“Orang tua mana yang nggak hancur hatinya mengetahui kondisi anak seperti ini. Selama 1 bulan, saya meratapi keadaan dan menangis berharap diagnosanya salah,” ungkap Ima Handayani (34) ibu dari Abhizar Kenzie Ravindra (3) menceritakan bahwa anaknya didiagnosa mengalami gangguan pendengaran berat saat usianya 1 tahun 4 bulan.
Awalnya Ima dan suaminya Sujianto (38) tidak menyangka jika Abhizar mengalami gangguan pendengaran. Semenjak di dalam kandungan, tidak ada tanda-tanda kelainan pada janin Abhizar. Hanya saja di usia kehamilan 3-4 bulan, sempat terjadi pendarahan tetapi setelah diperiksa kondisi janin Abhizar tidak menunjukan adanya kelainan.
Setelah lahir, kondisi fisiknya pun sama seperti anak-anak lainnya. Hingga usia 1 tahun, perkembangan Abhizar mulai berbeda dengan anak seusianya. “Saya curiganya sekitar umur 1 tahun 2 bulan karena dia belum bisa mengeluarkan kata-kata apapun,” kenang Ima. Dari kecurigaan ini, muncul keinginan untuk memeriksa Abhizar ke dokter di dekat tempat tinggalnya di Kedungwaringin, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Keceriaan Abhizar Kenzie Ravindra (3) saat bermain ayunan ditemani oleh dua relawan Tzu Chi komunitas Xie Li Bekasi.
“Akhirnya saya putuskan membawa anak saya ke dokter, dan disarankan ke klinik tumbuh kembang,” kata Ima menceritakan saat itu. Di klinik tumbuh kembang, Ima mendapat laporan bahwa Abhizar saat dipanggil kurang merespon. Ima beserta suaminya kemudian mencoba untuk mengecek pendengaran Abhizar ke hearing center di Bekasi. “Hasilnya langsung dibacakan dan sangat membuat kami terpukul. Ternyata Abhizar mengalami gangguan pendengaran yang sangat berat, dibawah 100 db (desibel). Masa iya sih, secara kasat mata semua normal,” jelas Ima yang masih belum percaya saat itu.
Setelah mengetahui hal tersebut, Ima hanya merenungi nasib dan larut dalam kesedihan dengan apa yang dialami oleh anaknya, Abhizar. Sampai para tetangganya pun bertanya-tanya karena warung milik Ima di depan rumahnya pun tak kujung buka selama sebulan.
“Dari sini, setelah saya pikir-pikir, kalau saya menangis terus kan tidak mengubah keadaan. Akhirnya saya mencoba cek di tempat lain, hasilnya pun sama,” kata Ima. Tak patah arah, Ima pun mencari-cari informasi di internet tentang anak-anak dengan kondisi yang serupa dengan Abhizar. “Ternyata banyak anak-anak yang mengalami hal yang serupa dengan Abhizar,” ungkapnya.
Semangat untuk Sang Buah Hati
Relawan Tzu Chi, Denasari yang menjadi pendamping mengajari Abhizar cara mencucui tangan yang baik.
“Saya sharing dengan banyak orang tua, ada anak yang memakai alat bantu dengar, ada yang implan koklea. Tetapi yang memakai implan koklea hasil dan perkembangannya lebih bagus,” kata Ima. Setelah itu, Ima pun mencari tahu informasi sebanyak-banyaknya tentang implan koklea dan biaya untuk mendapatkannya.
“Nggak terpikir, apa iya saya bisa? Sementara uang yang diperlukan itu bukan puluhan juta, tapi ratusan juta. Biar pun saya menjual semua yang saya punya, itu belum cukup untuk membeli implan koklea tersebut,” cerita Ima saat itu yang setengah putus asa.
Tetapi doa dan harapan untuk Abhizar kembali memberikan semangat untuk Ima dan suaminya supaya buah hatinya tersebut dapat mendapatkan implan koklea. “Saya browsing di internet, tentang yayasan yang bisa membantu pengadaan implan koklea, itu yang muncul pertama Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia yang pusatnya di Pantai Indah Kapuk,” kata Ima.
Ima pun kemudian mencoba menghubungi Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia pada bulan Mei 2020. “Sempat ragu karena yayasannya berlandaskan agama Buddha karena berbeda keyakinan dengan saya,” kata Ima. Saat itu karena pandemi Covid-19, Ima mendapat jawaban bahwa pengajuan bantuan ke yayasan sementara ditutup. Bukan hanya ke Tzu Chi, Ima pun mengajukan bantuan juga ke beberapa instansi lainnya, tetapi hasilnya pun belum ada titik terang. “Setiap hari berdoa, semoga Allah memberikan jalan,” ungkapnya.
Jawaban dari Doa-Doa
Selain menjadi ibu, Ima Handayani (34) juga menjadi terapis bagi Abhizar saat di rumah dengan menggunakan kartu-kartu bergambar.
Kemudian Juni 2020, Ima datang langsung ke Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia di Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara untuk pengajuan bantuan. Setelah berkas diterima, satu minggu kemudian relawan Tzu Chi melakukan survei ke rumah Ima sekaligus untuk melihat kondisi Abhizar. “Akhirnya waktu itu Denasari Shigu (panggilan untuk relawan wanita yang lebih tua) yang survei dan memberi tahu harus dengan syarat ada hasil MRI dan CT Scan dari Abhizar,” jelasnya.
Ima dan suaminya lantas membawa Abhizar ke salah satu rumah sakit di Jakarta untuk melakukan Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Computerized Tomography (CT) Scan dan hasilnya pun bagus. “Hasilnya semuaya normal, dari ukuran koklea, batang otaknya juga normal sehingga bisa dan memenuhi syarat untuk proses operasi implan koklea,” kata Ima.
Kemudian Ima menghubungi salah satu staf Bakti Amal Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia untuk menyampaikan hasil dari MRI dan CT Scan dari Abhizar. Setelah diproses dan mengetahui bahwa Tzu Chi bisa membantu Abhizar, Ima kemudian mengubungi pihak penyedia implan koklea untuk mengabarkan bahwa putranya siap untuk melaksanakan proses operasi pemasangan implan koklea.
“Alhamdulillah, dipertemukan dengan Tzu Chi dan bersedia membantu pengadaan alat implan koklea. Di sini doa-doa dan keraguan saya terjawab, ternyata Tzu Chi tidak membedakan masalah agama untuk memberikan bantuan,” kata Ima. “Sudah tidak terbayangkan betapa bahagianya. Bagi saya itu sebuah keajaiban, karena uang segitu banyak, kalau saya butuh waktu bertahun-tahun,” ungkapnya penuh sukacita saat mengetahui permohonannya disetujui Tzu Chi saat itu.
Ima Handayani dan suaminya Sujianto (38) berdiskusi dengan relawan Tzu Chi mengenai perkembangan putra mereka, Abhizar setelah memakai implan koklea bantuan dari Tzu Chi.
Setelah berbagai rangkaian persiapan operasi, akhirnya operasi pemasangan implan koklea bagi Abhizar dilaksanakan pada 4 Desember 2020. Beberapa hari setelahnya tepatnya tanggal 18 Desember 2020 dilakukan switch on alat implan koklea yang telah terpasang di bagian kepala Abhizar.
“Reaksi pertama, ia menangis dan memberontak ingin dibuang alatnya. Biasanya hidup dalam hening, tiba-tiba langsung ramai, dia kaget,” cerita Ima saat pertama kali putranya tersebut mendengar suara. Setelah beberapa hari, lama-kelamaan Abhizar menyesuaikan dan ia semakin tergantung dengan alat tersebut. “Saya terharu dan sangat bahagia, yang biasa dia diam saja, setelah dioperasi mendengar mainan dipukul ia mencari sumber suaranya,” kata Ima.
Pascaoperasi pemasangan implan koklea, Abhizar juga harus rutin terapi Auditory Verbal Therapy (AVT) di wilayah Jakarta Selatan seminggu sekali. “Saya juga belajar di situ (saat terapi AVT), setelah sampai rumah saya ajarkan kembali. Jadi setelah diajarkan terapis saya terapkan kembali di rumah. Jadi harus diajarkan, dari hal terkecil harus diajarkan semuanya,” ungkap Ima.
Usaha memang tidak menghianati hasil, setelah hampir satu tahun menggunakan alat implan koklea Abhizar pun menunjukan perkembangan yang baik. Dari yang tadinya diam saja, Abhizar sudah bisa memanggil dan mengucap kata “papa” dan beberapa kata lainnya. Selain itu, setiap harinya Ima juga mengajarkan Abhizar beberapa kosa kata dengan menggunakan kartu bergambar dan ada hurufnya. “Alhamdulillah, proses kemajuannya semakin pesat dan cepat memahami,” kata Ima.
Kembali Dikunjungi Relawan Tzu Chi
Abhizar pun kini menjadi anak yang aktif dan mulai percaya diri setelah memakai implan koklea. Saat relawan Tzu Chi memberikan bingkisan, Abhizar pun ikut membantu ibunya saat menerima bingkisan dari Tzu Chi.
Relawan Tzu Chi, Denasari yang berkesempatan mengunjungi Abhizar pada Selasa, 28 September 2021 juga sangat senang melihat perkembangannya setelah operasi implan koklea. “Beda jauh sekali, waktu itu (Abhizar) ya hanya diam dan mepet sama orangtuanya. Mungkin merasa ada kekurangan. Sekarang sudah punya pendengaran sendiri sangat ceria sekali,” ungkap Denasari.
Denasari juga melihat kedua orang tua Abhizar juga sangat aktif melatih kemampuan pendengaran Abhizar. Ia pun berharap dengan adanya peran aktif orang tua yang sekaligus menjadi guru dan terapis di rumah dapat meningkatkan kemampuan Abhizar khususnya dalam mendengar dan berbicara.
“Harapannya menjadi anak yang sukses nantinya, walaupun ada kekurangan tetapi tidak menjadi batu sandungan. Mudah-mudahan kedepannya dengan terus latihan berbicara, Abhizar bisa lebih bagus vokalnya dan bisa beradaptasi dengan lingkungan dan teman-temannya,” kata Denasari saat bercengkrama dengan Abhizar.
Bagi Ima, pendampingan yang dilakukan relawan Tzu Chi juga sangat baik. Walaupun tidak bisa bertemu langsung karena pandemi Covid-19, Ima pun kerap kali berkomunikasi dengan relawan lewat aplikasi Whatsapp. “Komunikasinya sangat baik, jadi Tzu Chi tidak hanya memberikan bantuan saja, tapi menanyakan perkembangan setelah dibantu dan dioperasi. Jadi Tzu Chi membantu juga sekaligus memantau Abhizar,” ungkap Ima saat dikunjungi dua orang relawan Tzu Chi dari komunitas Xie Li Bekasi.
Saat dikunjungi, tak lupa Ima mengucapkan terima kasih kepada Tzu Chi karena telah membantu anaknya Abhizar. “Untuk Tzu Chi saya tidak bisa mengucapkan apa-apa selain terima kasih, terima kasih, dan terima kasih. Kalau tidak ada Tzu Chi, Adnizar belum tentu bisa seperti ini, mungkin masih hidup dalam kesunyian. Tzu Chi bagi saya adalah sebuah keajaiban untuk anak saya,” ungkap Ima dengan penuh sukacita.
Editor: Metta Wulandari