Baksos ke-95: Keberanian Riski untuk Sembuh

Jurnalis : Yuliati, Fotografer : Yuliati
 
 

foto
Setelah menjalani operasi pada mata kanannya, ia ditemani salah satu dokter sebelum masuk ruang operasi untuk menjalani operasi yang kedua pada matanya sebelah kiri.

Jumat, 29 November 2013, seorang bocah berusia 10 tahun masuk ke dalam barisan antrian di ruang operasi dengan pakaian operasi biru berlogo Tzu Chi. Rasa tegang pun mulai nampak pada wajah bocah cilik ini. Ia hanya duduk diam sambil menunggu giliran operasi. Seorang relawan segera menghampirinya dan menenangkan hatinya. Saat ditanya apakah dia takut untuk operasi, dengan cepat ia menjawab “tidak” sambil menggelengkan kepala.

Ia adalah Riski Ramadani yang menunggu untuk menjalani operasi katarak pada sisi mata kanannya. Ketika gilirannya tiba untuk operasi, ia segera memasuki ruang operasi sambil dituntun relawan. Namun tidak lama berselang, Riski keluar dari ruang operasi tanpa ada jejak operasi pada matanya. Ternyata dokter menyarankan kepada Riski agar puasa terlebih dahulu untuk melakukan operasi keesokan harinya dengan bius total, karena bius yang digunakan pada baksos operasi katarak ini hanya bius lokal yang rata-rata diperuntukkan bagi pasien dewasa.

Keesokan harinya, Riski kembali ke RS. Dr. Reksodiwiryo untuk menjalani operasi. Ia juga sudah mengikuti anjuran dokter dengan berpuasa. Saat dokter bertanya apakah ia siap dioperasi? dengan tegas ia mengatakan “siap”. Melihat keberaniannya, akhirnya ia menjalani operasi hanya dengan bius lokal saja.  Riski memang memiliki tekad yang kuat untuk menjalani operasi pada baksos ini demi kesembuhan matanya. Rupanya Riski telah menderita katarak pada kedua matanya sejak ia memasuki Sekolah Dasar. Bahkan sejak diusianya yang baru 3 tahun penglihatannya sudah mulai samar. “Waktu umur tiga tahun kayaknya sudah katarak. Dia sering jatuh kalau jalan,” ucap Susi Fatmawati ibunda Riski. Tidak ada penanganan apapun saat itu.

Ketika memasuki bangku Sekolah Dasar, penglihatannya mulai tidak jelas. Ini terlihat saat belajar menulis dan membaca. Setiap menulis dan membaca, jarak mata dengan buku sangat dekat sekali, kurang dari 15 cm. Sekarang, Riski duduk di kelas 4 SD, semakin hari penglihatannya semakin kabur. Kondisi ini yang sangat mengganggu proses belajar Riski. Meskipun ia sudah ditempatkan di tempat duduk yang paling depan, namun ia tetap kesulitan untuk membaca tulisan di papan tulis kecuali dengan jarak yang sangat dekat. Kondisi inilah yang membuat gurunya sering mendikte tulisan di papan tulis kepada Riski saat mencatat.

foto  foto

Keterangan :

  • Salah satu relawan Tzu Chi menghampiri Riski saat masih mengantri menunggu giliran operasi (kiri).
  • Dokter memberikan suntikan pada matanya sebelum menjalani operasi (kanan).

Riski termasuk anak yang rajin. Ia tidak kehilangan akal untuk menjadi anak yang pintar. Anak yang menyukai pelajaran matematika ini selalu mengerjakan tugas setiap pulang sekolah. Ini dikarenakan belajar di siang hari masih ada cahaya terang, sehingga ia dapat melihat lebih baik. Dalam keterbatasannya, Riski tetap mampu meraih prestasi masuk peringkat 10 besar. Oleh karena itu, demi menggapai cita-cita di masa depan, Riski pun berharap ia bisa segera menjalani operasi agar dapat melihat dengan baik.

Orang tua Riski bukan tidak mengetahui kondisi anaknya, tapi karena keterbatasan dana yang dimiliki sehingga tak kunjung membawa Riski untuk periksa ke dokter. Orang tua Riski sempat membawa anaknya periksa di pengobatan alternatif di daerahnya. Namun, mata Riski tak kunjung sembuh. Ayah Riski, Sudarto (38) sehari-hari bekerja sebagai kuli panggul di toko-toko jika dibutuhkan. Penghasilan yang didapatkannya pun tidak tetap, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari dan biaya sekolah ketiga buah hatinya. “Saya kerja tidak tetap. Hasilnya juga pas-pasan untuk makan dan sekolah anak,” ujar Sudarto. Bahkan tempat tinggal saja, Sudarto masih tinggal bersama mertua dan keluarga kakak iparnya. Hanya berdoa yang bisa dilakukan Riski dan keluarganya.

Hingga suatu hari, orang tua Riski mendengar ada baksos pengobatan operasi mata katarak yang diadakan oleh perkumpulan PKK di daerahnya.  Namun Riski ditolak karena usianya yang masih anak-anak. Usaha Sudarto tak berhenti disini. Walaupun sempat ditolak, ia terus menyisihkan sebagian uangnya demi masa depan putra sulungnya. Namun lagi-lagi tidak terkumpul banyak. Dengan modal uang seadanya dan Jamkesnas,  Sudarto membawa Riski ke rumah sakit terdekat yang ada di daerahnya. Ketika itu, dokter menyarankan Riski harus menjalani operasi untuk mengobati mata katarak. Mendengar ini pun Sudarto hanya bisa pasrah dan berharap ada acara baksos kembali yang bisa menerima anak-anak. Namun demikian, Sudarto tidak hanya ingin menunggu saja. Ia pun terus berusaha mengumpulkan uang kelak bisa digunakan operasi anaknya.

foto  foto

Keterangan :

  • Sudarto, menggandeng anaknya sepulang dari operasi mata kanannya (kiri).
  • Tempat tinggal Riski yang berjarak lebih kurang 20 km dari rumash sakit Dr. Reksodiwiryo, Padang (kanan).

Berjodoh dengan Tzu Chi
Sembari mengumpulkan uang, di bulan November 2013, orang tua Riski mendengar ada informasi baksos pengobatan operasi mata katarak yang diadakan oleh Yayasan Buddha Tzu Chi dari Lurah di daerahnya. Ia pun tidak mau melewatkan kesempatan baik ini untuk mencoba mendaftarkan diri. Sudarto segera menggandeng Riski untuk melakukan pemeriksaan yang sudah dijadwalkan. Setelah mengikuti screening, Riski lolos dan bisa mengikuti operasi mata katarak pada tanggal 29 November 2013.

Karena rasa ingin sembuh yang sangat kuat, Riski tidak sabar untuk menjalani operasi. Setiap hari selalu menanyakan tanggal berapa kepada orang tuanya untuk menanti hari operasi baksos. Dengan hati mantap, tanggal 29 November 2013 Riski menjalani operasi, namun dokter memintanya untuk puasa terlebih dahulu dan kembali esok hari. Keesokan harinya, 30 November 2013, Riski bersama kedua orang tuanya harus menempuh perjalanan sekitar satu jam dengan sepeda motor. Jarak rumah sakit dengan tempat tinggalnya yang sekitar 20 km tidak mematahkan semangat Riski demi kesembuhan matanya. Akhirnya, Riski menjalani operasi katarak pada mata kanannya hanya dengan bius lokal. Walaupun hanya dengan bius lokal dan sempat merasa gemetar pada kakinya namun tekad kuatnya mengalahkan kondisi yang dirasakannya. Mata kanannya pun berhasil di operasi.

Keesokan harinya pada tanggal 1 Desember 2013, saat matanya diperiksa kembali oleh dokter, hasilnya bagus dan Riski pun sudah mulai bisa melihat dengan jelas. Ia yang memiliki cita-cita menjadi guru agama pun merasa bahagia setelah mulai bisa melihat dengan jelas sekelilingnya.  Setelah diperiksa mata kanannya, hari itu juga ia harus menjalani operasi matanya yang di sebelah kiri. Kali ini, Riski menjalani operasi dengan bius total. Riski memang memiliki jalinan jodoh kuat dengan Yayasan Buddha Tzu Chi. Selain itu juga karena keberanian yang dimilikinya. Hal ini terbukti dengan adanya dua kali operasi pada kedua matanya.

Sudarto dan istrinya merasa sangat bersyukur atas apa yang dialami anaknya. “Saya bersyukur dan terima kasih atas bantuan Buddha Tzu Chi dengan mengadakan baksos ini,” ungkap Ayah tiga anak ini. Karena menurutnya, ia tidak akan pernah tahu kapan mata anaknya bisa dioperasi kalau tidak ada baksos ini.

 

 
 

Artikel Terkait

Lebih Giat Belajar di Tzu Chi

Lebih Giat Belajar di Tzu Chi

29 Juni 2015 Terlihat beberapa Tzu You (calon Tzu Shao) yang tengah mengikuti kegiatan tersebut. Rupanya mereka anak-anak yang akan memasuki jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan siap untuk dilantik menjadi Tzu Shao. Sebanyak tujuh anak dilantik menjadi Tzu Shao yang disaksikan oleh 70 orang pada acara tersebut. Acara pun berjalan dengan lancar.
Internasional : Pemb. Akhir Tahun di Sri Lanka

Internasional : Pemb. Akhir Tahun di Sri Lanka

07 Februari 2011 Pemberkahan untuk pertama kalinya dilakukan di Ibukota Sri Lanka, Kolombo, dan yang kedua di Hambantota, di mana Yayasan Buddha Tzu Chi membangun Desa Cinta Kasih untuk korban Tsunami Asia Tenggara tahun 2004.
Mengobati Raga dan Batin

Mengobati Raga dan Batin

26 Januari 2010
Dalam usianya yang memasuki setengah baya, Panut terkena stroke hingga menjadi lumpuh. Sehari – hari, bapak yang tinggal di Surabaya ini memang serba kekurangan.
Beriman hendaknya disertai kebijaksanaan, jangan hanya mengikuti apa yang dilakukan orang lain hingga membutakan mata hati.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -