Baksos NTT: Beras untuk Natal

Jurnalis : Hadi Pranoto, Fotografer : Anand Yahya
 
 

fotoRabu, 21 Desember 2011 sebanyak 105 keluarga yang mengalami rawan pangan di Desa Laimeta (2 jam perjalanan dari Kota Waingapu) menerima bantuan beras cinta kasih dari Tzu Chi.

Langit cerah ketika rombongan relawan Tzu Chi (dua mobil dan 1 truk) menyusuri jalan-jalan menanjak, menurun dan berliku menuju Desa Laimeta. Desa ini berada di atas Desa Laindeha. Dari Waigapu ke Laindeha membutuhkan waktu sekitar 45 menit, sedangkan dari Laindeha ke Desa Laimeta butuh waktu 1 jam perjalanan. Jalan yang menanjak dan berliku membuat laju mobil tak bisa melaju kencang. Kecekatan dan keahlian supir sangat penting mengingat di kanan-kiri jalan membentang padang rumput berbukit terjal yang curam.

 

Beberapa kali saya harus menahan napas (khawatir) tatkala mobil kami harus mundur saat berpapasan dengan angkutan umum – truk yang diberi tempat duduk dan terpal.Di sepanjang jalan hanya terbentang savanna (padang rumput) yang berbukit-bukit. Langit yang biru dan gumpalan awan seakan membentuk sebuah obyek tertentu, sebuah pemandangan yang langka bagi warga kota Jakarta.

Di sebuah batas desa terakhir kami pun berhenti sejenak. Sambil meluruskan kaki dan makan siang. Dari batas desa terakhir masih berjarak 7 km perjalanan yang medannya lebih parah – belum diaspal. Lima belas menit kemudian perjalanan pun dilanjutkan. Memasuki gerbang desa, sebuah pagar kayu melintang menghalangi perjalanan kami. Pagar ini dibuat selain untuk keamanan desa juga agar hewan ternak tidak keluar jauh dari desa. Setelah melewati tebing-tebing berbatu sampailah kami di batas desa Laimeta. Beberapa hewan ternak— kuda dan kambing – tampak terlihat tengah memakan rumput-rumput muda yang baru tumbuh.

foto  foto

Keterangan :

  • Ketua Tim Tanggap Darurat Tzu Chi Joe Riadi (tengah) turut mengangkut beras dari truk untuk dibawa ke Balai Desa Laimeta (kiri).
  • Petrus Hambakamuri (19) mengangkut beras yang diterimanya dari Tzu Chi dengan menunggangi kuda. Jarak rumah mereka memang cukup jauh dari balai desa. Petrus tinggal di Dusun Maho, berjarak sekitar 10 km dari Desa Laimeta (kanan).

Rawan Pangan
Meski dataran tinggi ini tampak hijau, namun sejatinya para penduduknya tengah mengalami masalah kekurangan pangan. Sudah 2 tahun ini hasil panen penduduk selalu mengalami gangguan. Jika bukan karena kekeringan, gangguan hama tikus dan angin putting beliung sering merontokkan tanaman jagung yang baru tumbuh. “Kalau tidak ada makanan terpaksa kita makan iwi (ubi hutan),” kata Kambaru Hambujawa (54). Bersama putranya Petrus Hambakamuri (19), Kambaru mengangkut beras yang diterimanya dari Tzu Chi dengan menunggangi kuda. Jarak rumah mereka memang cukup jauh dari balai desa. Kambaru tinggal di Dusun Maho, berjarak sekitar 10 km dari Desa Laimeta. “Kalau jalan kaki bisa 3 jam,” ujarnya sembari tersenyum. Medan jalan yang sulit memang membuat laju perjalanan tidak bisa cepat seperti di wilayah yang jalannya mendatar.

Kesulitan yang sama juga dihadapi oleh Lai Adat. Wanita berumur 27 tahun ini harus bersabar menghadapi musim kemarau yang menerpa. Baru pada bulan November sajalah curah hujan mulai turun di desa ini. Suaminya Dominggus Ngabindemo (32) baru saja menanam tanaman-tanaman jagung untuk menghidupi istri dan keempat anak mereka. Tidak jarang pula Lai Adat turun membantu suami berladang, menanam jagung maupun kemiri. Jika tanaman bisa panen dengan sempurna, keluarga ini dan mayoritas warga desa tentunya tak mengalami masalah kekurangan pangan. Ia hanya berharap pada bulan Februari nanti tanaman jagungnya bisa tumbuh dan berbuah dengan sempurna. Sambil menampakkan kekecewaannya, Lai Adat menceritakan kegagalan panen yang dialaminya setahun lalu. Tak heran jika singkong, keladi, dan bahkan ubi hutan (iwi) menjadi makanan alternatif keluarga ini dan mayoritas warga lainnya.

foto  foto

Keterangan :

  • Meski dataran tinggi ini tampak hijau, namun sejatinya para penduduknya tengah mengalami masalah kekurangan pangan. Sudah 2 tahun ini hasil panen penduduk selalu mengalami gangguan (kiri).
  • Meski dilakukan di atas gunung, pembagian beras tetap dilakukan dengan tata cara Tzu Chi, pembagian kupon dan juga beras serta menerapkan budaya humanis Tzu Chi (kanan).

Menurut Kepala Desa Laimeta Ayub Hapu Amah, jumlah penduduk desanya ada sebanyak 649 jiwa, dan yang tergolong kategori sangat tidak mampu ada 105 orang. Menurut Ayub ada 3 kendala yang dihadapi warganya saat musim tanam, yaitu: curah hujan yang minim, seragan hama tikus, dan juga angin putting beliung. Luas wilayah Desa Laimeta sendiri sekitar 99 km2 atau 990 hektar, yang mayoritas adalah bukit-bukit kapur berbatu. Hanya pada daerah yang agak subur masyarakat bisa bercocok tanam, selebihnya adalah padang rumput.

“Masyarakat di sini makan tidak menentu, sehari bisa 3 kali, 2 kali, ataupun sekali saja,” ungkapnya. Meskipun jagung menjadi makanan pokok warga, namun banyak warga yang terpaksa harus mencari ubu hutan (iwy) di hutan-hutan yang berjarak 20 km dari desa. “Kalau musim kering, iwi bisa tumbuh. Kalau musim hujan begini, tidak ada iwi,” ujarnya. Karena itulah Ayub sangat bersyukur dan mengungkapkan rasa terima kasihnya atas bantuan beras cinta kasih dari Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. Sebanyak 105 keluarga kurang mampu menerima bantuan beras seberat 20 kg. “Kami sangat berterima kasih atas adanya bantuan ini,” katanya. Kebahagiaan yang sama juga diungkapkan oleh Kambaru dan Lai Adat. Terlebih dalam beberapa hari lagi mereka akan merayakan Natal. “Beras ini bisa kita gunakan untuk merayakan Natal,” ujar Kambaru sembari tersenyum. “Kalau menjelang Natal kita warga desa saling menyumbang (patungan) makanan (jagung) dan ternak (ayam) agar bisa merayakan Natal bersama,” tandas Lai Adat.

 

 

  
 

Artikel Terkait

Belajar Melenyapkan Kesombongan

Belajar Melenyapkan Kesombongan

24 April 2012
Setiap hari Rabu, komunitas relawan Tzu Chi wilayah He Qi Barat mengadakan kegiatan bedah buku untuk menyelami ajaran Master Cheng Yen. Kegiatan ini dianggap pelu karena menjadi sebuah  pedoman ketika melakukan aksi sosial di lapangan.
Pemberkahan Akhir Tahun: Sebuah Acara Lintas Agama

Pemberkahan Akhir Tahun: Sebuah Acara Lintas Agama

13 Januari 2014 Dalam sharing itu para warga mengungkapkan bahwa mereka tak sekadar menerima bantuan, tapi lebih dari itu mereka juga diajarkan tentang kasih sayang lintas batas, berbuat untuk sesama, dan budaya humanis.
Anugerah yang Tak Ternilai

Anugerah yang Tak Ternilai

18 Oktober 2024

Minggu 13 Oktober 2024, 22 relawan komunitas Xie Li Cipinang mengunjungi 38 Oma di Panti Sasana Tresna Werdha Mulia 3 Centex, Ciracas, Jakarta Timur. Kegiatan selain memberikan bingkisan cinta kasih juga diisi dengan ramah tamah, memotong rambut dan kuku para oma.

Keteguhan hati dan keuletan bagaikan tetesan air yang menembus batu karang. Kesulitan dan rintangan sebesar apapun bisa ditembus.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -