Baksos Ke-106 di Sorong: Titik-titik Cinta Kasih di Sorong
Jurnalis : Yuliati, Fotografer : anand YahyaKeluarga Yunus Sani keluarga dari Carlos Sani dapat tersenyum gembira saat Carlos dapat kembali melihat dan dapat bermain kembali dengan saudara-saudaranya dan teman-teman bermainnya.
“Dua relawan ke pintu belakang antar pasien,” ucap Markus Yekwam dengan logat Papua yang kental. Kalimat ini berulang kali terdengar dari Handy Talky (HT) yang dipegang salah satu relawan yang sedang menyantap makan siang di ruang pendaftaran. Tak lama kemudian, relawan yang memegang HT ini segera mengirimkan 2 relawan yang telah selesai makan siang menuju ke pintu keluar ruang operasi. Markus Yekwam adalah salah satu relawan dalam baksos kesehatan Tzu Chi ke-106 di RSUD Sele Be Solu, Sorong yang diberi tanggung jawab sebagai koordinator relawan. Relawan yang akrab disapa Max ini tidak hanya mengatur relawan saja, ia juga dengan ringan tangan melakukan pekerjaan lain. Ia tak segan-segan membantu logistik, mengantar pasien, sesekali menghibur pasien dengan leluconnya, bahkan ia juga membantu mengambilkan makan siang untuk beberapa pasien. Semua ini dilakukan dengan sukacita dan penuh semangat.
“Saya suka melayani. Semangat ini (melayani) beranjak dari SMP, SMA,” aku relawan asal Kepulauan Doom, Sorong ini. Meskipun jarak lokasi baksos dengan tempat tinggalnya cukup jauh dan harus menyeberang laut, Max tetap tanpa ragu melakukan sumbangsih membantu sesama. Ia pun dengan aktif membantu persiapan baksos seminggu sebelumnya. Ini karena Max mengaku merasa memiliki kecocokan dengan misi yang dijalankan Tzu Chi. “Ini yayasan (Tzu Chi) sosial dan cocok dengan kami. Ini keterpanggilan diri saya, saya ingin menolong orang, tidak mencuri, jadi apa saja saya mau kerjakan karena saya terdorong untuk melakukan hal-hal yang baik,” ungkap Max antusias. Bahkan antusiasnya dalam melayani inilah yang mengantarnya dalam menelurkan ide bagaimana menyebarkan informasi baksos kepada masyarakat. “Saya aktif ke posko (lokasi baksos), saya melihat publikasi belum maksimal. Saya inisiatif membuat pamflet kecil-kecil dan sebarkan ke jalan-jalan,” tuturnya.
Max bersama sekitar 40 relawan lainnya dari Papua Institute sangat antusias melakukan pelayanan pada baksos ini. Bahkan ia mengaku bahwa keberadaan Tzu Chi di Sorong dinantikan warga. “Hadirnya Tzu Chi ini luar biasa sekali, jadi ini jangan pertama dan terakhir. Mari bangun kantor cabang di sini. Jangan lihat warna kulit, agama di sini,” ungkap Max sangat antusias. Tidak hanya sekedar menginginkan Tzu Chi berdiri di Sorong, tetapi ia juga siap masuk ke dalam barisan Tzu Chi. “Saya orang pertama yang siap (jadi relawan). Saya mau melakukan sesuatu, saya siap,” tegas aktifis Papua Institute ini. Agar Tzu Chi mendapat dukungan dari semua pihak, Max juga selalu membahas Tzu Chi dengan para pasien yang diantar pulang usai melakukan operasi. “Setiap saya antar pasien ke rumah, saya selalu mengatakan tolong ingat ini Yayasan Tzu Chi, jadi kalau lihat nama Tzu Chi mari kita terima dengan baik dan dukung,” ujarnya.
Semua relawan di Sorong memang bekerja sama dengan baik dan solid, koordinasi yang mereka lalukan pun bagus, baksos bisa berjalan dengan lancar. Pada baksos hari kedua ini (02/05/15), tim medis Tzu Chi yang dibantu para relawan setempat berhasil menangani 77 pasien katarak dan 26 pasien pterygium.
Markus Yekwam menghibur para pasien di pendaftaran.
Dokter Tri Agus memeriksa mata Carlos Sani (9) yang menjalani post op. Carlos menderita katarak sejak satu tahun lalu dan kini mata kanannya mulai pulih dan dapat melihat kembali.
Bersyukur Bisa Membantu Kami
Nampak duduk seorang anak kecil di ruang inap usai menjalani operasi katarak, saya pun menghampiri dan menyapa anak mungil berkaos merah tersebut dari luar pintu. Anak itu hanya melontarkan senyum manisnya kepada kami. Charlos Sani, namanya. Bocah berusia 9 tahun ini melakukan operasi mata katarak ditemani ayah, nenek, dan dua saudaranya. Charlos menderita katarak akibat tusukan kayu yang mengenai matanya setahun silam. “Waktu itu main-main, matanya kena kayu, mungkin ini pengaruh dengan bola mata di dalamnya (sehingga katarak),” cerita ayahnya, Yunus Sani (47). Charlos sempat diberikan pengobatan pada matanya hanya dengan obat-obat luar (obat tradisional).
Sejak mata sebelah kanan tidak bisa melihat, Charlos pun mengalami kesulitan dalam belajarnya. “Memang kesulitan belajar. Mata sebelah (kanan) tidak melihat, kalau melihat kabur. Sangat terganggu, waktu belajar malas dan ngantuk jadi macam dia kurang semangat,” ujar Yunus sambil menepuk Charlos yang duduk di sampingnya. Sejak matanya sakit yang berpengaruh pada semangat belajarnya, Charlos sempat tinggal kelas, namun nilainya kembali membaik setelah ia belajar keras meskipun hanya dengan satu mata. “Kemarin terima rapor, peringkat 2,” ucap ayahnya.
Melihat kondisi anaknya yang demikian, sebagai orang tua Yunus merasa tidak tega melihat putranya yang hanya memanfaatkan satu mata kirinya untuk melakukan belajar dan aktifitas sehari-hari. Maka Yunus pun berpikir untuk melakukan operasi pada mata putranya ini. “(dulu) Pikir perlu operasi tapi tidak bisa juga karena biaya,” ucapnya. Memang mata pencaharian Yunus sebagai petani yang berpenghasilan tidak lebih dari satu juta dengan memiliki anggota keluarga yang banyak hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan sekolah anak-anaknya. Sehingga niat untuk pengobatan Charlos pun belum tercapai. Hingga akhirnya Charlos pun berjodoh dengan Tzu Chi dengan mengikuti baksos di Sorong ini.
Yunus mengetahui acara baksos ini dari siaran yang didengarnya, ia pun memutuskan untuk mengikuti baksos. “Acara ini tahu dari siaran, kami datang kemari untuk cek dan mendaftar. Dikasih formulir dan pulang isi,” kisahnya. Ia pun mengajak Charlos dan beberapa keluarganya untuk menemani Charlos menjalani operasi pada mata kanannya. Jarak yang ditempuh dari tempat tinggalnya di Kelurahan Giwu RT 04/001 Kecamatan Klaurung, Sorong menuju lokasi baksos pun cukup jauh dan masih sedikit rusak. Meskipun demikian keteguhan hati seorang ayah untuk mengembalikan penghilatan anaknya menjadi normal kembali. “Rumah kami (ke baksos) sekitar 2 km dari jalan raya jadi harus naik ojek, daripada kami menunggu lama jangan sampai pendaftaran tutup, jadi kami usahakan,” ucapnya.
Bagi Yunus, baksos yang diadakan Tzu Chi sangat membantu keluarganya. “Saya bersyukur karena ada yayasan dari Buddha (Tzu Chi) membantu operasi. Ini kalau operasi (sendiri) biaya besar, bersyukur yayasan (Tzu Chi) bisa membantu kami, sehingga kemarin operasi bisa selesai dengan baik,” ungkap bapak 4 anak ini. “Sebagai orang tua kami tidak bisa membalas,” imbuhnya. Dengan mengikuti operasi ini, Yunus berharap putranya dapat kembali bisa melakukan aktifitas dengan baik. “Harapan saya dengan matanya yang mungkin sudah sembuh bisa belajar dengan baik, sukses ke depan. Kita orang tua punya hidup tidak punya penghasilan yang baik, harapan saya anak ini (Charlos) besar bisa lebih baik,” ucapnya penuh harap.
Keesokan harinya (03/05), perban mata Charlos dibuka dengan senyum manisnya ia menjawab dengan antusias setiap huruf yang ditunjuk oleh tim medis Tzu Chi yang memeriksa pasca operasi. Hasilnya pun terbilang berhasil dan tingkat keterangan matanya bagus. Ketika ditanya apakah takut saat operasi, Charlos mengatakan “tidak takut, karena dokter suntik kram.” Charlos pun memuji dokter dan relawan Tzu Chi yang membantunya. “Dokternya baik. Terima kasih,” ungkap anak kelas 2 Sekolah Dasar ini. Ia pun merasa bahagia, matanya kembali bisa melihat indahnya dunia tanpa harus memaksakan mata kirinya bekerja keras.
Sementara itu, Salomia Kambu terus bolak balik untuk melihat kondisi mamanya yang sedang menunggu antrian untuk pemeriksaan lanjutan usai operasi. Di sisi lain ia juga mengawasi ayahnya yang juga akan menjalani operasi. Namun ayahnya belum memiliki jodoh baik pada baksos Tzu Chi ini. Ketika waktu operasi tiba, ternyata tensi darah ayahnya tinggi sehingga sang ayah tidak bisa menjalani operasi. Berbeda dengan mamanya, Dore Miay (69) berhasil mengikuti baksos ini walaupun terlihat tegang ketika akan memasuki ruang operasi. Rasa bakti Salomia kepada orang tua yang sangat tinggi, ia pun terus mendampingi mamanya walaupun tidak bisa berada di dekatnya. “Saya lihat mama gugup di dalam, saya terus berdoa, saya bilang Tuhan sembuhkan mama, saya tahu Tuhan yang sembuhkan lewat perawat-perawat dan dokter ini,” ungkap Salomia.
Salomia selalu mendampingi mamanya selama baksos berlangsung.
Sebelas bed operasi disiapkan untuk mengoperasi warga Sorong yang berjumlah lebih kurang 300 warga yang mengidap penyakit katarak.
Selang beberapa waktu, mamanya keluar dari ruangan post op menghampiri Salomia yang sedang berbincang dengan saya. Ia mengatakan, “Sudah terang, tadi putih sekarang terang.” Mendengar ucapan mamanya, Salomia tersenyum bahagia. “Puji Tuhan,” ucapnya spontan. Salomia yang tinggalnya tidak jauh dari lokasi baksos mengaku bersyukur karena Tzu Chi telah mengobati mata mamanya tanpa mengeluarkan biaya untuk operasi. “Dokter-dokter dan perawat ini dari jauh datang untuk sembuhkan orang di Papua. Tuhan bawa (dokter dan perawat) lewat yayasan Buddha (Tzu Chi) ini untuk menyembuhkan orang-orang yang sakit di sini. Saya ucapkan terima kasih,” ungkapnya terharu.
Sejalan Dengan Tzu Chi
Selama screening pasien baksos yang diadakan seminggu sebelumnya, relawan bersama dokter memeriksa pasien di Sorong. Namun ketika menjaring dan memeriksa pasien di kepulauan, dokter Cliff Ernst bersama relawan Tzu Chi melakukan screening di pulau masing-masing. “Saya turun di pulau-pulau Raja Ampat untuk menekan biaya transportasi. Screening di sana supaya transportasi mereka tidak terlalu berat, kalau sampai sini tidak jadi (dioperasi) kan kasihan,” ungkap dr. Cliff.
Dokter Cliff mengenal Tzu Chi sejak tahun lalu ketika ada kegiatan baksos Tzu Chi di Biak yang disambung dengan baksos di Manado. Ia terus bersumbangsih bersama Tzu Chi ketika ada baksos yang bisa ia jangkau. “Rasanya sih sejalan, kalau memang cinta kasih ya sejalan,” ungkap dr. Cliff. Dokter Cliff merupakan satu-satunya dokter spesialis mata yang terdapat di Papua Barat. Meskipun demikian dr. Cliff justru mengijinkan Tzu Chi untuk mengadakan baksos. “Ini panggilan (hati) karena akses kesehatan ada dan kemampuan masyarakat kurang. Saya juga kaget tapi ternyata banyak sekali,” katanya. “Banyak sekali yang datang bahkan di pelosok-pelosok juga banyak,” tambahnya.
Dr. Cliff juga mendukung jika di Sorong juga ada berdiri kantor penghubung Tzu Chi. “Terus terang saya lebih senang kalau jalan dengan Tzu Chi,” ucapnya. Ia pun berharap setelah acara ini mereka bisa merasakan cinta kasih para tim medis dan relawan Tzu Chi. “Semoga mereka tertular dengan penyakit cinta kasih,” harap bapak dua anak ini.