Baksos Banjarnegara: Kemudahan Akses Medis yang Menjadi Dambaan

Jurnalis : Metta Wulandari, Fotografer : Metta Wulandari

Dokter Kimmy memeriksa setiap pasien yang datang pada Baksos Kesehatan di Desa Binangun. Salah satu pasien, Rusmini (berjilbab) tersenyum menyambut pelayanan medis yang diberikan oleh tim medis Tzu Chi.

Hari masih pagi, sekitar pukul 8.30 saat Rusmini (38) bergegas membawa ibunya, Marsono Miskam ke Kantor Kepala Desa Binangun, Karang Kobar, Banjarnegara. Dengan mengenakan jilbab berwarna hitam dan terusan berwarna merah, ia menggandeng ibunya. Wajah Rusmini terlihat pucat begitu juga Mak Miskam, panggilan akrab sang ibu. Kondisi kesehatan keduanya memang sedang tidak baik. Rusmini mengeluhkan matanya yang sudah agak rabun sedangkan Mak Miskan berkisah tentang gatal-gatal pada kulitnya yang sering kambuh. Sepanjang jalan menuju kantor kepala desa, mereka sesekali mengucap syukur atas jalinan jodoh yang telah tercipta antara warga kampungnya dengan Tzu Chi.

Ucapan syukur atas jalinan jodoh ini bukanlah tanpa sebab. Sore hari sebelumnya (17/12), masing-masing Kepala Dusun di wilayah Binangun dan sekitarnya memberikan pengumuman kepada para warga mengenai baksos kesehatan gratis yang diadakan oleh Tzu Chi di desa mereka. Sepanjang hidupnya, Rusmini sama sekali belum pernah merasakan bagaimana memperoleh pelayanan kesehatan yang mudah dijangkau. Hal ini tidak hanya dirasakan olehnya, semua warga merasakan hal yang sama. “Kalau mau berobat, harus ke kota (Karang Kobar) dulu. Sekitar 1 jam naik angkutan,” ucapnya sambil mengumbar senyum. Angkutan yang dimaksud Rusmini adalah mobil pickup yang hanya beroperasi pada 2 hari penanggalan pasaran jawa, yaitu pada pasaran pon dan manis (legi). Selain hari dengan pasaran tersebut, tidak ada angkutan yang beroperasi di sana.

Baksos kesehatan ini diadakan di Kantor Kepala Desa Binangun pada 18 Desember 2014. Baksos melayani 261 pasien dari Desa Binangun dan sekitarnya.

Tim dokter memeriksa setiap keluhan dari pasien. Bagi pasien hal ini merupakan suatu kesempatan yang baik karena selama ini mereka jarang sekali memeriksakan kesehatan karena akses pelayanan medis yang sulit dijangkau.

Apabila angkutan tidak beroperasi, maka warga lebih banyak memilih untuk menahan rasa sakit yang mereka derita. “Kalau merasa nggak sakit sekali ya nggak berobat, pasrah saja,” tuturnya menerima keadaan. Ada juga yang memilih untuk berjalan kaki untuk pergi ke puskesmas, namun hanya sebagian kecil. “Kalau mau ngojek juga bisa, cuma mahal. Sekitar 20 ribu sekali jalan” tutur Rusmini. “Uang ojek bisa buat makan 2 hari,” tambahnya. Warga di daerah ini memang bukan termasuk masyarakat mampu. Kebanyakan dari mereka hidup dari bercocok tanam, namun tanah di wilayah mereka juga tidak mudah ditanami. Seperti kebun milik Rusmini. Ia bahkan tidak pernah bisa menanam padi di kebunnya. “Paling cuma bisa ditanami cabe, jagung. Kalau padi nggak bisa,” jelas Rusmini. Hal itu membuat masyarakat di wilayah ini lebih akrab mengonsumsi nasi jagung daripada beras.

Tidak jauh berbeda dari Rusmini, Rianti (31) warga Desa Kali Adem, juga mengalami hal yang sama. Perlu waktu yang panjang untuk sampai di Kantor Kepala Desa Binangun. Waktu tempuhnya sekitar setengah jam perjalanan dengan menggunakan angkutan. Namun hari itu, ia bersama dengan ketiga saudaranya memutuskan untuk berjalan kaki sekitar 1 jam untuk mengikuti baksos kesehatan Tzu Chi ini. Desa Kali Adem yang terletak di balik bukit merupakan desa yang terpencil menurut Rianti. Jangankan puskesmas atau pelayanan kesehatan lain, lapangan dan sekolah pun tidak tersedia di desa itu. Maka, mendengar kabar baik ini, mereka bergegas mengikuti baksos dengan berjalan kaki walaupun dengan kesehatan yang sedang dalam kondisi menurun. Mereka menggenggam kesempatan dan memanfaatkan fasilitas kesehatan yang diberikan. “Terima kasih sudah mau membantu orang-orang pinggiran seperti kami,” ucapnya tersenyum sembari memegang erat plastik obat dari dokter.

Selain Rusmini dan Rianti, ada juga Ropiah (49). Ia datang di penghujung baksos dengan agak tergesa. “Saya datang dari Karang Godang, jauh dari sini,” ucapnya. Karang Godang merupakan rumah saudara, tempatnya mengungsi. Ia dan keluarganya tinggal di Dusun Gintung, namun sejak 15 hari yang lalu ia sudah menetap di rumah kerabatnya di Karang Godang karena ancaman longsor yang melanda dusun. Rumah Ropiah sendiri terletak di lereng bukit yang menurut BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) sudah rawan untuk ditinggali karena bagian bukit sudah menunjukkan tanda-tanda longsor. Sejak ketidakstabilan cuaca yang melanda sejumlah wilayah di Banjarnegara, ia tidak bisa tenang. Ditambah lagi pikirannya selalu terpaku pada kondisi rumahnya. Hal ini memicu kondisi kesehatannya semakin menurun. Sesak napas dan juga pusing sering sekali ia rasakan. Ia tidak mau diantar ke puskesmas karena beralasan jarak yang cukup jauh, namun kali ini jodoh membawanya bertemu dengan tim medis Tzu Chi.

Rianti (jilbab ungu) dan Ropiah (jilbab merah muda) membawa serta keluarga dan tetangga mereka untuk berobat. Lokasi desa yang jauh dari lokasi baksos membuat mereka harus menempuh 1 jam perjalanan dengan berjalan kaki.

Tim medis tidak hanya melayani pasien orang dewasa, anak-anak sekolah juga turut serta mengikuti baksos.

Mendapat kemudahan dalam memperoleh akses kesehatan merupakan dambaan dari para warga. Tidak hanya Rusmini, Rianti, dan juga Ropiah, namun seluruh warga menginginkan terwujudnya hal tersebut. Namun apabila harapan tersebut sulit untuk diwujudkan, mereka masih tetap bersyukur karena bagi mereka hidup tidak hanya sekedar mengeluh namun harus berjuang. “Tetap syukur Alhamdulillah masih diberi kesempatan hidup,” ucap Rusmini.

Menggenggam Kesempatan Berbuat Baik

Terlaksananya baksos di Desa Binangun pada 18 November 2014 merupakan suatu hal yang awalnya tidak terprediksi oleh tim tanggap darurat dan tim medis Tzu Chi. “Sebenarnya tujuan kita datang ke sini adalah bersama-sama tim tanggap darurat untuk membantu korban bencana longsor yang terjadi di Desa Karang Kobar,” ucap Dokter Kimmy. Namun tanpa disangka, tim medis dari berbagai LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) telah banyak sekali memberikan bantuan pengobatan pada para korban. Hal ini disambut positif oleh dr. Kimmy. Ia menilai bahwa tingkat solidaritas dan kepedulian dari masyarakat Indonesia sangat tinggi. “Artinya rasa ingin menolong antarsesama ini besar sekali. Sampai akhirnya kita kemarin (17/12) berkeliling mencari tempat untuk mengadakan pengobatan tapi kita tidak menemukan,” jelasnya.

Berbagai koordinasi dilakukan oleh tim medis Tzu Chi untuk memperoleh tempat yang sekiranya bisa menjadi posko baksos Tzu Chi. “Semua posko pengungsian sudah memperoleh penanganan dari medis,” ucap dr. Kimmy menirukan penuturan dari Komandan Kodim 0704/Banjarnegara, Letkol Inf Edy R. koordinasi yang agak memakan waktu tersebut akhirnya membuahkan satu hasil. “Kita disarankan untuk ke Desa Binangun ini, di mana desa ini merupakan rantai perpaduan dari beberapa desa yang juga merupakan tempat pengungsian.”

Di sela waktu menunggu pemeriksaan, relawan Tzu Chi melakukan sosialisasi pengenalan Tzu Chi kepada para pasien dengan membagikan Buletin Tzu Chi.

Bisa melayani 261 warga yang membutuhkan pelayanan kesehatan memberikan kepuasan sendiri bagi tim medis dan juga tim tanggap darurat Tzu Chi. Walaupun kondisi lapangan tidak selalu seperti prediksi dan rencana awal namun hal tersebut bukanlah kendala bagi mereka. Dalam peristiwa bencana ini, relawan juga seakan diingatkan bahwa waktu dari masing-masing individu tidak pernah bisa diprediksi. “Kita punya waktu cuma singkat. Saat ini adalah saat ini. Kalau kita mau berbuat baik ya saat ini, jangan tunda-tunda lagi,” tutupnya.


Artikel Terkait

Kita hendaknya bisa menyadari, menghargai, dan terus menanam berkah.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -