Baksos Papua: Jalinan Jodoh yang Baik
Jurnalis : Veronika Usha , Fotografer : Veronika UshaHari pertama baksos kesehatan ke-67 yang diadakan pada tanggal 20 Mei 2010, berhasil menangani 22 pasien minor dan 33 pasien katarak. |
| ||
Penderitaan Karena Sakit Sekitar 3 tahun lalu, Dominggus baru menyadari ada benjolan pada punggungnya. Itu pun diketahui secara tidak sengaja. “Waktu itu saya membuka baju karena panas, dan pergi ke warung. Saat itulah, adik saya yang melihat ada benjolan di punggung sebelah kanan,” tutur Dominggus. Benjolan yang tadinya hanya sebesar telur tersebut, lama-kelamaan semakin membesar dan menimbulkan nyeri yang sangat luar biasa. Apalagi kalau Dominggus mulai bekerja berat, “Saya jadi serba salah. Saya kan kerja kuli panggul barang di Supiori, tapi kalau sudah angkat yang berat-berat, punggung saya rasanya sakit dan nyeri sekali,” ucapnya. Oleh karena itu, ia pun akhirnya memutuskan untuk kembali ke Biak Kota dan mulai bertani. Walaupun bukan pekerjaan yang baru, karena sebelumnya Dominggus memang seorang petani, tapi benjolan yang terus membesar di punggungnya membuatnya sulit beraktivitas. “Baru pergi memotong beberapa pohon saja, dia (Dominggus) sudah mengeluh sakit,” tutur Matilda Randongkir, sang istri. Hal ini tentu semakin mempengaruhi perekonomian mereka. “Karena tidak bisa bekerja berat, kami jadi sulit dapat uang,” tambah Matilda.
Ket : - Pelaksanaan baksos kesehatan yang diadakan di RSUD Biak Numfor ini menangani para pasien dari Biak Kota, Biak Timur, Biak Barat, Biak Utara, Supiori Selatan, Numfor Barat dan Timur, serta Manokwari. (kiri) Kekecewaan yang Terobati Mendengar hal itu, Dominggus mengaku merasa sangat kecewa. Dan kekecewaan tersebut ia utarakan kepada beberapa relawan Tzu Chi Biak yang berada tidak jauh dari rumah sakit. “Saat itu, saya dinasihati sama seorang ibu. Dia bilang, ‘Bapak datang saja lagi tanggal 17 Mei 2010, untuk pemeriksaan kedua. Kalau ada jodoh, mungkin bapak bisa dioperasi.’ Mendengar itu, rasa putus asa saya hilang. Saya tetap bertekad untuk mencoba lagi,” jelas Dominggus. Semangat untuk meraih kesembuhan yang dimiliki Dominggus, berbuah manis. Pada tanggal 17 Mei 2010, ia menjadi orang pertama yang hadir dalam kegiatan screening baksos kesehatan Tzu Chi ke-67. Bahkan, ia sempat membantu beberapa relawan Tzu Chi Jakarta, untuk merapikan meja pendaftaran. “Walaupun takut untuk ditolak lagi, tapi hati saya rasanya bersemangat sekali. Makanyapagi-pagi saya langsung ke sini,” ungkapnya. Setelah menjalani beberapa pemeriksaan, akhirnya ia pun lolos untuk menjalani operasi minor. Dominggus menuturkan rasa bahagianya, “Saya benar-benar mau sembuh. Saya senang sekali.” Setelah menjalani operasi selama lebih kurang 50 menit, akhirnya Dominggus pun keluar dari ruang operasi. Matilda yang mengaku sempat merasa khawatir dengan kondisi suaminya, kini merasa lega dan senang, karena operasi suaminya berhasil dengan baik. “Saya sempat takut. Maklum belum pernah sekali pun (ada anggota) keluarga kami pernah dioperasi,” tegasnya.
Ket : - Ketulusan dan keiklasan ditunjukkan oleh relawan Tzu Chi dalam melayani para pasien. Semoga cinta kasih ini juga akan tumbuh dan bersemi di hati para pasien nantinya. (kiri). Kebahagiaan terpancar dari wajah Dominggus ketika ditanya bagaimana perasaannya sekarang. “Tidak bisa lagi diungkapkan,” tuturnya haru. Bahkan ia mengaku merasa begitu tersentuh saat mendapatkan dukungan dan perhatian dari para relawan Tzu Chi, “Luar biasa yayasan ini. Mereka tidak main-main membantu kami. Setelah saya operasi pun mereka masih menanyakan kondisi kami. Puji Tuhan, mereka seperti ‘tangan-tangan kasih’ yang ditujukan kepada kami yang tidak mampu.” Bekerja dengan Ikhlas Pendaftaran pasien sesungguhnya telah ditutup sejak tanggal 19 Mei 2010. Namun ketika ada lebih kurang 30 pasien yang baru datang dari Numfor -sebuah pulau yang harus ditempuh dengan menggunakan perahu selama lebih kurang 6 jam, para relawan dan tim medis Tzu Chi tidak kuasa untuk menolak mereka. “Sudah hati yang berbicara di sini. Kalau ingat mereka harus naik kapal kayu selama 6 jam, rasanya kejam sekali kalau kami tidak membantu mereka,” tutur Wenny, juga salah satu perawat TIMA. Ia menambahkan, rasa harunya terbangkitkan ketika melihat para pasien bertepuk tangan dengan riang setelah dinyatakan boleh menjalani pemeriksaan awal. “Bagaimana coba rasanya melihat semangat mereka. Kami yang sudah lelah pun jadi kembali bersemangat,” tambah Wenny. Tidak hanya tim medis Tzu Chi, para relawan Biak pun dengan tulus melayani para pasien. Mulai dari membimbing mereka mengikuti alur pelaksanaan baksos, mengantar mereka ke ruang operasi, atau mempersiapkan makan siang mereka, dilakukan dengan sepenuh hati. Bahkan seorang relawan yang terlihat sibuk mondar-mandir melayani para pasien pun menuturkan, “Kalau ditanya capek, saya memang capek. Tapi kalau saya lihat pasien yang duduk di sana (sambil menunjuk ke arah tenda yang penuh dengan pasien -red), rasa capek saya hilang. Apa yang saya rasakan tidak sebanding mereka yang harus menjalani perjalanan jauh, demi mendapatkan pengobatan ini,” jelasnya sambil tersenyum. | |||