Baksos NTT: Cinta kasih yang tak pernah habis

Jurnalis : Hadi Pranoto, Fotografer : Anand Yahya

fotoPembagian beras di desa Leindeha. Pembagian beras ditujukan untuk 95 keluarga yang kurang mampu di Sumba Timur.

Pembagian beras cinta kasih di Pulau Sumba Timur Provinsi Nusa Tenggara Timur kembali dilanjutkan, setelah pada hari Minggu (18/12/2011) pembagian beras ditunda mengingat mayoritas warga di kota ini adalah penganut agama Katolik dan Kristen, maka gereja-geraja di Waingapu dan sekitarnya dipenuhi oleh warga yang ingin beribadah. Sebagai bentuk wujud toleransi beragama, relawan Tzu Chi pun tidak melakukan pembagian beras pada hari itu.

 

Kegiatan pembagian beras mulai dilanjutkan pada hari Senin, 19 Desember 2011 dengan sasaran 7 kelurahan di Kecamatan Waingapu, yakni: Kelurahan Wanga (338 KK), Prailiu (309 KK), Malumbi (232 KK), Kambaniru (623 KK), Mauhai 228 KK), Mauliru (540 KK), dan Desa Laindeha (95 KK). Total beras yang dibagikan pada hari sebanyak 47.300 Kg yang dibagikan kepada 2.365 keluarga kurang mampu.

Desa Rawan Pangan
Desa Leindeha merupakan desa yang cukup jauh dari Kota Waingapu (sekitar 45 menit dengan menggunakan mobil). Sepanjang perjalanan memasuki desa ini, kita akan disuguhi pemandangan alam yang memukau. Puluhan ekor ternak – sapi dan kuda sandelwod (kuda Sumba) – tampak bergerombol menikmati rumput-rumput yang baru bertunas. Kami cukup beruntung bisa datang ke daerah ini di saat musim penghujan tiba, sehingga kami dapat melihat hamparan padang rumput hijau yang luas di sepanjang perjalanan. Tidak semua tanah ditumbuhi rumput, mengingat jenis tanah di Sumba Timur ini yang bisa disebut ‘karang bertanah” sehingga rumput yang tumbuh pun harus berjuang keras di antara sela-sela tanah yang tidak berbatu. Satu dua buah pohon besar bisa tumbuh, namun hanya jenis pohon yang tidak disukai hewan saja yang bisa tumbuh besar.

foto    foto

Keterangan :

  • Sebelum pembagian beras di Desa Laindeha, relawan Tzu Chi menjelaskan kepada warga visi dan Misi Tzu Chi serta tujuan dari pembagian beras ini (kiri).
  • Sebanyak 95 keluarga kurang mampu di Desa Laindeha menerima bantuan beras dari Tzu Chi (kanan).

Memasuki wilayah Desa Leindeha, tanaman jagung yang baru tumbuh menjadi pemandangan yang sering terlihat di kebun-kebun warga. Sama seperti padang rumput, kebun-kebun warga pun tak bebas dari karang berbatu, sehingga tanaman jagung yang bisa tumbuh adalah tanaman yang memang benar-benar ‘kuat” dan ditanam di tanah yang memiliki lapisan tanah cukup tebal. Melihat pemandangan ini, siapa yang menyangka jika di desa di sini sebenarnya tengah menghadapi masalah kekurangan pangan. Menurut Kepala Desa Laindeha, Joni Marambatama, akibat kekeringan yang terjadi sepanjang tahun ini – hujan baru mulai turun di bulan November – membuat warga mengalami gagal panen. “warga banyak yang makan ubi kayu maupun ubi hutan,” kata Joni. Dari sebanyak 544 warga desa, sebanyak 95 keluarga mengalami rawan pangan. Jumlah ini tentunya lebih banyak lagi mengingat data dari Badan Pusat Statistik Nasional itu dirilis pada tahun 2008.

Perhatian Insan Tzu Chi
Di halaman kantor desa yang sederhana, sebanyak 95 keluarga menerima bantuan beras cinta kasih dari Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. Sebelum pembagian beras dilakukan, Ketua Tim Tanggap Darurat (TTD) Tzu Chi, Joe Riadi menyampaikan kepada warga bahwa bantuan ini merupakan sebuah perhatian Tzu Chi terhadap warga di sini. “Dalam memberikan bantuan, Tzu Chi berprinsip atas cinta kasih universal, tanpa memandang suku, agama, maupun ras,” kata Joe Riadi. Dalam kesempatan itu Joe Riadi juga menyampaikan rasa terima kasih karena warga di Desa Laindeha ini dengan penuh sukacita menerima uluran tangan dari relawan Tzu Chi.

foto  foto

Keterangan :

  • Rawa Kalawai (51) tengah membersihkan ladang jagungnya dari rumput dan tanaman liar. Tanah yang berbatu karang dan curah hujan yang minim membuat warga di sini sering mengalami gagal panen(kiri).
  • Rasa bahagia ditunjukkan Rawa Kawalai beserta istri dan anak bungsunya dengan menunjukkan isyarat "gan en" (terima kasih) ala Tzu Chi(kanan).

Salah seorang warga yang menerima bantuan beras ini adalah Rawa Kalawai (51). Bapak 4 orang anak ini mengandalkan berkebun jagung untuk menghidupi kebutuhan hidup keluarganya. Rumah yang ditempati Rawa Kalawai, istri dan anak-anaknya ini sendiri terbilang sangat sederhana. Rumah panggung yang beratapkan seng itu belum tertutup secara sempurna. Hanya bagian kamar tidur saja yang terpasang lembaran tripleks yang dipasang sekadarnya.

Bagi keluarga ini, memakan ubi kayu dan ubi hutan bukanlah hal yang ‘aneh’ bagi mereka. Jika musim kemarau tiba, ubi kayu (singkong) menjadi panganan sehari-hari Rawa, Magdalena (istri), dan anak-anaknya. Jika tak ada ubi kayu, maka ubi hutan menjadi pilihan terakhir. Mengonsumsi ubi hutan sendiri bukan tak beresiko. Jika salah dalam pengolahannya, orang yang memakannya bisa pusing, mual, dan bahkan meninggal dunia. “Ubi (hutan) harus dijemur dulu sampai kering benar, 3-4 hari, setelah itu direndam air sehari semalam, setelah itu barulah bisa dikonsumsi,” terang Rawa Kawalai. Menurut Kepala Desa Laindeha Joni Marambatama, beberapa warganya banyak yang keracunan ubi hutan, dan beberapa diantaranya bahkan meninggal dunia. Jika musim penghujan tiba barulah warga di desa ini bisa memakan jagung ataupun beras (ditukar beras). Jangan tanya lauk pauk yang dikonsumsi warga di sini, nasi jagung dengan bersanding sayur bayam pun sudah menjadi hal yang cukup baik bagi mereka. “Kalau nggak ada ya nasi sama garam saja,” ujar Magdalena.

Tak heran jika bantuan beras seberat 20 kg ini sangat disyukuri oleh Rawa Kawalai dan 94 warga lainnya. “Senang, beras ini bisa untuk 2 minggu,” tandasnya. Apalagi saat ini jagung yang tumbuh di kebunnya baru setinggi pinggang orang dewasa, dan tidak ada jaminan jika tanaman pangan utama mereka ini bisa tumbuh dan berbuah dengan sempurna. “Kita berdoa saja hujan bisa terus turun sehingga jagung-jagung ini bisa tumbuh,” ungkapnya. Selain tantangan alam, hambatan utama yang dialami warga dalam bercocok tanam adalah masalah hama: tikus, babi hutan, dan juga sapi milik warga yang dilepas bebas di padang rumput. “Kalau malam sapi-sapi ini sering merusak (memakan-red) tanaman yang baru kami tanam,” keluh pria yang hanya sempat mengenyam pendidikan di kelas 3 sekolah dasar. Meski sudah memasangi pagar di sekeliling kebunnya, terkadang hewan-hewan itu bisa menerobos masuk pada malam hari dan hanya menyisakan batang-batang jagung yang telah rusak. Tak heran jika Rawa Kawalai memelihara 3 ekor anjing untuk membantunya menjaga kebun jagungnya. “Sekarang kondisinya lebih sulit, sudah hujan semakin tidak menentu, kemarau panjang, hewan-hewan pun menjadi masalah bagi kami,” ujar Rawa Kawalai. Di tengah kemarau panjang, setetes air menjadi begitu sangat bernilai. Begitu pula dengan apa yang dilakukan insan Tzu Chi di Pulau Sumba Timur ini, memberi sejumput harapan kepada warga bahwa masih banyak orang yang peduli dan perhatian kepada kesulitan hidup mereka. Seperti yang dikatakan Master Cheng Yen, pendiri Tzu Chi, “Bantuan beras ini akan habis dalam waktunya, namun cinta kasih yang terkandung di dalamnya takkan pernah habis.”


Artikel Terkait

Bantuan 1.520 Paket Beras dan Masker di Kamal Muara

Bantuan 1.520 Paket Beras dan Masker di Kamal Muara

08 Maret 2022

Dalam rangka Bakti Sosial Imlek Nasional 2022, Tzu Chi Membagikan 1.520 paket beras dan masker untuk warga RW 01 dan RW 04, Kelurahan Kamal Muara, Penjaringan, Jakarta Utara.

Mengubah Duka Menjadi Suka

Mengubah Duka Menjadi Suka

15 Desember 2012 Dalam ceramahnya Master Cheng Yen selalu mengimbau kepada para insan Tzu Chi agar harus lebih banyak menjalin jodoh baik serta bersumbangsih bagi orang lain.
Suara Kasih: Membentangkan Jalan

Suara Kasih: Membentangkan Jalan

19 Juli 2011
Saya sungguh berterima kasih kepada semua staf rumah sakit termasuk para dokter, perawat, dan rekan-rekan di berbagai bagian.Setiap orang tergabung dalam satu tim dan itu sungguh luar biasa.
Luangkan sedikit ruang bagi diri sendiri dan orang lain, jangan selalu bersikukuh pada pendapat diri sendiri.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -