Acungan Jempol untuk Semangat Tuti
Jurnalis : Metta Wulandari, Fotografer : Metta Wulandari
Stevenny, relawan Tzu Chi Hu Ai Angke membantu Tuti untuk duduk dengan nyaman. Jumat (15/9/17) sore, empat relawan Angke menyempatkan diri untuk mengunjungi Tuti, pasien penderita kanker ovarium di Teluk Gong, Jakarta Barat.
Setiap orang tidak akan pernah tahu kapan kemalangan akan menimpa. Seperti Tuti, wanita setengah baya yang tahun ini berusia 37 tahun. Di usia yang relatif masih muda, Tuti sudah berulang kali keluar- masuk rumah sakit karena kanker ovarium yang ia derita sejak tahun 2013 lalu. Berbagai macam pengobatan pun sudah ia lakukan. “Saya sudah lima kali operasi, tapi nggak tahu bisa sembuh atau tidak,” tuturnya perlahan.
Kondisi badan Tuti kini sangat lemah. Berat badannya tak sampai 40 kilogram. Hanya perutnya yang terlihat membesar seperti orang sedang hamil tua. “Padahal ini isinya bukan bayi,” ucapnya mencoba bergurau walaupun dengan menahan rasa nyeri. Berulang kali ia meminta bantuan relawan Tzu Chi yang tengah mengunjunginya untuk sekadar duduk atau berganti posisi tidur.
Di salah satu sudut kamarnya, terlihat dua buah foto tergantung di dinding. Tuti mengaku foto itu adalah gambaran dirinya sebelum penyakit kanker menyerangnya. “Cantik sekali loh, Bu,” timpal relawan sambil memandangi foto Tuti. Ia mengaku foto itu menjadi penyemangatnya ketika kondisi kesehatannya menurun. “Foto yang di bawah, foto saya. Foto yang atas, foto almarhum Mama saya. Dia dulu pemain opera Cina,” jelasnya pada relawan.
Anak terakhir
dari 9 bersaudara ini kini mau tidak mau menggantungkan hidupnya kepada orang
lain. Beruntung ia mempunyai saudara yang sama-sama menyayanginya. Kamar nyaman
yang kini ia tinggali saat ini merupakan pemberian dari kakak kelimanya. Tuti
dan ketiga anaknya kini memang menumpang di rumah sang kakak di wilayah Teluk
Gong, Jakarta Utara. Ketiga anaknya juga turut ikut kemana pun Tuti pergi.
“Mereka (anak-anak) semangat saya,” ucap Tuti.
Tuti dengan senang menceritakan kondisinya saat menghadapi kondisi kritis karena penyakit kanker ovariumnya. Ia juga berbagi semangat kepada relawan.
Dulu Tuti sempat hidup terpisah dengan anak pertama dan keduanya. Ia bercerai dengan suaminya dan hanya membawa anak terakhirnya yang masih bayi kala itu. Ketika sang suami terkena masalah hukum dan masuk penjara, anak mereka pun kembali ke tangan Tuti. Walaupun dengan keuangan yang serba terbatas, ia selalu semangat untuk menyekolahkan anak-anaknya. Sampai ketika sakit pun, Tuti tetap memaksakan diri untuk bekerja.
“Waktu itu kan setelah operasi kedua, saya merasa sudah jauh lebih sehat. Jadi saya kembali kerja ke Batam. Di sana penghasilannya lumayan dan atasan saya pun sangat baik karena dia tahu kalau saya sakit tapi masih mau kasih saya pekerjaan. Dia juga berikan saya pekerjaan yang ringan, di kasir,” cerita Tuti senang mengingat masa lalunya.
Tapi tidak lama, kanker kembali menyerangnya dan ia tidak bisa berbuat banyak. Ditambah lagi keuangan keluarga juga sudah menipis. Mereka sempat kebingungan bagaimana menanggung besarnya biaya operasi Tuti. Kondisi keluarga yang down membuatnya ikut down. Namun semangat hidupnya masih menggebu. “Saya merasa kehidupan ini diberikan oleh Tuhan, maka saya tetap perjuangkan,” tegasnya. Dalam kondisi sulit tersebut, ia meminta support dari keluarga untuk membuat kartu jaminan sosial kesehatan dari pemerintah (BPJS).
Feliany, relawan Tzu Chi Hu Ai Angke mengaku salut dengan semangat hidup yang dimiliki Tuti. “Hari ini Bu Tuti terlihat lebih semangat dan cerah. Walaupun sakit dia nggak mengeluh. Kalau diajak ngobrol pun masih semangat,” ujar Feli. “Dan jangan salah, Bu Tuti ini sempet bikin es krim buat jualan loh, belanja ke pasar sendiri. Demi anak-anaknya. Salut,” tambah Stevenny yang juga relawan Tzu Chi dari komunitas (wilayah) Angke.
Di salah satu sudut kamarnya, terlihat dua buah foto tergantung di dinding. Tuti mengaku foto itu adalah gambaran dirinya sebelum penyakit kanker menyerangnya. “Foto yang di bawah, foto saya. Foto yang atas, foto almarhum Mama saya. Dia dulu pemain opera Cina,” jelasnya pada relawan.
Linda, relawan lainnya pun turut berkomentar sambil terus memberi semangat. “Badan boleh sakit, Bu…, tapi jiwa jangan sampai sakit,” katanya disambut anggukan Tuti dan relawan lain.
Berobat dengan menggunakan bantuan BPJS dinilai Tuti cukup membantu karena biaya yang dikeluarkan pasien bisa menjadi sangat minim. Namun, ia ternyata masih harus memikirkan biaya hidup sehari-hari untuknya dan ketiga anaknya: Lukas, Louise, dan Livia. “Saya nggak bisa membiarkan mereka nggak punya orang tua. Tuhan sudah memberikan tanggung jawab (mengasuh anak-anak) kepada saya,” ungkap Tuti lirih. Dari sana ia mencoba memanfaatkan media sosial untuk melakukan penggalangan dana secara mandiri.
Tuti memang
termasuk orang yang terbuka. Ia mudah bergaul dan mempunyai banyak teman. Ia
juga kerap berbagi foto dan cerita-cerita tentang dirinya di media sosial yang
sudah 10 tahun ia mainkan. Tak jarang juga ia berbalas komentar dengan
teman-teman di dunia mayanya. Walaupun sudah 10 tahun bermain media sosial, ia
sama sekali tidak pernah memberitahukan bahwa ia mengidap penyakit mematikan
itu. Baru dua tahun belakangan, ia berbagi kisahnya melawan kanker kepada
teman-teman mayanya. Dari postingannya itu, ia bahkan tak menyangka banyak
teman yang peduli dan kini rutin membantu membiayai hidupnya. Termasuk relawan
Tzu Chi yang akhirnya tahu akan kisah perjuangan Tuti.
Anak kedua Tuti, Louise dan anak ketiganya, Livia menyapa relawan sepulang mengikuti bimbingan belajar. Tuti menuturkan bahwa anak-anak adalah sumber semangatnya selama ini.
“Saya berterima kasih kepada semua teman saya yang selalu peduli. Termasuk kepada Tzu Chi yang membantu biaya pendidikan anak pertama dan kedua saya. Saya sangat terbantu sekaligus terharu,” ungkap Tuti seraya menyeka air mata.
Tuti memang sengaja mengajukan bantuan biaya pendidikan untuk anaknya karena ia ingin pendidikan anak-anaknya bisa terjamin. “Mereka lebih penting daripada saya. Masa depan mereka masih sangat panjang, jadi harus dipersiapkan dengan baik,” tuturnya memandang Lukas yang tengah mendampingi relawan.
Kini Tuti sudah tenang karena Lukas dan Louise bisa bersekolah dengan tanpa merisaukan biaya. Anak-anaknya yang banyak belajar di Tzu Chi juga membuatnya bersyukur. “Setiap sebulan sekali, anak-anak Bu Tuti ini selalu rajin ikut gathering anak asuh. Mereka juga sangat berterima kasih dan tahu cara menghargai bantuan orang lain,” jelas Johnny Willianto, relawan Tzu Chi Angke.
Dalam kunjungan Jumat (15/9/17) sore itu, relawan berharap Tuti terus mampu melewati masa sulitnya. “Semoga pengorbanan dan cinta kasih Ibu Tuti kepada anaknya bisa terbalaskan dengan kasih sayang yang tiada henti pula dari anak-anaknya,” imbuh Johnny.
Artikel Terkait
Kita Adalah Satu Keluarga
28 Februari 2017Relawan mengunjungi panti ini untuk berbagi cinta kasih dan perhatian kepada anak-anak, memberi semangat untuk rajin bersekolah dan tetap bersyukur atas segala kondisi yang ada saat ini, serta dapat menghibur anak-anak. Kunjungan diadakan pada tangga 19 Februari 2017.
Menjalin Tali Asih di Tengah Pandemi
17 Mei 2021Para relawan Tzu Chi Biak bekerjasama dengan Permabudhi Biak, KBI Biak, Hadi Supermarket dan Artaboga menunjungi pesantren dan panti asuhan di Kota Biak untuk menyalurkan bantuan sembako.