Anak Angkat yang Berbakti

Jurnalis : Hadi Pranoto, Fotografer : Hadi Pranoto
 
foto

* Relawan Tzu Chi Tangerang memberikan bingkisan Imlek kepada Eddy Herman, salah seorang penerima bantuan Tzu Chi. Eddy mengidap sakit jantung dan tinggal bersama istri serta anak angkatnya.

Bakti anak kepada kedua orangtua memang sudah seharusnya dilakukan, karena orangtualah yang melahirkan dan mendidik anak hingga besar. Namun tentu berbeda jika seorang anak angkat, yang baru tinggal bersama hampir 5 tahun lamanya sanggup membaktikan diri kepada orang yang menganggapnya sebagai anak. “Karena mereka baik sama saya. Dia juga sayang sama saya seperti anaknya sendiri. Mereka terima saya tinggal di rumahnya, walaupun saat itu saya nggak ada uang,” jawab Sioe Hong Lia atau yang akrab dipanggil Lia ketika ditanyakan alasannya mau mengurus sepasang suami-istri yang bukan orangtua kandungnya.
“Kita makan aja di sini sama-sama, apa adanya aja kita makan,” kata Lia mengenang ucapan Eddy beberapa tahun silam. Matanya memerah dan suaranya parau, berat seperti menahan sesuatu. Sejurus kemudian, butiran-butiran air mata meleleh membasahi kedua kelopak matanya.

Dulu Ditolong, Kini Saatnya Menolong
Tahun 1992, tujuh belas tahun silam, Lia (36), wanita lajang asal Tanjung Pandan, Belitung ini merantau ke Jakarta setelah lulus dari Sekoah Menengah Atas (SMA) di kotanya. Setelah di Jakarta, kehidupan menuntunnya tinggal dan menetap di Tangerang. Di pinggiran barat kota Jakarta ini, putri tunggal dari almarhum Tan Wie Kian dan Siu Lan ini hidup dengan mengandalkan keterampilan berbahasa Mandarin. Dengan penghasilan yang tidak menentu, Lia terpaksa harus hidup berpindah-pindah tempat, dari satu kontrakan ke kontrakan lainnya. “Dulu saya tinggal di Pondok Aren, di sana saya kos. Saya lalu pindah tempat kos di Perumahan Permata. Tapi karena latar belakang keluarga mereka yang kurang baik, membuat saya tidak betah di sana,” terangnya.

Sampai kemudian di tahun 2002, keinginan Lia untuk pindah tempat kos pun semakin besar. “Saya ketuk pintu dari rumah ke rumah, kali-kali ada kamar kosong yang bisa dikosin sama saya. Padahal saat itu saya nggak punya uang, saya cuma ingin punya tempat aja untuk istirahat,” kenang Lia pahit. Langkah Lia akhirnya menuntunnya sampai ke Perumahan Regency, Tangerang, dan dia bertemu dengan Eddy Herman (66) dan istrinya, Jau Fie Lan (56). Kala itu Eddy sudah dalam kondisi sakit, terkena serangan jantung. “Saya terima kamu tinggal di sini, walaupun nggak ada uang nggak papa. Ada nggak ada makanan, kita di sini aja sama-sama,” sambut Eddy kala itu.

foto  foto

Ket : - Dengan bingkisan dan angpao, diharapkan keluarga Eddy dapat merayakan Imlek dengan penuh
           kebahagiaan dan rasa syukur. (kiri)
         - Lia, Fie Lan, Edi, dan Lu Lien Chu (seragam biru-putih) sedang menghibur dan memberi semangat kepada
           keluarga ini. Meski bukan anak kandungnya, Lia tetap merawat dan menjaga Eddy dan istri seperti
           orangtuanya sendiri. (kanan)

Eddy sendiri sebelumnya, sejak terserang penyakit jantung sudah menjual rumahnya di Perumahan Regency dan kemudian mengontrak rumah. Ia berniat pulang ke kampung halamannya di Aceh. Sambil menunggu untuk berangkat ke Aceh, ternyata tahun 2004 di Aceh terjadi bencana tsunami, dan Eddy kehilangan contact dengan kakak laki-laki dan adik perempuannya. Karena tidak jadi berangkat, sementara Eddy tak lagi bekerja, maka lama-kelamaan uangnya pun habis. “Sejak itulah saya mulai berbagi dengan mereka,” kata Lia. Semasa muda, Eddy bekerja di pabrik plastik kemasan produk kecantikan milik orang Taiwan. Begitu bosnya meninggal, Eddy pun pindah bekerja di pabrik kopi. Belum genap setahun, tahun 2002 Eddy sudah mulai sakit, dan akhirnya diberhentikan tanpa pesangon ataupun tunjangan kesehatan lainnya.

Dengan kondisi seperti itu, pelan-pelan keuangan Eddy pun menipis. “Kami pindah cari rumah kontrakan yang lebih murah,” terang Eddy. Terlebih ketika Eddy harus dirawat masuk ke rumah sakit dan berobat jalan, uang pun dengan cepat mengalir deras. Uang simpanan hasil penjualan rumah pun habis. Lia yang mulai banyak memiliki murid, mulai mengambil alih tanggung jawab. Untuk makan sehari-hari Eddy dan istrinya, Lia tak segan-segan mengeluarkan dari hasil jerih payahnya mengajar les bahasa Mandarin rata-rata sebesar 1,5 juta per bulan. “Murid saya ada 12 orang, tapi bisa kurang bisa lebih. Kadang ada yang stop dulu kursusnya,” jelas Lia. Dengan penghasilan sebesar itu, Lia terkadang masih bisa menyisihkan sebagian uangnya untuk mamanya di Batam.

foto   foto

Ket : - Dengan penuh syukur, Eddy, istri dan Lia, merasa senang dengan kunjungan relawan Tzu Chi.
           Perhatian dari relawan Tzu Chi membuat beban Lia sedikit berkurang dalam mengurus kedua orangtua
           angkatnya ini. (kiri)
         - Kedatangan relawan Tzu Chi disambut dengan penuh hangat oleh Iwa (53) pasien penerima bantuan
           Tzu Chi yang mengalami pembengkakan kelenjar di lehernya. (kanan)

Meskipun bukan anak kandung, Lia merasa tergerak untuk membantu Eddy dan istrinya. “Karena mereka baik sama saya, dia juga sayang sama saya seperti anaknya sendiri. Jadi kita dari awal susah, kalo bisa susah sama-sama juga. Suka dukanya sama-sama aja,” janji Lia. Meski tanggung jawab Lia tidak hanya mencari nafkah, tapi juga memasak dan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga lainnya –membantu Fie Lan yang mulai lemah. “Dia sakit, mau makan apa aja saya beliin, supaya dia nggak punya beban pikiran,” terang Lia.

“Saya nggak ngerasa (itu) jadi beban (buat saya). Saya jalanin aja. Sampe waktu sakit (rawat inap) itu saya dah nggak mampu lagi, obat-obatnya kan mahal,” kata Lia prihatin. Pada tanggal 5 Januari 2009, Eddy kembali terkena serangan jantung dan terpaksa harus dirawat inap di rumah sakit. Sesuai dengan petunjuk rumah sakit, Lia pun mengurus GAKIN (Kartu Keluarga Miskin) agar dibebaskan dari biaya rumah sakit. “Waktu itu memang masih ada uang di tangan sedikit-sedikit, sisa penjualan rumah. Uang itu dipakai untuk menebus obat di luar jaminan pemerintah,” terang Lia.

foto   foto

Ket : - Dalam kunjungan kasih ini, relawan juga memberikan celengan bambu agar para penerima bantuan
           Tzu Chi juga dapat bersumbangsih kepada sesama. Bukan berapa besarnya, tetapi niat yang tulus untuk
           membantu sesama yang lebih utama. (kiri)
         - Relawan Tzu Chi mengunjungi Sauw Kim Mox (49), penderita kanker payudara di RSKB Cinta Kasih Tzu Chi
           Cengkareng. Sauw Kim Mox telah dioperasi dan kini menunggu pengobatan selanjutnya. (kanan)

Keluar rumah sakit, mereka pun sudah tidak punya apa-apa lagi. Barang-barang berharga dan perabotan rumah tangga yang bisa dijual mereka gunakan untuk berobat ataupun kebutuhan hidup sehari-hari. Akhirnya melalui DAAI TV Indonesia, Lia mengetahui keberadaan Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia Kantor Perwakilan Tangerang, dan meminta bantuan pengobatan untuk ayah angkatnya.

Merasa berhutang budi, Lia pun mencoba membalasnya. Menolong sepasang suami-istri yang dulu menolongnya. “Dia menerima saya apa adanya. Jadi meski saya nggak bisa bantu full secara materi, saya usaha cari bantuan (Tzu Chi). Tapi tentunya saya nggak bisa lepas tangan, untuk makan sehari-hari tetap dari saya,” tegas Lia. Dengan dukungan dari relawan Tzu Chi Tangerang, setidaknya dapat meringankan sedikit beban Lia. “Sejak dibantu Tzu Chi, saya agak tenang, paling tidak bisa meringankan beban pikiran saya juga,” aku Lia. Sementara Eddy sendiri berharap, jika dirinya telah tiada, Lia mau menjaga dan membawa istrinya ke manapun Lia pergi.

foto  

Ket : - "Jia you!" (semangat) ditekankan oleh Lien Chu kepada Sauw Kim Mox agar tetap kuat menghadapi cobaan
           hidupnya. Selain bantuan fisik, dukungan dari relawan juga perlu bagi para pasien yang umumnya merasa
           frustasi dan tidak berdaya.

Menumbuhkan Cinta Kasih
Rabu, 21 Januari 2009, sebanyak 6 relawan Tzu Chi Tangerang mengunjungi kediaman keluarga Eddy dan 64 pasien penerima bantuan Tzu Chi lainnya di Tangerang. Selain membawa bingkisan berupa bahan-bahan makanan, relawan Tzu Chi juga memberikan angpao (uang simbol berkah saat perayaan Imlek) agar para penerima bantuan Tzu Chi ini dapat merayakan Imlek dengan penuh kebahagiaan dan rasa syukur. Menurut Lu Lien Chu, relawan yang juga Ketua Tzu Chi Tangerang, tujuan acara ini adalah dalam rangka memberi kasih kepada sesama dan juga menyampaikan pesan-pesan Master Cheng Yen agar hati mereka merasa damai. “Tidak hanya Imlek, menjelang perayaan Lebaran ataupun Natal, kita juga memberi perhatian kepada mereka-mereka yang kurang mampu,” kata Lien Chu.

foto  

Ket : - Menyusuri gang-gang sempit, enam orang relawan Tzu Chi mengunjungi rumah pasien-pasien penerima
           bantuan Tzu Chi. Selain bingkisan, relawan juga menyempatkan berbincang-bincang dengan mereka untuk
           mengetahui perkembangan kondisi kesehatan mereka.

Lien Chu juga memberikan celengan bambu kepada setiap keluarga yang dikunjungi. “Supaya bisa menyebarkan cinta kasih, tidak hanya kepada mereka yang mampu, tapi juga para pasien kasus yang ditangani Tzu Chi ini,” terangnya. Dengan penuh semangat, Lien Chu juga berharap agar setiap orang di dalam keluarga dan masyarakat bisa saling bantu-membantu. “Seperti keluarga Eddy itu, meskipun bukan orangtua kandungnya, Lia mau merawat dan menjaganya di penghujung usia,” saran Lien Chu.

 

Artikel Terkait

Cerita di Balik Drama Gui Yang Tu

Cerita di Balik Drama Gui Yang Tu

25 Maret 2011 Bagi Tzu Chi Pekanbaru yang belum genap satu tahun resmi menjadi kantor penghubung Tzu Chi ini, Drama Musikal Gui Yang Tu (Lukisan Kambing Bersujud) yang dipentaskan saat acara adalah drama yang pertama kalinya diadakan.
Serunya Menanam Mangrove di Hari Lingkungan Hidup Sedunia

Serunya Menanam Mangrove di Hari Lingkungan Hidup Sedunia

07 Juni 2021

Memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang jatuh pada tanggal 5 Juni, relawan Tzu Chi dari Xie Li Yayasan & DAAI TV menanam 600 bibit mangrove di Pantai Djumo Kemayungan, Serang Banten.

Menghadapi kata-kata buruk yang ditujukan pada diri kita, juga merupakan pelatihan diri.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -