Asa yang Kembali Terbentang

Jurnalis : Hadi Pranoto, Fotografer : Hadi Pranoto
 
foto

* Dengan sabar dan penuh perhatian, Oey Lin-vong, relawan Tzu Chi, menyuapi Derato. Selain penyembuhan fisik, perhatian dari relawan juga dipercaya dapat menumbuhkan semangat bagi pasien untuk sembuh.

“Akhir tahun 2005, usaha yang saya rintis dari tahun 1990 hancur. Di saat kondisi keuangan menipis, cobaan lebih berat datang bertubi-tubi. Saya terserang osteoporosis (pengeroposan tulang –red) dan akhirnya tidak bisa berjalan. Istri yang saya harapkan dapat mengambil alih kendali usaha dan tanggung jawab, justru pergi meninggalkan saya.”

“Untung istri saya pergi sendirian, nggak bawa kedua anak kami. Kalau anak-anak juga dibawa, nggak tahu deh apa yang terjadi dengan saya,” kata Derato dengan mata berkaca-kaca. Ditemui pascaoperasi di Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta Selatan, pria berumur 37 tahun ini dengan lancar menuturkan kisah hidupnya kepada saya. Ditemani dua orang relawan Tzu Chi, Linda dan Oey Lin-vong, wawancara pun berlangsung dengan santai dan lebih lengkap, mengingat kedua relawan ini kerap mendampingi ayah dua orang putri ini di rumah sakit.

Usaha yang Jatuh Bangun
Awalnya kehidupan Derato berjalan normal seperti keluarga-keluarga lainnya: punya usaha, istri, dan dua anak yang lucu. Sementara ia berdagang mainan anak-anak, Widiawati, istrinya membuka toko pakaian dan perlengkapan bayi. Mereka mengontrak sebuah toko di Pasar Palmerah, Jakarta Barat. Sedikit demi sedikit, usaha pun semakin berkembang seiring berjalannya waktu dan kegigihan mereka berdagang. Beberapa karyawan pun dipekerjakan untuk melayani pembeli yang terus bertambah.

Di saat sedang giat-giatnya menjalankan usaha, tahun 1998, toko yang dirintis sejak delapan tahun itu habis dijarah saat terjadi kerusuhan besar-besaran di Jakarta dan kota besar lainnya. Toko dan seluruh isinya ludes terbakar dan dijarah massa. “Sayangnya, pada saat itu kami belum sempat beli apa-apa lagi. Rumah juga belum punya, jadi barang-barang rumah tangga aja. Tabungan ada, tapi karena nggak ada kegiatan hampir setahun lamanya, jadi ya habis juga,” kata Derato mengenang.

Tak ingin larut dalam kesedihan, Derato pun mencoba bangkit dan merintis usaha baru. Setelah pasar selesai diperbaiki, Derato pun kembali menyewa toko untuk berdagang. “Kita kekurangan modal, jadi pinjam ke bank, kartu kredit, dan bahkan rentenir,” terang Derato. Karena sebagian besar modal berasal dari pinjaman, pendapatan dari toko dan cicilan hutang pun tidak seimbang. Terlebih pinjaman di luar bank, yang bunganya cukup besar. Tahun 2003, usaha pun mulai goyang. Selain omzet yang menurun, mereka pun terjerat hutang dengan bunga yang tinggi. Lebih besar pasak daripada tiang istilahnya. “Memang waktu itu kita memang sudah minus (kurang modal –red) sejak buka usaha,” papar Derato.

foto   foto

Ket : - Derato tak kuasa menahan perasaannya saat menceritakan kisah hidupnya. Ia pun merasa terharu atas
           bantuan dan perhatian yang diberikan oleh para relawan Tzu Chi terhadap dirinya. (kiri)
         - Sebagai wujud terima kasih dan keinginan untuk membantu sesama, Derato pun menyumbangkan uang
           pemberian dari temannya kepada Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. (kanan)

Percekcokan dengan Istri
Di saat sedang mati-matian mempertahankan kelangsungan usaha, tahun 2005, Derato mulai merasakan kurang sehat pada tubuhnya. “Awalnya berasa ngilu (sakit nyeri –red) di kaki. Kalau di lutut sebenarnya dah lama, cuma karena nggak dirasain aja jadi saya tetap (ber)aktivitas,” ujar Derato. Ia pun lebih sering beristirahat di rumah dan hanya mengandalkan para karyawannya untuk menjalankan usaha. Ditambah hutang bank yang membengkak, akhirnya usahanya pun kembali kandas. Karena minim biaya, maka Derato hanya sanggup berobat ke dokter umum. Untuk menghilangkan rasa sakit di kaki, ia meminum obat terus-menerus sampai 2 tahun secara kontinyu. “Waktu itu usaha dah pas hancur, jadi saya pakai obat generik aja,” aku Derato.

Seolah tak cukup satu-dua cobaan, di tahun itu pula ia berpisah dengan istrinya. “Mungkin karena faktor ekonomi dan kondisi saya yang sakit, saya sering cekcok dengan istri,” terang Derato. Ditambah kebiasaan sang istri yang lebih sering keluar rumah dan kurang mengurusi anak-anak, maka perpisahan pun tak terelakkan. “Anak-anak nggak saya kasih dia (istri –red) bawa. Saya berprinsip walaupun kondisi saya gimanapun, anak-anak harus tetap dapat pendidikan,” kata Derato yang berinisiatif menitipkan kedua anaknya, Jienesha (10) dan Jientonius (7) di salah satu panti asuhan di Jakarta. Tentang hal ini, Derato punya alasan tersendiri, “Saya nggak bisa urus anak sendiri, usaha saya hancur dan saya juga numpang hidup di rumah teman.” Sementara untuk dirawat sang istri, Derato tak mempercayainya. “Saya dulu sering cekcok sama istri juga karena dia sering ninggalin anak. Dari situ saya pikir nggak mungkin dia bisa jadi ibu yang baik,” tegas Derato.

Karena sudah tidak memiliki usaha, Derato pun bekerja di percetakan sablon milik temannya. Bulan Agustus 2005, penyakitnya makin parah dan membuat Derato tak bisa lagi berjalan. Salah satu temannya yang bersimpati kemudian membawanya berobat ke RS Sumber Waras, Grogol. “Kata dokter, tulang saya harus dioperasi, kalau nggak, nggak mungkin bisa jalan,” kenang Derato. Dokter pun menolak untuk memberikan obat, karena menurut dokter tidak akan dapat menyembuhkan dan hanya akan membuat penyakitnya bertambah parah. Atas saran seorang teman, Derato pun mencoba berobat alternatif ke daerah yang terkenal sebagai penyembuh berbagai jenis penyakit tulang —khususnya patah tulang. Selama sebulan lebih, Derato dirawat di daerah Cimande, Sukabumi, Jawa Barat. “Nggak ada perkembangan, malah makin sakit. Setiap hari cuma dipijat dan diurut,” ungkap Derato.

foto   foto

Ket : - Di hadapan relawan Tzu Chi, Oey Lin-vong dan Linda, Derato menunjukkan foto-foto keluarganya. Foto-foto
           itu ia simpan sebagai pengobat rindu terhadap kedua anaknya yang tinggal di panti asuhan. (kiri)
         - Kehadiran relawan Tzu Chi dalam mendampingi para pasien yang dirawat di rumah sakit sangat membantu
           para keluarga yang umumnya belum memahami prosedur dan persyaratan memperoleh perawatan dan
           operasi. (kanan)

DAAI TV Membuka Harapan
Setelah pengobatan alternatif tak membuahkan hasil, Derato kembali ke rumah kerabatnya. Ia sudah pasrah terhadap penyakitnya. “Saya dah nggak ada harapan. Frustasilah,” kenangnya pahit. Setiap hari, waktunya dihabiskan untuk menonton televisi. Tapi siapa sangka, lewat televisi pulalah harapannya kembali terbuka. “Waktu itu DAAI TV baru muncul. Saya suka nonton dramanya, lihat dan ternyata ada cinta kasih serta menolong orang lain,” kata Derato. Pria ini pun berinisiatif meminta temannya untuk mendaftarkan dirinya meminta bantuan pengobatan ke Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia.

Nggak sangka, dua hari kemudian datang orang yayasan (Tzu Chi) yang survei,” katanya senang. Meski begitu, ia mengaku awalnya merasa kurang yakin akan dibantu. “Soalnya saya numpang di rumah teman yang cukup besar rumahnya. Penampilan saya pun nggak kayak orang susah,” ujarnya seraya tersenyum. Tapi kekhawatiran itu tak terbukti, Derato pun diminta melakukan pemeriksaan awal di RSKB Cinta Kasih Tzu Chi. Oleh dr Hamdan, Derato dirujuk ke RS Fatmawati pada bulan Mei 2007.

Dari hasil rontgen dan konsultasi, dokter menyatakan Derato harus segera dioperasi. Engsel tulang kakinya di bagian lutut dan paha harus dipasangi pen (titanium). “Saya terus nunggu. Karena yayasan dah setuju membantu pengobatan, saya lebih tenang,” aku Derato. Setelah menunggu satu tahun lebih, akhirnya pada tanggal 22 September 2008, Derato menjalani operasi bedah tulang pertamanya. Tulang paha sebelah kirinya dipasangi pen. Berselang dua bulan kemudian, tanggal 5 November 2008, giliran paha kanannya yang dioperasi. “Perubahannya sangat banyak. Sebelum operasi, bangkis (bersin –red) aja sakit. Kena gujlakan di kursi roda aja sakit banget,” terang Derato.

Kini Derato tinggal menunggu bagian lutut untuk dipasangi pen. “Kalau lutut sudah dioperasi, saya yakin saya dah bisa jalan. Sekarang saja saya dah bisa jalan sambil dorong kursi roda,” kata Derato yang masih menyimpan semangat besar untuk bangkit dan membangun usaha kembali. “Kalo dah pulih, saya mau usaha lagi. Saya mau rawat anak saya sendiri. Syukur-syukur kalau istri saya bisa kembali lagi,” harap Derato. Meski hidup terpisah, setidaknya pasangan ini masih tetap berkomunikasi lewat telepon. “Tapi sebatas urusan perkembangan anak saja,” akunya.

Dari cobaan yang menderanya, Derato memperoleh pengalaman dan pelajaran berharga. “Setelah banyak melihat dan mengalami sendiri pertolongan dari yayasan, saya juga ingin membantu orang lain, seperti yang pernah saya alami. Nggak bisa bantu dana, bantu informasi pun saya bisa, seperti ngurusin Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) pasien-pasien Tzu Chi,” kata Derato berjanji. Ucapan ini bukan sekadar janji belaka, bahkan Derato sudah memulai mendanakan uang yang diperoleh dari temannya kepada Tzu Chi. “Jumlahnya nggak seberapa jika dibandingkan dengan bantuan yang diberikan yayasan kepada saya,” kata Derato merendah. Bukan besar-kecilnya sumbangsih yang diharapkan, tapi ketulusan dan semangat menularkan kebajikan yang menjadi lebih penting. Dan, inilah sepertinya rahasia yang membuat Tzu Chi menjadi semakin besar di dunia. Berawal dari satu benih kebajikan yang ditanam, berkembang menjadi ribuan butir benih lainnya.

 

Artikel Terkait

Para Penerima Bantuan Bedah Rumah Tzu Chi di Kamal Muara Larut dalam Kebahagiaan

Para Penerima Bantuan Bedah Rumah Tzu Chi di Kamal Muara Larut dalam Kebahagiaan

19 April 2022

Jika ditanya siapa yang paling berbahagia saat ini, tak berlebihan kalau jawabannya adalah lima keluarga penerima bedah rumah Tzu Chi di Kamal Muara. Setelah berpuluh tahun berjibaku dengan penderitaan akibat banjir yang kerap menggenangi rumah mereka, kini tidak lagi.

9 Tahun Mengisi Celengan Tzu Chi

9 Tahun Mengisi Celengan Tzu Chi

21 Februari 2020

Wiliyani, salah seorang murid SMP Bina Bangsa mengaku terus mengisi celengannya lagi dan lagi setelah dituangkan. Bahkan sejak pertama kali mendapatkan celengan, 9 tahun lalu, ia dan keluarganya tak pernah lupa untuk memenuhi celengan itu.

Suara Kasih: Menggalang Bodhisatwa Dunia

Suara Kasih: Menggalang Bodhisatwa Dunia

24 Oktober 2011 Pendidikan harus dimulai sejak kecil agar anak-anak dapat bertunas bagai sebutir benih dan bertumbuh menjadi pohon besar. Kita harus seperti tukang kebun yang rajin merawat dan menyiram tanaman serta membersihkan rumput liar agar benih yang baik dapat bertunas dan bertumbuh menjadi pohon besar.
Setiap manusia pada dasarnya berhati Bodhisatwa, juga memiliki semangat dan kekuatan yang sama dengan Bodhisatwa.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -