Baksos Kesehatan Tzu Chi ke-117: Tekad Tulus Ingin Membantu Sesama
Jurnalis : Metta Wulandari, Fotografer : Metta Wulandari
Ram Suhendra (baju dan peci hitam) mengambil dua buah celengan bambu untuk ibunya dan untuknya. Walaupun berpenghasilan pas-pasan, ia bertekad untuk bisa membantu sesama melalui celengan bambu.
Ada satu Kata Perenungan Master Cheng Yen yang berbunyi, “Berdana bukanlah hak khusus yang dimiliki orang kaya, melainkan merupakan perwujudan dari sebuah cinta kasih yang tulus”. Kata perenungan tersebut apabila dijabarkan kira-kira berarti siapa saja bisa ikut berdana, mereka yang kaya bahkan juga mereka yang tak punya. Asalkan mempunyai hati yang tulus, nominal bukanlah hal yang utama apabila dibandingkan dengan cinta kasih.
Tzu Chi yang didirikan oleh Master Cheng Yen lahir dan berkembang dari cinta kasih dan dana atau donasi dari banyak orang. Seperti yang sudah diketahui, kala awal Tzu Chi berdiri, Master dan 30 ibu rumah tangga mengumpulkan benih-benih cinta kasih melalui celengan bambu untuk membantu sesama. Semangat membantu orang lain melalui celengan tersebut hingga kini tak pernah luntur dan semakin tersebar luas. Di mana pun berada, relawan Tzu Chi terus membawa semangat berbagi melalui ‘dana kecil amal besar’.
Ram Suhendra menjadi salah satu masyarakat yang tertarik dengan ‘dana kecil amal besar’. Ia tahu Tzu Chi dari baksos katarak yang diikuti oleh ibunya di Kodim 0607 Sukabumi (24-26/3/17). Sebelumnya, istrinya, Elis Sumiyati, yang tengah mengamen terlebih dahulu melihat spanduk pengumuman baksos yang terpampang di jalan sekitaran Sukaraja, Bogor. Mereka lalu mengingat sang ibu yang sempat mengeluh sakit mata dua bulan belakangan.
Terkesan dengan Relawan Tzu Chi
Melihat kesungguhan relawan kala proses baksos berlangsung, Suhendra mengaku tidak terbiasa. “Kami diperlakukan sangat baik sama bapak dan ibu di sini. Mereka (relawan Tzu Chi) tidak hanya merawat pasiennya tapi juga memperhatikan keluarga pasien. Seperti kami kemarin disediakan makan, diingatkan juga untuk makan, semua dengan ramah,” kata sopir angkutan umum Kota Bogor ini sambil tersenyum.
Melihat kebaikan tersebut, Suhendra mengaku mempunyai keinginan untuk membalas jasa kebaikan dari relawan. Tapi apa? Ia sendiri pun tidak tahu bagaimana cara membalas kebaikan yang ia dan keluarganya terima. Suhendra merasa dirinya tidak mempunyai harta yang berharga dalam hidupnya. Ia bercerita kalau dirinya sehari-hari hanya bekerja sebagai sopir angkutan umum. Dulu ia sempat menjadi salah satu sopir di Kedutaan Arab Saudi, di Jakarta, namun terkena PHK. Ia pulang kampung dan melanjutkan hidupnya di Bogor.
Sementara Elis membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan menjadi seorang pengamen jalanan. Tak jarang ibu lima anak itu naik turun angkutan umum atau berkeliling jalanan di Kota Bogor di tengah terik matahari. Suhendra pun kerap menemani istrinya mengamen ketika angkotnya sepi. Elis juga menambah pemasukan keluarga dengan menjadi buruh cuci di lingkungan tempat tinggalnya. “Memang kami sehari-hari mah serba susah, neng. Ya semuanya disyukuri saja asal bisa hidup mah,” ucap Elis singkat.
Dari apa yang Suhendra dan Elis ceritakan, mereka merasa serba susah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Apalagi ketika Mak Mus, ibu Suhendra mengeluh sakit mata. Mereka tak berani menjanjikan sesuatu pun kepadanya. “Cuma sering-sering jenguk aja sambil ajak emak ngobrol gitu. Paling saya bilang begini ke emak, ‘ini penyakit orang tua, mak.. jadi banyak tawakal saja’,” imbuh Suhendra.
Suster Weny Yunita, anggota Tzu Chi Internasional Medical Assosiation (TIMA) Indonesia memberikan penjelasan mengenai celengan bambu di hadapan para keluarga pasien yang tengah menunggu kontrol mata sehari pascaoperasi.
Ram Suhendra (kanan) bersama Elis Sumiyati (kiri), dan Mak Mus (tengah) menanti pemeriksaan pascaoperasi.
Harta Paling Berharga
Suhendra tidak menyangka ketika istrinya membawa kabar bahagia tentang akan diadakannya baksos katarak gratis di Sukabumi, kampung ibunya. Langsung saja mereka mendaftar. Ia lebih tidak menyangka lagi bahwa perlakuan orang-orang di baksos sangat berbeda dari apa yang ia bayangkan sehingga ia berkali-kali ingin sekali membalas kebaikan semua orang yang membantunya.
Suhendra lalu mengetahui celengan bambu saat mengantarkan Mak Mus melakukan kontrol mata sehari pascaoperasi. Relawan memperkenalkan semangat celengan bambu dan menceritakan bagaimana Tzu Chi bisa berdiri, berkembang, dan membantu banyak orang. “Tzu Chi itu awalnya dari sini,” kata Joe Riady, relawan Tzu Chi sambil mengangkat celengan bambu yang dipegangnya. “Operasi katarak, beasiswa pendidikan, atau bantuan lain bisa kita laksanakan dengan gratis karena ini (celengan bambu),” imbuhnya. Suster Weny Yunita, anggota Tzu Chi Internasional Medical Assosiation (TIMA) Indonesia pun memberikan penjelasan serupa mengenai celengan bambu.
Tak lama mendengar penjelasan, Suhendra langsung menghampiri relawan untuk meminta dua buah celengan bambu. Satu untuk ibunya dan satu untuknya. “Ini cara saya membalas kebaikan bapak ibu semua. Saya sangat bersyukur karena ibu saya dioperasi tanpa biaya dan diperlakukan dengan sangat baik. Mudah-mudahan nanti (donasi) celengan ini bisa dipakai untuk bantu sesama lagi. Buat amal juga biar jadi tabungan kita semua,” sambung Hendra.
Suhendra yakin ia juga bisa membantu orang lain walaupun nominalnya tidak seberapa. Ia pun yakin bahwa rezeki pasti akan selalu datang ketika mereka bekerja dengan bersungguh-sungguh. Ia juga menekankan bahwa tidak perlu takut menyisihkan sedikit uang dari penghasilan untuk beramal.
“Karena saya akhirnya sadar kalau ternyata setiap orang punya harta yang berharga yaitu rasa syukur dan keiklasan,” tegasnya memegang erat dua buah celengan bambu bertuliskan namanya.