Bacang Cinta Kasih untuk Gan En Hu
Jurnalis : Lina K Lukman (He Qi Pusat), Fotografer : Lina K Lukman (He Qi Pusat)
|
| ||
Kegiatan kali ini berdekatan dengan hari bacang (penganan yang dibuat dari beras atau ketan yang diisi daging) yang dirayakan oleh warga Tionghoa pada tanggal 12 Juni 2013. Perayaan hari bacang merupakan salah satu dari 3 tradisi dalam masyarakat Tionghoa, yang pertama adalah hari raya imlek (perayaan musim semi / pergantian tahun), kedua adalah hari raya bacang dan terakhir adalah perayaan kue bulan yang diadakan setiap bulan 8 pada penanggalan lunar. Walaupun semua peserta penerima bantuan tahu dan pernah makan bacang, namun mereka tidak tahu mengapa dalam masyarakat Tionghoa ada tradisi hari bacang. Untuk itu Qiu Lan Shijie menjelaskan kepada peserta tentang asal mula tradisi hari raya bacang yang berasal dari zaman Tiongkok kuno, dimana pada zaman itu ada seorang menteri bernama Qu Yuan. Ia sangat setia kepada raja dan negaranya dan ia juga telah menyatukan 6 negara, namun karena suatu sebab ia diasingkan ke suatu tempat selama 9 tahun dan meninggal dalam pengasingannya. Karena dalam masa pengasingannya itu ia mendengar bahwa negaranya hancur dan rajanya pun sudah meninggal, hal ini membuat ia menjadi putus asa dan melompat ke dalam sungai. Warga sekitar yang mendengar berita itu segera turun ke sungai ingin menolongnya tapi jasadnya tidak ditemukan, kemudian agar makhluk air tidak memakan tubuh Qu Yuan maka mereka membuang nasi kedalam sungai sehingga makhluk air memakan nasi tersebut. Tapi suatu hari di antara mereka ada seseorang yang dalam mimpinya bertemu dengan Qu Yuan yang berpesan untuk selanjutnya setiap tahun tanggal 5 bulan 5 nasi tersebut dibungkus dalam daun bambu baru dilempar ke sungai. Maka sejak saat itu perayaan hari bacang diperingati setiap tanggal 5 bulan 5 penanggalan lunar. Makna 4 sudut lipatan bacang.
Keterangan :
“Kita makan bacang tidak harus yang berisikan daging cincang. Kenapa? kita harus menghargai makhluk lain dan kita juga harus mempunyai hati yang welas asih dan bacang juga bisa berisikan sayuran,” tambah Qiu Lan Shijie sebelum mengakhiri sharing-nya. Acara selanjutnya Ayen Rita Shijie menyampaikan bahwa karena banyak penerima bantuan Tzu Chi yang rumahnya jauh dari kantor He Qi Pusat, maka pada kegiatan kali ini peserta dibagi menurut wilayah tempat tinggalnya, yaitu: He Qi Timur dan He Qi Pusat. Pembagian wilayah ini dilakukan agar pada kegiatan Gan en hu selanjutnya, penerima bantuan bisa menjadi lebih mudah dalam menerima bantuan bulanan yang diberikan oleh Yayasan Buddha Tzu Chi. Setelah itu peserta dipersilahkan untuk menyaksikan video ceramah Master Cheng Yen (Lentera Kehidupan). Dilanjutkan dengan relawan memperagakan isyarat tangan lagu “La Che Xiang Qian Xing” yang menceritakan untuk menarik pedati memang sangatlah berat dan tidak mudah tapi dengan tekad dan usaha, kita bisa menarik pedati sampai ke tujuannya, yang artinya walaupun ada kesulitan dalam kehidupan namun kita tidak boleh putus asa. Tetap bersyukur Lim Nyuk Yin (59) salah seorang penerima bantuan Tzu Chi sudah 6 tahun menjalani cuci darah karena gagal ginjal. Lim Nyuk Yin dalam kesehariannya hanyalah berjualan kue kering dengan penghasilan yang pas-pasan dan itu pun hanya kadang-kadang saja karena kesehatannya tidak memungkinkan dirinya untuk berjualan setiap hari. Bagi Lim Nyuk Yin biaya yang harus dikeluarkan untuk sekali cuci darah cukup besar, karena itu ia mengajukan permohonan bantuan pengobatan pada Yayasan Buddha Tzu Chi.
Keterangan :
“Mama sudah 5 tahun dibantu biaya cuci darah oleh Yayasan Buddha Tzu Chi dan sekarang ini mama jalanin cuci darahnya seminggu 2 kali tiap hari senin dan kamis. Walaupun saya baru beberapa kali mengantar mama kemari buat ambil biaya pengobatan, saya lihat relawan sangat baik dan ramah waktu melayani kami. Relawan Tzu Chi juga sangat sigap mengatasi masalah bencana banjir bulan Januari lalu itu dan kasih bantuannya tidak milih-milih, kalau memang membutuhkan dan tidak mampu pasti dibantu.” kata Lim David (24), putra Lim Nyuk Yin. Di kegiatan ini juga terdapat beberapa orang anak kecil dan salah satu dari anak tersebut adalah Rizki Ramadhan (3). Sejak lahir Rizki di diagnosis dokter menderita Atresia Esofagus (kerongkongan menyempit atau buntu tidak tersambung dengan lambung)dan di tenggorokannya (leher) terdapat Nasal Kanul selang oksigen yang membantunya untuk bernafas namun ia terlihat sehat dan riang seperti anak-anak lainnya. Pada umumnya ketika kita makan, makanan yang ditelan akan melewati esofagus (kerongkongan) menuju ke lambung, namun tidak demikian pada penderita Atresia Esofagus. Bayi yang menderita Atresia Esofagus tidak dapat menelan makanan secara normal yang disebabkan oleh tidak sempurnanya saluran yang membawa makanan dari mulut sampai ke lambung. Ini terjadi karena adanya kelainan pada sistem gastrointestinal (saluran pencernaan) dimana esofagus (kerongkongan) dan trakea (batang tenggorok) tidak memisah dengan normal selama perkembangan embrio (janin) saat berada dalam kandungan. “Waktu 7 hari setelah lahir itu Rizki di operasi bikin saluran buat makan di lambungnya, umur 3 bulan di operasi lagi buat saluran napas, terus bulan Februari kemarin baru di operasi penyambungan saluran makan. Walaupun Rizki seperti ini tapi saya bersyukur punya anak seperti Rizki.” kata ibu Tutik Sulistiyowati (35) yang sejak setahun lalu menerima bantuan pengobatan Yayasan Buddha Tzu Chi. Sehari-harinya ibu Tutik bekerja sebagai asisten rumah tangga dengan penghasilan yang sangat minim dan ia harus menghidupi 3 orang anaknya, namun ibu Tutik sangat bersyukur telah mengenal Yayasan Buddha Tzu Chi. “Relawan Buddha Tzu Chi sangat ramah dan baik pada kami, sudah bantu pengobatan Rizki. Kalau Rizki sudah agak besar dan bisa di tinggal, saya juga mau jadi relawan dan ikut bantu yang lain” ucap ibu Tutik dengan suara terharu. Di akhir acara setelah menerima bantuan bulanan kemudian peserta juga mendapat bingkisan berupa mie instan dan bacang vegetaris yang sudah dipersiapkan oleh relawan dengan suka cita dan penuh cinta kasih. | |||