Asa Baru Untuk Raihan

Jurnalis : Lo Wahyuni (He Qi Utara), Fotografer : Lo Wahyuni (He Qi Utara)

Relawan mencoba menggendong Raihan

Raut wajahnya terlihat tampan dan berambut ikal.  Balita  dengan selang infus yang terpasang di hidungnya, menjadi perhatian bagi relawan Tzu Chi. Di usia 19 bulan,  Raihan Nur  hanya  tergolek lemah di tempat tidur dengan sorot mata memilukan. Kelincahan dan gelak tawa lucu dari seorangbalita ini tidaklah terdengar. Putra bungsu tercinta dari keluarga Marta tengah menderita sakit yang mengakibatkan perutnya membuncit dan bibirnya tampak menghitam. Sejak lahir, Raihan sudah terkena penyakit kuning pada kulit dan kedua kelopak putih matanya.  Setelah Ibu Duryati (36) dan Marta (56) membawa buah hati mereka ini berobat ke RSCM dan diperiksa secara intensif, Raihan didiagnosa menderita  penyakit Atresia Bilier. Atresia Bilier ialah penyakit yang bermula dari  penyempitan empedu dan menyebabkan gagal fungsi hati (lever) sehingga saluran empedu tidak berbentuk secara normal.

 Untuk kelangsungan hidupnya,  Raihan terpaksa harus dioperasi saat usianya baru menginjak dua bulan.  “Raihan harus diganti selang infusnya di rumah sakit seminggu sekali. Makanannya dimasukkan melalui selang itu dan  hanya  berupa cairan yaitu susu pregistimil (susu khusus untuk bayi yang alergi terhadap susu sapi dan mengalami kesulitan untuk menyerap lemak atau sensitif terhadap protein-red). Kalo yang lainnya, dia ngga mau” tutur Duryati. Tindakan operasi dan pengobatan selama setahun lebih,  ternyata belum mampu menyembuhkan penyakitnya. “Kata dokter, Raihan harus ditransplantasi hati dengan golongan darah B. Tapi Lever suami saya tidak bisa diambil, karena dia batuknya berdarah dan lever saya juga engga layak, karena ada lemak” kata Ibu tiga anak ini  kepada para relawan Tzu Chi yang datang ke rumahnya. 

Vera Hung relawan baru Tzu Chi ikut melakukan kunjungan kasih Tzu Chi

Bertempat dibilangan Muara Angke, Jl. Kampung Nelayan Blok Empang, enam orang relawan Tzu Chi berkunjung ke rumahnya, pada Minggu, 9 November 2014. Kendaraan mobil yang ditumpangi  para relawan harus diparkir di Rusun Tzu Chi Muara Angke. Kemudian kami harus mengendarai odong-odong (kendaraan kecil sederhana) karena jalan menuju gang empang sering tergenang banjir 10-15 cm, akibat air laut pasang.  Perjalanan  ke lokasi harus ditempuh dengan  berjalan kaki sekitar 200 m . Dengan penuh semangat para relawan menyusuri gang sempit yang berkelok  dan penuh bebatuan untuk sampai ke rumah Raihan Nur.   Kehadiran kami dengan membawa bantuan berupa beras, susu bayi,  baju bayi, mie instan, gula dan minyak goring, pampers bayi sumbangan dari  yayasan Tzu Chi dan beberapa relawan.  Saat menerima sekantong beras 10 kg, sontak Duryati bersorak kegirangan, “Wah kebetulan lagi ngga ada beras di rumah, Alhamdulilah banget ya. Saya sangat bersyukur.”  Hati kami pun riang mendengarnya sekaligus berempati dengan Ibu rumah tangga ini. Senyuman Duryati begitu bahagia, seolah melupakan beban hidup yang senantiasa menghimpit keluarga  ini.  Marta menghidupi kelima orang anggota keluarganya di kota metropolitan dengan penghasilan sebesar 50 ribu rupiah per hari. “Suami kerjanya tukang tambal ban di depan Waduk Pluit, kadang penghasilannya ngga tetap.  Ibu saya yang tinggal deket sini, suka ngasih uang ke saya dari hasil kerjanya tukang sapu. Jadi bisa bantu buat rumah tangga dan berobat anak,” kata Duryati sembari menggendong Raihan.  Duryati dan keluarga menetap di rumah yang berukuran 3x6m2. Bangunannya sangat sederhana berbentuk bedeng dengan genteng asbes dan lantai semen. Pertukaran udara di dalam rumah pun tidak sempurna sehingga udara terasa pengap. “Dulu rumah ini sering terendem banjir, tapi sejak lantainya ditinggikan, sudah ngga banjir lagi,” papar Duryati.  

Mengetahui kondisi rumah Raihan yang sulit dijangkau, relawan harus menaiki odong-odong.

Sebelum pulang, usai berpamitan dengan Duryati, kami sempat mendoakan Raihan agar  mendapatkan kesembuhan.  Sekitar satu jam kemudian, kami berhasil menemui ayah Raihan, Marta yang sedang mencari nafkah di lokasi tambal ban di depan Waduk Pluit. Marta menerima donasi sebuah kompor baru  dengan tangan terbuka. “Terima kasih untuk  kompornya dan kunjungan ke rumah,” kata Marta. Sungguh senang  kami melihat raut wajah pria asal Tasikmalaya ini  dapat tersenyum bahagia ditengah kerasnya hidup di Jakarta.  

Terinspirasi dari kunjungan kasih pertama

“Pertama kali ikut kunjungan kasih ini. Saya sangat terharu melihat kondisi Raihan dan rumahnya yang tidak layak huni,” kata Lim Guo Hua (50) relawan baru Tzu Chi.  Ibu rumah tangga dengan 3 orang anak ini  sering mengeluh  dan suka membanding-bandingkan hidupnya dengan orang lain.  Sejak melihat kondisi keluarga ini, Guo Hua merasa sangat terinspirasi, “Saya harus  selalu bersyukur atas  hidup keluarga saya  yang memiliki kesehatan baik dan hidup cukup ” imbuhnya.

Vera Hung (52) yang juga ikut kunjungan kasih juga mendapatkan banyak manfaat dari kunjungan kasih ini. “Saya kagum dengan Ibu Duryati, senyumannya begitu bahagia.  Sifatnya yang pasrah dan dapat berlapang dada di tengah hidup serba kekurangan, mampu memberikan pelajaran berharga bagi saya”. Kunjungan ini telah membangkitkan kesadaran saya,  kalau  selagi sehat dan ada waktu, harus segera membantu orang lain yang menderita,” ujar Vera Hung relawan yang juga gemar memasak.

Relawan juga menemui Marta (ayah Raihan) sekaligus memberikan bantuan kompor gas untuk memasak

Kunjungan kasih ini telah usai, namun kisah seorang Raihan tidak pernah pupus di hati kami. Kisah keluarga Raihan telah menjadi narasumber batin para relawan. Ketabahan dan keceriaan Duryati ibu Raihan di tengah gejolak  hidupnya yang serba minim,  telah menjadi refleksi batin kami. Kita hendaknya  hidup sederhana agar dapat memahami makna  hidup yang sesungguhnya.  Juga  selalu hidup penuh rasa syukur, sebab rasa bersyukur adalah benih kebahagiaan yang dapat tumbuh dan berkembang menjadi cinta kasih bagi sesama dan semua makhluk di dunia.     


Artikel Terkait

Umur kita akan terus berkurang, sedangkan jiwa kebijaksanaan kita justru akan terus bertambah seiring perjalanan waktu.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -