Baksos NTT: Secercah Cahaya (Bag. 1)
Jurnalis : Metta Wulandari, Teddy Lianto, Fotografer : Metta Wulandari, Teddy Lianto Rabu, 11 April 2012, relawan Tzu Chi membagikan beras cinta kasih di Desa Patawang, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). |
| ||
Tetapi sepanjang perjalanan menuju Desa Patawang, kami merasa seolah berada di padang sabana yang indah. Suara desiran angin yang sejuk, matahari yang bersinar dengan hangatnya dan pemandangan warga yang sedang menanam padi menjadi keindahan tersendiri bagi kami. Desa Patawang adalah pedesaan yang letaknya tidak jauh dari perkotaan, jumlah penduduk yang tinggal sebanyak 1.891 orang dengan jumlah keluarga sebanyak 489 orang. Mata pencaharian penduduk kebanyakan adalah sebagai peternak dan sisanya adalah petani yang menggarap lahannya sendiri. Rata-rata penduduk desa tidak mengenyam pendidikan yang tinggi. Dari data kepala desa tercatat sebanyak 948 orang tidak lulus sekolah dasar, 180 orang buta huruf, dan 107 orang yang lulus SMU. Sembilan puluh menit kemudian, kami tiba di sebuah bangunan kantor kelurahan yang ternyata adalah Kantor Desa Patawang, Kecamatan Umalulu. Tampak di depan kantor desa, beberapa warga telah datang menunggu. Para relawan Tzu Chi dan Tim Tagana (Tanggap Bencana) saling bahu-membahu, mempersiapkan peralatan dan kupon untuk dibagikan kepada warga. Sebanyak 277 karung beras 20 kg dibagikan. Tidak Boleh Patah Arang
Keterangan :
Sesampainya kami di rumah Ndada, terlihat bangunan rumah yang berbahan dari kayu dengan bilik papan dan beratapkan jerami. Bangunan dengan luas sekitar 3 x 3 meter ini, dihuni oleh 6 orang ( Rangi, Ndada, dan keempat anaknya). Di depan rumah terlihat beberapa daun lontar yang sedang dijemur, jagung yang telah di panen berada di lumbung dan siap untuk dipipil, serta anyaman buala (semacam kotak untuk menaruh beras atau jagung). Untuk memasak nasi, Ndada harus menimba air dari sumur yang terletak 5 meter dari belakang rumahnya dan menggunakan kayu bakar dan kulit jagung sebagai sumbunya. Sedangkan untuk minum Ndada menggunakan air leding (sebutan air ledeng bagi masyarakat sekitar) yang berada di seberang rumahnya. Selain bertani di sawah milik pribadinya, dia juga mengais rupiah melalui keahlian menenun yang dimilikinya. Tenun biasa dibuat saat ada pesanan. Tidak banyak rupiah yang dapat dia hasilkan, namun penghasilannya itu cukup untuk menghidupi anak-anaknya. Kain tenun yang dia buat mempunyai harga yang terbilang tidak mahal, satu hingga dua lembar kain hanya dihargai dengan Rp 50.000 saja. Namun menenun bukanlah pekerjaan yang mudah, perlu ketelitian, ketepatan, kesabaran dan kejelian hingga satu lembar kain tidak cukup hanya dikerjakan dalam waktu satu atau dua hari. Membutuhkan proses yang lama. Suami Ndada, Rangi Hukapati (47) tidak hanya berpangku tangan, namun dia juga turut mencari nafkah untuk keluarganya. Dengan pekerjaan yang tidak pasti, suaminya tetap mengemban tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Hal tersebut terbukti dengan keseharian suami yang dijalani sebagai nelayan dan juga merangkap sebagai petani. Tidak jarang juga Rangi menaiki pucuk pohon lontar yang begitu tinggi untuk mengambil daunnya yang nantinya akan dijual seharga Rp.3000/pucuk. Pekerjaan yang mempertaruhkan nyawa ini justru menjadi pekerjaan pokok dimana paling banyak memberikan pendapatan bagi keluarga Ndada dan Rangi. Pucuk lontar yang diambil harus daun yang muda yang kemudian dikeringkan hingga benar-benar kering sekitar dua atau tiga hari dengan kondisi matahari yang terik (tidak mendung). Daun lontar dapat ditemukan di bawah bukit, jauh dari kediaman Ndada. Setiap paginya Rangi harus bangun pagi untuk mencari pucuk lontar dan pulang berbarengan dengan senja. Bersambung ke Bagian 2. | |||