Baksos NTT: Kehidupan Boleh Keras, Hati Tetap Lembut (Bag. 1)
Jurnalis : Hadi Pranoto, Fotografer : Anand YahyaSabtu, 17 Desember 2011, relawan Tzu Chi memberikan bantuan beras kepada 562 keluarga warga Kelurahan Kamalaputi, Kec. Waingapu, Sumba Timur, NTT. |
| ||
Pembagian beras ini merupakan kerja sama dari Yayasan Buddha Tzu Chi, Kementrian Sosial, Polri, dan TNI (Kodam Udayana). Kegiatan pembagian beras ini ditandai dengan penyerahan beras secara simbolis kepada 12 perwakilan warga yang dilakukan oleh Bupati Sumba Timur, unsur Muspida (Polri dan TNI), dan pejabat di lingkungan Pemda Sumba Timur serta relawan Tzu Chi. Dalam sambutannya, Bupati Sumba Timur Drs. Gidion Mbilijora, M.Si mengatakan, “Terima kasih kepada Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia yang telah menyalurkan cinta kasihnya tanpa membedakan suku, agama, ras, dan golongan kepada masyarakat di wilayah Sumba Timur. Respon dari pihak yayasan (Tzu Chi) cukup cepat, begitu mengetahui wilayah Sumba Timur mengalami masalah rawan pangan, mereka segera memberikan bantuan ke tempat kita.” Karena itulah bupati berpesan agar bantuan beras dari Tzu Chi ini dapat dimanfaatkan sebaik mungkin oleh masyarakat yang menerimanya. “Tidak boleh ada yang dijual,” tegasnya. Dalam kesempatan itu bupati juga mengimbau kepada masyarakatnya yang tergolong kategori mampu untuk tergerak membantu sesama yang membutuhkan. Salah seorang warga penerima bantuan, yakni Sartje Tolo (70) tak dapat menahan air matanya tatkala menerima beras di tangannya. Dengan sigap relawan Tzu Chi membantu membawakannya hingga ke depan kantor kelurahan. Wanita yang tidak menikah dan hidup seorang diri ini merasa terharu karena menerima bantuan yang tak disangka-sangka. “Saya terharu, meski berbeda agama, tetapi mau membantu kami di sini,” ungkapnya seraya mengusap kelopak matanya yang basah.
Keterangan :
Wanita Berhati Baja Sekitar 10 menit kemudian, sampailah kami di sebuah tanah pekuburan. Dengan santai wanita asal Sabu – 10 jam perjalanan dari Waingapu— ini melewati makam-makam besar di depannya. Setelah sedikit mendaki, sampailah kami di sebuah gubuk yang sangat sederhana. Bukan kondisi rumah dan kesederhanaan hidup yang membuat kami bersimpati, tetapi di sebuah balai kayu terlihat sesosok tubuh anak muda yang tergolek tak berdaya. Di sekeliling ranjang kayu itu terpasang kelambu putih yang sudah tak lagi bersih warnanya. Sang pemuda itu bersikeras untuk terus menutupi kepala, wajah, dan tubuhnya dengan kain, bahkan meski sang ibu memintanya untuk mau membuka kain tersebut. “Saya malu,” ujarnya dengan logat masyarakat indonesia timur yang khas.
Keterangan :
Kami pun mencoba membuka “kebekuan” ini dengan menyapa dan mengajaknya berbincang-bincang, meski awalnya cukup sulit. Kami pun menyiasatinya dengan mencoba mengajak berbicara sang bunda, baru kemudian ke Markus Yohanes (18), nama pemuda tersebut. Ternyata ada sebab yang membuat Markus menutup diri. Di kepalanya terbalur ramu-ramuan tradisional berwarna hijau yang dilapisi kain kassa. Ramuan itu menurut Joblina cukup ampuh untuk meredam bau yang menyengat dari luka di kepala putra bungsunya ini.
Bersambung ke Bagian 2. | |||