digarap sebanyak 13 episode, dimana dari salah satu episode terbaik, akan dipilih untuk direkomendasikan diangkat dalam kisah drama. “Kesuksesan DAAI TV bukan diukur dari berapa banyak iklan yang dapat diraih, tapi seberapa banyak pemirsa yang berubah menjadi lebih positif sikap dan kehidupannya,” sambung Hong Tjhin seraya menjelaskan tentang visi dan misi DAAI TV –menyucikan hati manusia– yang berbeda dengan stasiun TV lainnya di Indonesia. Sikap ini sangat didukung oleh para peserta, seperti diungkapkan Prof Indra, Ketua Kopitunda, “Hari ini saya sangat gembira, ada media yang bersedia bekerja sama dalam membina dan memperhatikan para penyandang cacat. Semoga kesadaran masyarakat berubah dan para penyandang cacat memiliki akses dan kesempatan yang sama.” Sementara Sundari, dari Yayasan Penyandang Anak Cacat (YPAC) bersedia mendukung program ini dengan menyediakan kisah-kisah nyata kehidupan para penyandang cacat. “Kami pernah membuat suatu lomba menulis kisah nyata, salah satunya tentang perjuangan wanita tuna netra dalam menjalani kehidupannya. Di situ banyak sekali yang bisa didapatkan,” ujarnya. Semangat yang sama juga datang dari Prof Bambang, Dekan FISIP UI sekaligus Dewan Pakar Pusat Kajian Kecacatan UI. “Meski prinsipnya kami berbasis kampus, tapi kami ingin menjalin kebersamaan itu dengan teman-teman yang memberikan kepedulian kepada para penyandang cacat. Kami siap dan bersemangat untuk bekerja sama,” ujar Bambang. Ket : - Relawan Tzu Chi juga menampilkan pertunjukan isyarat tangan. Bahasa universal yang diciptakan oleh Cacat Juga Bisa Berprestasi Tidak mudah jalan bagi Mutia untuk bisa sampai seperti ini. “Setiap kali perpindahan jenjang sekolah, saya stres mikirin apa ada sekolah yang mau terima,” ujar Kusharisupeni. Sebagai orangtua tunggal –suaminya pergi meninggalkan keluarga–, Kusharisupeni setiap hari harus membagi waktu antara kesibukannya mengajar di Fakultas Gizi Universitas Indonesia dengan mengantar Mutia ke sekolah. Semasa TK, Mutia oleh ibunya sengaja disekolahkan di SLB dan TK biasa. Tujuannya agar Mutia tidak minder dan dapat beradaptasi dengan anak-anak yang normal. Pada masa TK dan SD, banyak sekali hambatan yang dialami Mutia. “Suka diledek sama teman-teman,” kata Mutia dengan suara yang kurang jelas yang diterjemahkan oleh ibunya. Meski begitu, sebagai ibu, Kusharisupeni terus mendorong dan membimbingnya untuk tetap sekolah. “Saya selalu minta pada guru, setiap kali dia ke jenjang berikutnya (tahun ajaran baru –red), beri dia kesempatan pertama untuk maju supaya teman-temannya menghargainya, bahwa Mutia bisa,” kata Supeni yang merasa gembira dengan perhatian yang diberikan DAAI TV kepada para penyandang cacat seperti putrinya. Ket : - Sundari, dari YPAC, memberikan dukungan terhadap pembuatan program tentang kehidupan para Kesabaran dan kegigihan Supeni juga diuji tatkala harus menjelaskan kata demi kata kepada putrinya. “Untuk menjelaskan kata rumput, saya harus ajak dia ke taman, dan untuk menjelaskan tentang ombak dan laut, saya bawa Mutia ke pantai,” kata Supeni. Itulah sebabnya Supeni kemudian mengkliping koran-koran yang berisi kata dan gambar yang dibutuhkan Mutia. “Setiap hari harus melatih dan telaten,” sahut Mutia di sela-sela pembicaraan. Dari semua kerja keras dan kegigihannya itu, Kusharisupeni hanya berharap agar kelak putrinya ini bisa hidup mandiri dan menyumbangkan sesuatu untuk para penyandang cacat memperoleh kehidupan yang lebih baik. “Mutia harus mandiri, ini tekad saya dalam hati sejak dulu. Saya kan tidak bisa mendampinginya terus sepanjang hidupnya,” kata Supeni dengan optimis. | |