“Wo Ciao Radiansyahâ€
Jurnalis : Hadi Pranoto, Fotografer : Hadi Pranoto Setiap minggu kedua dan keempat setiap bulan, relawan Tzu Chi mengadakan pembelajaran Kelas Bahasa Mandarin kepada para santri di Pondok Pesantren Al Ashriyyah Nurul Iman. |
| ||
Perkembangan pesat yang dialami negara “tirai bambu” dalam berbagai bidang, seperti ekonomi dan teknologi beberapa tahun belakangan ini juga semakin menunjukkan betapa bahasa Mandarin kelak akan menjadi bahasa yang banyak dipergunakan masyarakat internasional. “Jadi selain bahasa Arab dan Inggris, kami juga bisa berbahasa Mandarin sehingga bisa belajar di sana ataupun berbisnis dengan mereka,” kata Radiansyah. Hal senada diungkapkan Sihabudin, mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam Nurul Iman (STIANI) jurusan Tarbiyah, “Kita di STIANI dituntut untuk juga bisa bahasa Mandarin, supaya dari kami ini ada yang bisa belajar ke sana, berinteraksi maupun berbisnis dengan mereka.” Motivasi para santri ini semakin terpompa tatkala Umi Waheeda, istri almarhum Habib Saggaf beberapa bulan lalu memperoleh undangan ke salah satu universitas di Tiongkok. Menurut Umi, ada 4 hal utama yang perlu dipelajari dan dicontoh dari sikap dan sifat masyarakat Tionghoa, yaitu kedisiplinan, motivasi, inovasi, dan selalu bersemangat. “Itu yang ditekankan oleh Umi supaya kita bisa belajar dan meniru mereka,” ungkap Radiansyah.
Keterangan :
Membuka Kesempatan Lebih Luas Kegiatan pembelajaran bahasa Mandarin ini sendiri sudah dimulai sejak 4 bulan lalu (bulan Maret 2011), dan materi yang digunakan pun beragam, mulai dari Kata Perenungan Master Cheng Yen, Buku Pendidikan Budi Pekerti Tzu Chi, dan juga buku materi umum lainnya. “Kita ajarkan bahasa percakapan sehari-hari,” kata Aripin, relawan Tangerang yang juga turut mengajar bersama Lu Lien Chu dan relawan Tzu Chi lainnya. Pemilihan materi dari buku kata perenungan dan budi pekerti Tzu Chi bertujuan selain mengajarkan bahasa Mandarin juga bisa menyelipkan pesan-pesan moral yang baik. “Kita juga masukkan pelajaran-pelajaran tentang bagaimana bersikap yang baik dan sopan dalam kehidupan sehari-hari,” terang Lu Lien Chu. Minat para santri cukup besar dalam mengikuti pelajaran kelas bahasa Mandarin. Hal ini diakui oleh Aripin dan Lu Lien Chu. “Sangat besar, andaipun dari mereka ada yang tidak hadir jumlahnya sangat sedikit dan selalu ada keterangan yang jelas,” tandas Aripin. “Anak-anak sangat antusias, sangat bersemangat,” tegas Lu Lien Chu. Selain mengadakan pembelajaran bahasa Mandarin, relawan Tzu Chi juga mengajarkan dan mengajak para santri untuk bercocok tanam. Di lahan persawahan milik Pesantren Nurul Iman, sebanyak kurang lebih 50 orang santri diajak untuk menanam sayur-sayuran dan kacang-kacangan. “Awalnya saya lihat banyak anak-anak (santri) yang tidak banyak kegiatan, jadi kita mengajak mereka untuk berkegiatan dan bekerja yang bermanfaat bagi mereka, baik dalam kehidupan maupun pengetahuan mereka. Hasilnya kan juga bisa mereka nikmati,” kata Lu Lien Chu, penggagas kegiatan ini.
Keterangan :
Lu Lien Chu berharap dengan pelatihan dan bimbingan dari relawan Tzu Chi para santri ini bisa meningkatkan keterampilan mereka, baik dalam berbahasa Mandarin maupun bercocok tanam. “Kita akan membimbing mereka terus sampai bisa berbahasa Mandarin dan juga sampai kebun sayurnya tumbuh,” tegas Lien Chu. Upaya ini pun sepertinya tak sia-sia. Para santri dengan tekun belajar bahasa Mandarin dan mengolah lahan mereka dengan sungguh-sungguh. Ada satu resep yang cukup jitu dalam belajar bahasa Mandarin di Pondok Pesantren Nurul Iman, yaitu digunakannya bahasa Mandarin dalam percakapan sehari-hari di kalangan para santri. “Kita coba aja ngomong bahasa Mandarin ke teman-teman kita, walaupun nggak semuanya bisa mengerti dan dimengerti, kalau sering mendengar kan lama-lama akan ngerti juga,” ucap Radiansyah sembari tersenyum. “Wo Ciao Radiansyah (nama saya Radiansyah),” jawabnya ketika salah seorang relawan menanyakan namanya.
| |||