Baksos ke-89: Kebahagiaan yang Tak Ternilai
Jurnalis : Apriyanto , Fotografer : Nining Tanuria (Tzu Chi Biak)
|
| ||
Selama perjalanan ia banyak bercerita tentang kota Jayapura, masyarakatnya, dan alamnya yang begitu menawan. “Di Jayapura ini banyak masyarakat tidak mampu. Untuk operasi katarak tentu sangat sulit, beruntung ada Tzu Chi yang memberikan operasi secara gratis,” kata Doni. Setelah beristirahat, siangnya Doni mengajak kami ke Rumah Sakit Bhayangkara tempat Tzu Chi mengadakan baksos di Distrik Abepura. Setibanya di sana, dr Gunawan Ingkokusumo, relawan Tzu Chi Jayapura langsung mengajak saya menuju kamar rawat inap. Menurutnya di kamar itu ada pasien anak yang menderita katarak datang dari Distrik yang jauh. Dan ini adalah gambaran ketulusan seorang ibu dalam memperjuangkan pengobatan bagi anaknya. Sesaat saya tiba di ruangan itu, saya melihat seorang ibu muda bersama anak perempuannya yang baru berusia 5 tahun. Ibu itu bernama Kostanpina dan Abina nama putrinya. Kostanpina terlihat tegang dan tak banyak bicara. Matanya yang besar dan tegas pun terlihat layu terbenam kekhawatiran. Entah apa yang dikhawatirkan saya tidak tahu. Abina sendiri nampak lemah, ia hanya duduk membisu dalam dekapan ibunya yang juga tak banyak bicara. Meski Abina sudah berumur 5 tahun, tapi saya melihat fisiknya bagai anak yang berumur 4 tahun. Tubuhnya kurus, tungkainya lemah, dan geraknya pun terlihat begitu gemulai dibarengi sorotan mata yang malu-malu. Saya terenyuh melihatnya. Semestinya anak seusia Abina sudah begitu ceria dan nakal khas anak-anak. Tapi hari itu Abina hanya berdiam dipangkuan ibunya sambil sesekali menatap kami. “Abina sakit kah, Abina takut kah,” kata dr Gunawan. “Abina tidak usah takut, Abina akan sembuh.” Abina pun mengangguk, lalu kembali menundukan wajahnya.
Keterangan :
Saat kawan saya bertanya, Kostanpina menatap kami dalam-dalam, lalu dengan suara yang pelan nyaris tak terdengar ia bercerita tentang kehidupannya. Saul Yeow, suaminya bekerja sebagai pengojek perahu di dermaga Pulau Kendate, Distrik Depapre. Sedangkan ia sendiri bekerja sebagai petani tumpang sari di sebuah lereng pegunungan di pulau itu. Seminggu tiga kali ia pergi ke pasar pelabuhan untuk menjajakan barang dagangannya yang berupa sayur dan buah-buahan. Pendapatannya pun tak banyak, hanya lima puluh ribu sampai seratus lima puluh ribu rupiah sekali berjualan. Maka untuk kebutuhan pokok semua dipikul oleh suaminya Saul Yeow. Jika masyarakat sedang menggeliat, Saul bisa mendapatkan penghasilan bersih sebesar dua ratus ribu rupiah dalam sehari. Kendati demikian budaya kekerabatan di daerahnya – hidup saling berbagi dan menyokong dengan sanak famili, membuat mereka masih tetap hidup dalam kemiskinan. “Di kampung ini, kita semua saudara, kita semua saling kenal, saling bantu,” kata Kostanpina. Menurut Kostanpina, Abina menderita katarak sejak satu tahun yang lalu. Waktu itu sepulang dari kebun di sore hari, Abina berkata kalau mata sebelah kirinya tidak bisa melihat. “Apakah benar?” tanya Kostanpina dalam hati. Tapi dari pengamatannya ia memang melihat Abina berjalan semakin lambat yang membuktikan kalau putrinya itu memiliki penglihatan yang terbatas. Setelah beberapa waktu berlalu Kostanpina menjadi yakin kalau mata sebelah kiri Abina sudah tidak bisa melihat dengan baik. Akhirnya ia membawa Abina untuk periksa dokter di puskesmas distrik Depapre yang membutuhkan waktu selama dua puluh menit mengarungi lautan dan dua puluh lima menit berkendara motor. Di puskesmas inilah Kostanpina tahu kalau putrinya menderita katarak. Namun untuk mengobatinya dibutuhkan biaya yang tak sedikit. Sampai dalam suatu waktu di suatu kesempatan seorang tenaga medis di puskesmas itu memberitahukan Kostanpina tentang informasi pengobatan katarak yang diadakan oleh Tzu Chi. Konstanpina pun langsung mendaftarkan Abina sebagai pasien baksos. Dan setelah menjalani pemeriksaan akhirnya pada Jumat 22 Maret, Abina berhasil dioperasi. Pada keesokan harinya, saat perban mata Abina dibuka dan penglihatannya diuji, Abina sudah bisa melihat benda-benda di jarak yang lebih jauh. Dan tentu saja Kostanpian terlihat begitu gembira. Dr Gunawan pun mengatakan kepada Kostanpina kalau ia yang akan mengantarnya pulang ke Pulau Kendate.
Keterangan :
Sesudah merapikan barang-barang, dr Gunawan dan beberapa relawan langsung pergi mengantar Kostanpina dan Abina. Selama dua jam perjalanan, Abina sudah mulai ceria. Ia terlihat riang melihat jalan-jalan, demikian pula dengan Kostanpina. Kostanpina juga berkata kalau suaminya sudah menunggu di pelabuhan dan para relawan bisa ikut bersama menuju rumahnya di tengah pulau. Kedatangan yang Dinanti Setelah para relawan sudah menaiki perahu, Saul segera menghidupkan mesin, lalu perlahan berlayar meninggalkan pelabuhan. Dalam terpaan angin laut yang lembut saya melihat wajah Saul yang begitu teduh namun ceria. Ia terus tersenyum tatkala saya dan relawan lain menatapnya. Selama perjalanan Saul tak banyak bicara, tapi dari raut mukanya saya tahu kalu ia begitu gembira. Dan saat perahunya melabuh di Kendate, Saul bergegas menghampiri Abina dan Kostanpian, mereka berjalan bersama, saling tersenyum, dan saling bercerita. Lalu sesampainya di pondok kayu di sebuah jalan tanjakan Kostanpina maupun Saul mempersilakkan relawan untuk masuk ke rumahnya. Rumah mereka luasnya tak lebih dari 45 meter persegi. Hanya ada satu kamar dan satu ruang tamu. Di pondok inilah mereka membangun sarang cinta dan harapan. Semua mereka jalani dengan sederhana, sesederhana kebutuhannya yang tak banyak keinginan. Maka hari itu ketika Abina sudah bisa melihat dengan baik, Kostanpina dan Saul terlihat sangat senang. “Yang paling dikawatirkan adalah anak. Sekarang anak sudah sembuh, saya sangat bahagia. Hati saya sudah tenang,” kata Konstanpina sambil tersenyum. Siang itu saya memang melihat Konstanpina yang sebenarnya. Ia sudah banyak tertawa dan berani berbicara dengan suara yang jelas. Jika empat hari yang lalu saya hampir tak mengerti apa yang diucapkan Kostanpina, karena suaranya yang terlampau pelan, kini saya telah melihat keterbukaan dari dirinya. Saya juga telah melihat sebuah makna yang sangat berarti, bahwa cinta, kasih sayang, dan welas asih telah memberikan kebahagiaan yang tak ternilai. | |||
Artikel Terkait
Meresapi Sutra Makna Tanpa Batas
08 Agustus 2018Pada Minggu, 22 Juli 2018 untuk pertama kalinya kegiatan bedah buku dilaksanakan oleh relawan Tzu Chi He Qi Utara 2 Komunitas Pluit Ai Xin di Ruang Kaligrafi, Gedung Gan En, Tzu Chi Center, PIK, Jakarta Utara.
Kisah Ahmad Husein (Bagian 1)
25 Juni 2009 Di usia yang masih belasan tahun, Subaidi telah menikah dengan Siti Rohmah yang saat itu juga masih berusia belasan tahun. Dari pernikahannya, mereka dikaruniai dua putra dan satu putri. Ahmad Husein adalah anak ketiga (bungsu). Sebelum membuka warung sate di muka Pasar Ngablak, Subaidi yang asli dari Madura ini pernah lama tinggal di Pasar Rumput, Manggarai Jakarta Selatan.Waisak 2019: Sederhana Namun Penuh Makna
14 Mei 2019Ada yang berbeda pada perayaan Tiga Hari Besar Tzu Chi yang diselenggarakan Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia pada Minggu, 12 Mei 2019. Altar Buddha yang biasanya dihias dengan menggunakan bermacam variasi bunga hidup dan berwarna, kali ini hanya dihiasi dengan satu jenis bunga dalam pot yang dibalut dengan karung goni.