Baksos NTT: Cinta kasih yang tak pernah habis
Jurnalis : Hadi Pranoto, Fotografer : Anand YahyaPembagian beras di desa Leindeha. Pembagian beras ditujukan untuk 95 keluarga yang kurang mampu di Sumba Timur. |
| |
Kegiatan pembagian beras mulai dilanjutkan pada hari Senin, 19 Desember 2011 dengan sasaran 7 kelurahan di Kecamatan Waingapu, yakni: Kelurahan Wanga (338 KK), Prailiu (309 KK), Malumbi (232 KK), Kambaniru (623 KK), Mauhai 228 KK), Mauliru (540 KK), dan Desa Laindeha (95 KK). Total beras yang dibagikan pada hari sebanyak 47.300 Kg yang dibagikan kepada 2.365 keluarga kurang mampu. Desa Rawan Pangan
Keterangan :
Memasuki wilayah Desa Leindeha, tanaman jagung yang baru tumbuh menjadi pemandangan yang sering terlihat di kebun-kebun warga. Sama seperti padang rumput, kebun-kebun warga pun tak bebas dari karang berbatu, sehingga tanaman jagung yang bisa tumbuh adalah tanaman yang memang benar-benar ‘kuat” dan ditanam di tanah yang memiliki lapisan tanah cukup tebal. Melihat pemandangan ini, siapa yang menyangka jika di desa di sini sebenarnya tengah menghadapi masalah kekurangan pangan. Menurut Kepala Desa Laindeha, Joni Marambatama, akibat kekeringan yang terjadi sepanjang tahun ini – hujan baru mulai turun di bulan November – membuat warga mengalami gagal panen. “warga banyak yang makan ubi kayu maupun ubi hutan,” kata Joni. Dari sebanyak 544 warga desa, sebanyak 95 keluarga mengalami rawan pangan. Jumlah ini tentunya lebih banyak lagi mengingat data dari Badan Pusat Statistik Nasional itu dirilis pada tahun 2008. Perhatian Insan Tzu Chi
Keterangan :
Salah seorang warga yang menerima bantuan beras ini adalah Rawa Kalawai (51). Bapak 4 orang anak ini mengandalkan berkebun jagung untuk menghidupi kebutuhan hidup keluarganya. Rumah yang ditempati Rawa Kalawai, istri dan anak-anaknya ini sendiri terbilang sangat sederhana. Rumah panggung yang beratapkan seng itu belum tertutup secara sempurna. Hanya bagian kamar tidur saja yang terpasang lembaran tripleks yang dipasang sekadarnya. Bagi keluarga ini, memakan ubi kayu dan ubi hutan bukanlah hal yang ‘aneh’ bagi mereka. Jika musim kemarau tiba, ubi kayu (singkong) menjadi panganan sehari-hari Rawa, Magdalena (istri), dan anak-anaknya. Jika tak ada ubi kayu, maka ubi hutan menjadi pilihan terakhir. Mengonsumsi ubi hutan sendiri bukan tak beresiko. Jika salah dalam pengolahannya, orang yang memakannya bisa pusing, mual, dan bahkan meninggal dunia. “Ubi (hutan) harus dijemur dulu sampai kering benar, 3-4 hari, setelah itu direndam air sehari semalam, setelah itu barulah bisa dikonsumsi,” terang Rawa Kawalai. Menurut Kepala Desa Laindeha Joni Marambatama, beberapa warganya banyak yang keracunan ubi hutan, dan beberapa diantaranya bahkan meninggal dunia. Jika musim penghujan tiba barulah warga di desa ini bisa memakan jagung ataupun beras (ditukar beras). Jangan tanya lauk pauk yang dikonsumsi warga di sini, nasi jagung dengan bersanding sayur bayam pun sudah menjadi hal yang cukup baik bagi mereka. “Kalau nggak ada ya nasi sama garam saja,” ujar Magdalena. Tak heran jika bantuan beras seberat 20 kg ini sangat disyukuri oleh Rawa Kawalai dan 94 warga lainnya. “Senang, beras ini bisa untuk 2 minggu,” tandasnya. Apalagi saat ini jagung yang tumbuh di kebunnya baru setinggi pinggang orang dewasa, dan tidak ada jaminan jika tanaman pangan utama mereka ini bisa tumbuh dan berbuah dengan sempurna. “Kita berdoa saja hujan bisa terus turun sehingga jagung-jagung ini bisa tumbuh,” ungkapnya. Selain tantangan alam, hambatan utama yang dialami warga dalam bercocok tanam adalah masalah hama: tikus, babi hutan, dan juga sapi milik warga yang dilepas bebas di padang rumput. “Kalau malam sapi-sapi ini sering merusak (memakan-red) tanaman yang baru kami tanam,” keluh pria yang hanya sempat mengenyam pendidikan di kelas 3 sekolah dasar. Meski sudah memasangi pagar di sekeliling kebunnya, terkadang hewan-hewan itu bisa menerobos masuk pada malam hari dan hanya menyisakan batang-batang jagung yang telah rusak. Tak heran jika Rawa Kawalai memelihara 3 ekor anjing untuk membantunya menjaga kebun jagungnya. “Sekarang kondisinya lebih sulit, sudah hujan semakin tidak menentu, kemarau panjang, hewan-hewan pun menjadi masalah bagi kami,” ujar Rawa Kawalai. Di tengah kemarau panjang, setetes air menjadi begitu sangat bernilai. Begitu pula dengan apa yang dilakukan insan Tzu Chi di Pulau Sumba Timur ini, memberi sejumput harapan kepada warga bahwa masih banyak orang yang peduli dan perhatian kepada kesulitan hidup mereka. Seperti yang dikatakan Master Cheng Yen, pendiri Tzu Chi, “Bantuan beras ini akan habis dalam waktunya, namun cinta kasih yang terkandung di dalamnya takkan pernah habis.” |
Artikel Terkait
Pemberkahan Awal Tahun 2023 Bersama Penerima Bantuan Khusus Tzu Chi
30 Januari 2023Relawan Tzu Chi Medan Komunitas Hu Ai Perintis mengadakan Pemberkahan Awal Tahun 2023 menjelang imlek bersama penerima bantuan Tzu Chi.
Antusias Warga Palu, Itu Yang Menjadi Bahan Bakar Kami
18 Maret 2020Waktu baru menunjukkan pukul 9 pagi di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Namun teriknya, seolah matahari telah berada tepat di atas kepala. Pagi itu relawan Tzu Chi punya tugas berat, berat dalam artian sesungguhnya, mengangkat perabot atau barang-barang perlengkapan rumah tangga untuk dimasukkan ke tiap rumah di Perumahan Cinta Kasih Tadulako.