Baksos Kesehatan Tzu Chi Ke-98: Jalan Panjang Menuju Terang

Jurnalis : Metta Wulandari, Fotografer : Metta Wulandari


Gondo Wondi Woi, salah satu pasien katarak yang berhasil ditangani oleh Yayasan Buddha Tzu Chi pada Baksos Kesehatan Tzu Chi Ke-98 di Biak, Papua.

Sabtu pagi, sekitar jam 9 WIT, Gondo Wondi Woi datang ke RSUD Biak bersama Tina, anak mantunya yang baru saja menikah dengan anaknya. Hari itu (3 Mei 2014) Pakde, panggilan akrab Gondo, berjalan perlahan dengan dituntun sang anak mantu menuju ruang pos-op operasi Katarak. Mata sebelah kanannya masih dalam balutan perban. Sementara tangannya menggenggam tangan si anak mantu. Dengan setelan batik coklat khas Papua dan juga peci yang ia pakai di atas kepalanya, wajahnya tegang menghadap agak ke atas. Memang setelah selesai operasi, dokter memberikan pesan pada pakde untuk tidak menunduk.

Perlahan namun pasti, relawan membuka perban di mata pakde. Mengambil kapas beralkohol dan membersihkan sisa-sisa perban yang menempel di sekitar mata veteran ini. “Sudah bisa lihat pak?” tanya Zr. Suasana sambil mengibas-ngibaskan tangan di depan pakde. Senang bukan kepalang, itulah perasaan pakde hingga bukan jawaban yang ia berikan namum justru air mata yang mengalir dari matanya. “Terimakasih bu dokter…saya sudah bisa melihat. Alhamdullilah ya allah,” ucapnya memegang erat tangan Zr. Suasana.

Tangis Pakde Gondo kembali tak dapat ditahan karena melihat Tina, anak mantu yang mengantarnya. “Harapan saya untuk ikut operasi adalah saya bisa melihat bagaimana wajah anak mantu saya. Cantik kamu nak..” ujar pakde terharu.

Kenangan Indah Dikala Mata Masih Bisa Melihat
Siang itu setelah pakde pulang dari RSUD Biak, kami datang ke rumahnya. Rumah pakde terletak di wilayah Fandoi, tidak jauh dari RSUD Biak, apabila ditempuh dengan kendaraan bermotor waktu yang dibutuhkan hanya sekitar 10 menit saja. Rumah pakde tidaklah besar namun cukup untuk tempat ia dan keluarga anaknya tinggal. Rumahnya terbuat dari kayu dan beralaskan plastik, sehingga di dalam rumah udara tidak terlalu pengap walaupun panas tidak bisa dihindarkan.

Pakde Gondo bukanlah orang Papua asli, namun setelah rangkaian acara adat yang ia ikuti, ia akhirnya diakui sebagai orang Papua dengan nama famili Wondi Woi. Aslinya, pakde Gondo lahir di Madura, 72 tahun yang lalu dan sejak tahun 1964 ia ditugaskan menjaga ketahanan Indonesia di Papua. Apabila mengingat masa mudanya, tak pernah terbayang jika kini ia bisa terkena penyakit katarak di kedua matanya. “Saya ini pensiunan TNI AL,” ujarnya memulai kisah hidupnya. Sebagai anggota tentara, pakde selalu bersedia untuk ditugaskan di mana saja, termasuk wilayah Papua.


Perasaan senang yang tak terkira menghampiri Pakde Gondo saat menyadari bahwa matanya mampu melihat kembali setelah dua tahun dilanda kegelapan.


Keinginan utama yang terwujud begitu matanya bisa melihat adalah melihat Tina, anak mantunya yang baru saja menikah dengan anaknya.

Pada jaman Operasi Trikora (operasi yang digagas Soekarno, Presiden Indonesia pada saat itu, untuk menggabungkan wilayah Papua bagian barat) di tahun 60-an. Pakde Gondo juga tak absen dan ikut dalam medan perang untuk mempertahankan wilayah Papua. “Dulu itu saya pernah ikut perang sama OPM (Organisasi Papua Merdeka), pas jamannya Trikora. Malam-malam pergi ke tengah hutan untuk perang,” ungkapnya. “Saat itu saya dapat gaji 90 rupiah per bulan,” tambahnya sambil menerawang mengingat besarnya nilai 90 rupiah pada masa itu.

Selain ikut dalam berperang, ia juga mempunyai sepenggal kisah menarik berkaitan dengan perang dunia ke-II yang juga berimbas di wilayah Indonesia, khususnya wilayah Biak Numfor. Perang Dunia II terjadi pada tahun 40-an, di Biak sendiri, Tentara Sekutu melakukan serangan pada Tentara Jepang yang menduduki wilayah Biak dan bersembunyi di sebuah Goa yang sengaja mereka buat untuk perlindungan diri. Serangan yang dilakukan oleh Sekutu adalah dengan cara menghujani kawasan tersebut dengan peluru, granat, minyak dan lebih dari 850pon TNT. Para serdadu jepang otomatis terpanggang di dalamnya dan yang tersisa hanyalah tulang-belulang. Sejak saat itu, goa tersebut dikenal dengan Goa Jepang.

 “Satu kali di tahun 1967, kami para angkatan laut diminta oleh atasan untuk membersihkan sisa tulang belulang para tentara jepang di Goa Jepang. Saya waktu itu punya pemikiran jahil untuk mengambil satu tengkorak dari tentara dan membawanya pulang ke asrama. Siapa sangka ternyata pas malam harinya, dia (arwah dari tengkorak) mendatangi saya, dia minta kepalanya dikembalikan dan menyanyi di atas atap asrama. Semua teman asrama ketakutan, dan malam itu juga saya hanyutkan tengkoraknya di laut,” tuturnya disambut dengan tawa oleh para sanak keluarganya yang hadir menjenguknya.

 Lima Tahun Penuh Ketakutan
Tawa pakde dan orang di sekitarnya merupakan satu wujud rasa syukur. Syukur atas terwujudnya operasi katarak mata kanan pakde, syukur juga atas hilangnya ketakutan pada diri pakde yang telah menghantuinya lima tahun belakangan. Senyum yang terukir di bibirnya merupakan senyum yang mahal, karena baru kali itulah pakde dapat kembali tertawa lepas hingga air matanya ikut mengalir. Diantara kerasnya pengalaman hidup pakde Gondo, ternyata hatinya tetap lembut. “Bapak gampang nangis,” ucap Tina, sang anak mantu yang sehari-hari merawat pakde. “Apalagi setelah kedua matanya tidak dapat melihat, bapak jadi cengeng, mudah takut,” tambahnya.

Penyakit katarak sendiri telah menjangkiti mata sang veteran lima tahun lalu, namun baru pada dua tahun terakhir ini ia benar-benar kehilangan penglihatan. Niat keluarga untuk melakukan operasi juga sudah ada sejak lama, namun pakde seakan tidak punya keberanian untuk melakukan operasi. “Banyak yang mau bantu bapak buat operasi, tapi bapak takut,” ujar Tina. Sebelum akhirnya dioperasi pada Baksos Kesehatan Tzu Chi ke-98, 2014 ini, jalinan jodoh sebenarnya sudah terajut pada tahun 2010 (Baksos Kesehatan Tzu Chi ke-67) dan 2011 (Baksos Kesehatan Tzu Chi ke-75), namun operasi batal dilakukan karena ketakutan yang amat besar melanda dirinya. “Saya sudah dua kali mau dioperasi sama Tzu Chi, tapi saya takut. Padahal saya sudah dapat kartu merah dan kartu kuning (telah mengikuti screening),” ungkap pakde Gondo.


Senyum tulus terlukis di wajah Pakde Gondo ketika mengingat bahwa ia bisa menaklukkan rasa takutnya untuk melakukan operasi katarak.

Hal yang mendasari ketakutan pakde adalah adanya rumor bahwa pengobatan yang akan dilakukan saat operasi katarak adalah dengan cara mengeluarkan bola mata pasien, menyikatnya dengan kawat dan memasangnya kembali. Pemikiran salah ini yang selama lima tahun menghantui kepala pakde sehingga operasi kataraknya sempat tertunda selama beberapa kali. “Saya takut karena banyak teman yang bilang nanti pas operasi itu matanya dikeluarin, disikat dengan kawat,” ujar pakde. “Ternyata setelah operasi, mata saya tidak diapa-apakan. Cuma di suruh lihat ke bawah sama dokternya. Tidak sakit dan sekarang sudah bisa lihat lagi,” tambah pakde senang.

 Kebahagiaan Pasien, Kepuasan Dokter
Kini mata sebelah kanan Pakde Gondo telah mampu melihat kembali. Kebahagiaan pun telah meliputi hatinya walaupun mata sebelah kirinya masih belum bisa melihat. Berulang kali ia mengucap terimakasih dan rasa syukur karena tim dokter, perawat dan juga relawan telah membantunya sepenuh hati dan dengan lemah lembut melayani seluruh pasien. “Relawan, dokter, perawat, semuanya melayani dengan bagus, lemah lembut, ramah tamah. Kami mengucapkan terima kasih. Mereka melayani kami seperti keluarga, memberikan makanan untuk kami. Kami merasa senang telah didatangi, dibantu,” ujar pakde penuh syukur. “Berkat Tzu Chi, masyarakat yang tidak bisa melihat menjadi melihat, yang sakit bisa diobati semua. Termasuk saya mengucapkan terima kasih pada semuanya. Saya tidak bisa balas apa-apa,” tambahnya lagi.


Dokter Tri Agus (kemeja putih), dokter yang menangani operasi Pakde Gondo, merasa turut senang karena pasiennya dpat sembuh dan melihat kembali.

Kebahagiaan pakde Gondo, tentunya tak lepas dari peran dokter yang menanganinya, dr. Tri Agus, yang juga tergabung dalam barisan Tzu Chi International Medical Assosiation (TIMA) Indonesia. “Mendengar bahwa pasien sangat bahagia, tentunya saya merasa lebih bahagia,” ujar dr. Tri Agus. “Karena saat diangkat menjadi dokter, kami sudah ada sumpah. Bahwa kami akan menggunakan setinggi-tingginya ilmu kami dan menggunakan setinggi-tingginya ketrampilan kami untuk membantu orang. Di sinilah kami mewujudkan apa sumpah kami,” tambahnya.

Menangani pakde Gondo yang diliputi ketakutan dan kecemasan saat operasi agak membuat dr. Tri sedikit kesulitan. “Pak gondo sudah lama dengar Tzu Chi, tapi baru berani dan berjodoh untuk saya operasi. Waktu operasi dia juga sangat cemas. Saya mencoba menenangkan dia. Alhamdulilah setelah kita kasih pengertian, dia bisa tenang. Dan kini sudah bisa melihat. Ikut baksos ya itu.., capeknya terbayarkan dengan kebahagiaan pasien. Intinya kebahagian pasien adalah kepuasan dokter,” ungkap dr. Tri diiringi tawa.

Seperti apa yang dikatakan Master Cheng Yen, “Kembangkanlah cinta kasih yang suci tanpa noda. Jangan berhitung untung rugi dalam berbagi kasih sayang. Jika tidak mengharapkan imbalan, kerisauan tidak akan muncul.” Begitu pula diri kita. Apabila membantu orang lain dengan tulus ikhlas tanpa mengharapkan imbalan, maka tiada kerugian yang akan kita dapat. Melainkan cinta kasih yang lebih besar akan hadir untuk kita.

Artikel Terkait

Keindahan sifat manusia terletak pada ketulusan hatinya; kemuliaan sifat manusia terletak pada kejujurannya.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -