Air Hujan Sebagai Sumber Kehidupan

Jurnalis : Arimami Suryo A, Fotografer : Arimami Suryo A

doc tzu chi indonesia

Salah satu rumh di Distrik Jetsy, Kabupaten Asmat, Papua menggunakan penampung air hujan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Warga di Kabupaten Asmat, Papua memang tidak bisa dipisahkan dengan alam. Kondisi geografis berupa hutan tropis yang dipisahkan ratusan sungai baik besar ataupun kecil memberikan pola hidup tersendiri. Banyaknya sungai bukan berarti sumber air bersih terjamin. Hampir di semua distrik, air hujan menjadi sumber utama dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.

Air yang terdapat di sungai-sungai tersebut adalah air payau dan tidak bisa dikonsumsi secara langsung. Justru sungai-sungai tersebut menjadi jalur transportasi yang efektif di Kabupaten Asmat, salah satunya menjadi jalur pendistribusian bantuan Tzu Chi menuju 10 distrik di pedalaman Asmat. Untuk memenuhi kebutuhan akan air sehari-hari seperti minum, memasak, dan lain sebagainya, warga pun mengandalkan air hujan. Karena turunnya hujan tidak bisa diprediksi, warga pun menampung air hujan ini dengan tangki yang diberi instalasi dari atap rumah mereka yang sudah menggunakan seng.

Pengeboran air tanah pun juga sudah diupayakan dengan dana kolektif dari masyarakat karena mahalnya biaya pengeboran, tetapi tetap saja air yang muncul adalah air payau. Warga juga harus merogoh kantong lebih dalam untuk menambah kedalaman pengeboran tetapi ini bukan jaminan juga mereka mendapat sumber air bersih dari dalam tanah.

Keadaan ini merupakan hal yang sulit untuk warga Asmat. Seperti di Distrik Jetsy yang perjalanannya memakan waktu tempuh dua jam arah Timur Laut dari Kota Agats, Ibukota Kabupaten Asmat. Di wilayah ini, rata-rata penduduknya bekerja dengan berkebun, mencari ikan, dan berburu di hutan. Hasilnya sebagian dijual dan sebagian lagi untuk dikonsumsi. Bisa dibayangkan bagaimana sulitnya perekonomian masyarakat yang hidup di antara rimbunnya hutan di Bumi Cendrawasih ini.

Hal inilah yang membuat masyarakat Asmat memanfaatkan segala sumber daya dari alam untuk bertahan hidup dan tinggal di pedalaman, salah satunya dengan memanfaatkan air hujan. Distrik Jetsy sendiri memiliki delapan kampung yang tersebar dengan jarak tempuh yang cukup jauh. Rumah-rumahnya pun dihuni oleh beberapa kepala keluarga.

doc tzu chi indonesia

Salah satu rumah yang dihuni lebih dari 2 kepala keluarga. Keseharian  seperti memasak juga dilakukan secara bersama-sama, begitu pula dengan penggunaan air hujan yang ditampung.

doc tzu chi indonesia

Terbatasnya sumber air bersih membuat penduduk di distrik pedalaman menggunakan sungai yang berair payau untuk MCK tanpa dibilas air yang bersih.

“Inilah sulitnya, kebiasaan di Papua setiap rumah kadang dihuni oleh 3-5 kepala keluarga. Jadi air pun harus digunakan beramai-ramai,” ungkap Kepala Distrik Jetsy, Herman Bunepei.

Kondisi ini membuat setiap rumah harus memiliki tangki penyimpan air dengan rata-rata kapasitasnya 1.100 liter. Kapasitas penampungan ini bisa digunakan selama satu bulan untuk kebutuhan sehari-hari. Mau tak mau mereka harus hemat menggunakan air hujan yang sudah ditampung tersebut. Ini juga yang membuat kebutuhan air untuk Mandi, Cuci, Kakus (MCK) tidak terlalu diperhatikan, salah satu contohnya adalah mandi.

Bagi warga Asmat, mandi menggunakan air yang bersih merupakan hal yang membuang-buang sumber daya. Mereka terbiasa mandi dengan air payau tanpa dibilas, atau bahkan tidak mandi terkecuali jika hujan sedang turun. Kebersihan tubuh mereka pun tidak terjaga dengan baik, inilah yang kerap kali menimbulkan wabah-wabah penyakit.

Selain air hujan, terdapat sumber air tetapi jaraknya 2-3 Km dan harus menggunakan fiber (semacam sampan dengan dilengkapi motor-red). Inilah yang kerap kali menjadi kendala warga khususnya Distrik Jetsy mendapatkan air yang bersih.

“Masyarakat yang tidak memiliki fasilitas itu (fiber) ya harus berjalan kaki menyusuri hutan dan hanya bisa membawa 1-2 drigen air. Tentu saja itu tidak cukup dengan kebutuhan dalam satu rumah,” jelas Herman.

Angkutan fiber juga harus sewa. Sedangkan jumlah desa yang harus dipenuhi kebutuhan airnya ada delapan desa yaitu Warse, Amborep, Pau, Sesakam, Katew, Akamar, Birak, dan Dawer. Hal tersebut menjadikan air hujan tetap menjadi pilihan utama dalam memenuhi kebutuhan air sehari-hari. Dalam keseharian, warga juga cenderung mengonsumsi air hujan secara langsung tanpa proses penyaringan dan proses pematangan (dimasak).

doc tzu chi indonesia

Drigen air yang digantung di depan rumah dan tong menjadi salah satu penampung untuk air bersih bagi warga Asmat.

doc tzu chi indonesia

Kebahagiaan  Kepala Distrik Jetsy, Herman Bunepei (depan) saat berjabat tangan dengan relawan ketika menerima bantuan Tzu Chi untuk pemulihan kondisi setelah KLB.

“Air hujan biasanya ya langsung minum, kita tidak tau ada penyakit atau apa kan di dalamnya,” ungkap Kepala Distrik Jetsy tersebut.

Jika intensitas hujan turun dengan lebat, makan dalam waktu 4-5 jam penampungan air pun sudah bisa penuh, tetapi jika intensitas hujan ringan maka harus sangat berhemat menggunakan air. “Kalau hujan sedikit ya tidak bisa penuh dengan cepat, sementara kebutuhan terus berjalan. Pandai-pandai saja pakai air,” kata Herman.

Usaha Warga Dan Pelayanan Kesehatan

Berbicara kondisi kesehatan, masyarakat khususnya di Distrik Jetsy sendiri sudah terjamin, hanya saja tenaga medis yang ada masih bergabung dengan distrik lain yang jaraknya cukup jauh. “Ada pelayanan kesehatan keliling untuk warga, satu bulan 3 kali,” terang Herman.

Kondisi ini membuat masyarakat Asmat khususnya di distrik-distrik tidak memiliki fasilitas kesehatan setiap harinya. Mereka harus menunggu dan mengandalkan pengobatan yang ada dari pelayanan keliling tersebut. Pada saat Kejadian Luar Biasa (KLB) campak dan gizi buruk sendiri terdapat 50 warga Distrik Jetsy yang terkena dampaknya dan memakan korban jiwa. Warga yang terkena dampak tersebut didominasi oleh anak-anak yang daya tahan tubuhnya masih rentan.

“Pada saat KLB, pelayanan kesehatan keliling terus menerus bergulir datang, untuk memeriksa kondisi masyarakat,” ungkap Herman.

“Mungkin ada pengaruh dari faktor air juga kenapa di Asmat bisa terjadi KLB. Tetapi kami belum punya pilihan lain selain memanfaatkan air hujan. Disini air hujan bisa diperjualbelikan,” tambahnya.

Sungguh kenyataan yang berbanding terbalik dengan kondisi di Jakarta di mana air hujan kadang dianggap menjadi sumber bencana. Tetapi di Asmat, harga untuk 1 galon air hujan (19 liter) dijual seharga Rp 40.000 dan bisa menjadi sumber mata pencaharian.

Masyarakat di Distrik Jetsy sendiri juga memiliki keinginan untuk mandiri dan menghidupi warganya dengan swasembada pangan. Dalam kurun waktu akhir 2017 hingga awal 2018, warga pun mencoba menanam padi. Lahannya pun tidak terlalu lebar, tetapi cukup untuk menyemai padi hingga siap dipanen.

“Sempat mananam padi. Tidak banyak hanya menghasilkan 7 karung besar saja. Ya kita tanam padi supaya kita bisa makan nasi dan separuh bisa kita jual,” jelas Herman.

Distrik Jetsy yang terdiri dari 16 RT (Rukun Tetangga) yang tersebar di 8 desa tersebut memang membutuhkan bantuan. Pemberian bantuan Tzu Chi setelah KLB ini begitu berarti untuk masyarakat Asmat. Bantuan ini bertujuan untuk memulihkan keadaan setelah peristiwa KLB yang merenggut 72 jiwa.  

“Tahun 2014 terakhir  distrik ini menerima pemberian bantuan, sesudah itu putus sampai sekarang,” cerita Herman.

Berbagai penyuluhan untuk masyarakat terus dilakukan, apalagi kondisi Kabupaten Asmat yang sangat luas dengan akses yang cukup sulit terlebih pada malam hari. Para kepala distrik pun terus berlomba-lomba untuk menjaga warganya dari kemungkinan terburuk terserang wabah penyakit.

“Kita adakan penyuluhan kepada warga melalui kepala kampung (desa) supaya membersihkan lingkungan. Kita sudah ada pengalaman buruk bulan lalu, hanya kita sendiri yang bisa menjaga mereka dan jangan sampai terulang kembali,” tutup Herman Bunepei.  

Editor: Khusnul Khotimah


Artikel Terkait

Menebar Kasih di Pedalaman Asmat

Menebar Kasih di Pedalaman Asmat

01 Maret 2018

Relawan Tzu Chi memberikan perhatian untuk masyarakat Kabupaten Asmat yang mengalami Kejadian Luar Biasa (KLB) gizi buruk pada anak dan campak dengan membagikan sembako. Bantuan terdiri dari gelombang 1 dan 2 supaya bisa menunjang pemulihan masyarakat Asmat setelah KLB tersebut statusnya dicabut.

Air Hujan Sebagai Sumber Kehidupan

Air Hujan Sebagai Sumber Kehidupan

26 Februari 2018
Warga Asmat yang tinggal di pedalaman menggunakan air hujan sebagai pemenuh kebutuhan air sehari-hari. Ini menjadikan masyarakat Asmat rentan terkena penyakit karena kurang menjaga kebersihan.
Melihat dari Dekat Kehidupan Penduduk di Asmat

Melihat dari Dekat Kehidupan Penduduk di Asmat

22 Februari 2018

Pemberian bantuan Tzu Chi ke Kabupaten Asmat, Papua sudah memasuki gelombang ke-2. Bantuan berupa sembako ini untuk menunjang pemulihan warga Asmat setelah Kejadian Luar Biasa (KLB) di kabupaten ini.

Keindahan kelompok bergantung pada pembinaan diri setiap individunya.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -