Apa Kabar Palu?

Jurnalis : Metta Wulandari, Fotografer : Metta Wulandari


Relawan Tzu Chi Jakarta Sudarman Lim dan Relawan Tzu Chi Makassar Lenny Darmawang menyurvei kondisi Nurdianti (tengah) di huntara Lapangan Kompas. Mereka bercengekrama seakan bertemu teman lama.

Tujuh bulan berlalu setelah gempa dan tsunami menimpa Palu, Donggala, dan Sigi, kondisi beberapa wilayah di Sulawesi Tengah itu kian membaik. Aktivitas di kota sudah bisa berjalan seperti semula. Barak-barak pengungsian sudah berganti wajah. Yang dulunya tenda, kini sudah menjadi hunian sementara (huntara). Tapi belum semuanya bisa menikmati huntara, karena masih ada warga yang hingga saat bertahan di tenda. “Bukannya (waktu) nggak terasa ya, tapi memang dibetah-betahin aja,” kata Kasning yang menetap di tenda Lapangan Layana Indah, Tondo.

Bukan tanpa alasan Kasning bertahan bersama suami dan anak-anaknya di sana. Ada sebanyak 120 unit huntara yang tengah dibangun di wilayah lapangan Layana Indah. Tapi mayoritasnya masih belum berpintu dan berjendela. “Kami juga belum diinstruksikan untuk pindah,” kata ibu tiga anak itu.

Hidup di tenda terasa sangat menyiksa untuk mereka. Siang yang panas membuat ruangan di dalam tenda pengap seperti dioven. Angin pun jarang bertiup. Tapi ketika hujan datang, air membanjiri sekitar tenda. Pernah pula Kasning merasakan kebanjiran di dalam tenda.


Kasning, Ratni, dan Marhama menghabiskan waktu di luar tenda di siang hari karena tidak tahan dengan udara pengap di dalam tenda. Sudah tujuh bulan mereka bertehan di tenda.

Ratni, tetangganya bahkan harus sering-sering menjemur kasur karena letak tendanya ada di tanah yang lebih rendah dan membuat air lebih kerap menyambangi pondoknya itu. Kondisi seperti itu masih harus mereka lalui hingga beberapa waktu ke depan. Mereka juga belum tahu pasti sampai kapan harus berkemah dan melakukan semua aktivitas hanya di satu ruangan. Para warga yang masih tinggal di tenda hanya berharap bisa tinggal di tempat yang lebih baik ketika bulan puasa menyapa, pekan depan. “Semoga harapannya bisa terwujud,” kata janda satu anak itu.

Berbeda dengan tenda, keadaan di huntara terasa sedikit lebih baik. Setidaknya para pengungsi tidak merasakan hidup terkungkung dalam barak. Panas dan hujan bisa sedikit terobati karena huntara lebih mirip seperti bilik-bilik rumah kontrakan. Walaupun belum semuanya selesai dibangun. “Kami memang terpaksa pindah lebih dulu, karena banjirnya lumayan tinggi kalau terus di tenda,” aku Rahmia.


Sebanyak 17 relawan Tzu Chi Jakarta, Makassar, dan sukarelawan Palu berkeliling menyurvei warga di Huntara Lapangan Kompas, Huntara Lapangan Soekarno Hatta, dan kamp Lapangan Layana Indah.

Huntara tempat Rahmia tinggal saat ini juga belum berpintu dan berjendela. Ia menggantung selimut sebagai pintu sekaligus untuk menutupi jendelanya. Suaminya juga memanfaatkan triplek-triplek bekas untuk mengganjalnya dari tiupan angin. “Soalnya kami punya anak bayi, kasihan dia sering sakit karena merasa tidak nyaman dengan lingkungan,” kata Rahmia sambil mengelus kepala anaknya yang sedang pilek.

Mendekati bulan puasa, harapan Rahmia sama dengan Ratni: bisa menjalankan ibadah puasa dengan lancar dan bisa tinggal di tempat yang lebih baik nantinya.

Bagaimanapun keadaannya, melihat mereka tinggal di tenda ataupun di huntara, relawan Tzu Chi yang datang ke pengungsian hari itu masih merasa tidak tega. Cuaca yang sangat panas dan tidak lama setelah itu turun hujan, membuat udara di sekitar pun sangat pengap. Hanya dengan memasukkan separuh tangan ke dalam tenda, mereka sudah bisa tahu betapa tersiksanya apabila orang harus tinggal di dalamnya dalam waktu yang lama.


Dalam kondisi cuaca yang tidak pasti – cuaca yang sangat panas dan tidak lama setelah itu turun hujan, relawan tetap berkeliling sehingga bisa menyelesaikan tahap survei dengan sebaik-baiknya.

“Saya turut bersedih melihat mereka, satu keluarga hingga sekarang menjalani kehidupan seperti ini,” kata Lenny Darmawang, relawan Tzu Chi Makassar. “Rasanya pasti berat sekali,” lanjutnya.

Ditambah ketika mendengar cerita tentang pekerjaan para kepala keluarga yang belum pasti. Untuk menjalani kehidupan sehari-hari, para keluarga pengungsi saat ini masih bekerja kesana-kemari dan luntang-lantung. Apa saja dikerjakan asal menghasilkan uang secara halal.

Berkah Datang Lagi

Pihak pemerintah memang mengalokasikan bantuan untuk pengungsi, namun tidak mungkin mereka hanya hidup dengan mengandalkan bantuan saja. Sementara kebutuhan harian, juga pendidikan anak-anak mereka masih harus ditanggung masing-masing keluarga. Untuk itu Tzu Chi mengajak warga pengungsi untuk bisa bekerja di proyek hunian tetap (huntap) – Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi Tadulako 1 yang tengah dalam tahap pembangunan.

Sudah ada sekitar 15 warga dari Lapangan Layana Indah yang mendaftar sebagai pekerja di huntap Tzu Chi. Mereka tinggal menunggu panggilan kerja saat waktunya tiba. “Kami di lapangan menjalankan apa arahan Master Cheng Yen, bahwa harus mengajak para korban untuk bisa kembali bermanfaat. Selain bisa menambah pemasukan mereka dan meningkatkan perekonomian, mereka bisa dengan kemampuannya membangun rumah yang nantinya akan menjadi rumah mereka,” kata Aida Angkasa, Koordinator Lapangan pembangunan huntap Tzu Chi.


Huntara tempat Rahmia tinggal saat ini belum berpintu dan berjendela. Ia menggantung selimut sebagai pintu sekaligus untuk menutupi jendelanya. Suaminya juga memanfaatkan triplek-triplek bekas untuk mengganjalnya dari tiupan angin.

Kabar akan dibangunnya huntap sudah tersiar di wilayah Tondo setelah peletakan batu dilaksanakan di lokasi, di belakang Universitas Tadulako, 4 Maret 2019. Relawan Tzu Chi juga sedang bergerilya, menyurvei warga, calon penerima bantuan huntap dari Tzu Chi. Mereka berkeliling tiga shelter untuk mendata satu per satu warga dan memastikan kondisi mereka.

Survei yang dilakukan di tiga shelter: Huntara Lapangan Kompas, Huntara Lapangan Soekarno Hatta, dan kamp Lapangan Layana Indah, itu dilakukan sejak pagi hingga malam hari. Relawan Tzu Chi Jakarta, Makassar, dan sukarelawan Palu bersinergi memanfaatkan waktu yang singkat untuk mengorek kisah warga sebanyak-banyaknya. Dari satu setengah hari yang efektif (26 - 27 April 2019), ada 165 unit (huntara-maupun tenda) yang mereka datangi.


Nurdianti memamerkan selimut, salah satu bantuan yang ia dapatkan dari Tzu Chi pada masa tanggap darurat tujuh bulan lalu. Selimut ini menjadi kenangan dan bantuan yang berarti yang masih bisa ia manfaatkan sampai saat ini.

Kehadiran relawan Tzu Chi membawa sukacita tersendiri bagi warga. Terlebih bagi warga yang masih mengingat bantuan-bantuan Tzu Chi yang diberikan pada masa tanggap darurat, sekitar tujuh bulan lalu. Seperti salah satunya Nurdianti yang dengan senyum merekah menyambut relawan datang ke huntaranya. “Ada relawan Tzu Chi datang lagi, semoga membawa kabar baik,” katanya.

Nurdianti juga sempat menunjukkan selimut, salah satu bantuan yang ia dapatkan dari Tzu Chi yang masih bisa ia manfaatkan sampai saat ini. “Saya tidak lupa sama bapak ibu semua. Pokoknya yang pakai baju (seragam) ini, pasti dari (yayasan) Buddha Tzu Chi,” ungkapnya.

Pada tahap pertama, akan ada sekitar 170 dari 2.000 huntap Tzu Chi yang akan diserahterimakan kepada warga. Tahap pertama ditargetkan bisa terealisasi pada 1 Juni mendatang, tepat sebelum warga merayakan Hari Raya Idul Fitri (Hari Kemenangan).


Editor: Arimami Suryo A.


Artikel Terkait

Apa Kabar Palu?

Apa Kabar Palu?

30 April 2019

Tujuh bulan berlalu setelah gempa dan tsunami menimpa Palu, Donggala, dan Sigi, kondisi beberapa wilayah di Sulawesi Tengah itu kian membaik. Aktivitas di kota sudah bisa berjalan seperti semula. Barak-barak pengungsian sudah berganti wajah. Yang dulunya tenda, kini sudah menjadi hunian sementara (huntara). Tapi belum semuanya bisa menikmati huntara, karena masih ada warga yang hingga saat bertahan di tenda.

Mendedikasikan jiwa, waktu, tenaga, dan kebijaksanaan semuanya disebut berdana.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -