Muhammad Miftahul Muzammil atau Miftah tersenyum kepada Yuliani, ibunya, setelah mejalani operasi bibir sumbing. Miftah menjadi satu dari delapan pasien bibir sumbing yang ikut dalam operasi di Bakti Sosial Kesehatan Tzu Chi Ke-136.
Di antara ratusan masyarakat yang hadir di Rumah Sakit Metro Hospitals M. Toha, Tangerang untuk ikut dalam screening Baksos Kesehatan Tzu Chi (4/2/23), ada seorang ibu yang sepanjang penglihatan saya, ia berdiri sejak pagi. Ibu ini menggendong seorang anak kecil dengan bibir sumbing. Kursi kosong di sebelahnya sama sekali tidak ia hiraukan.
“Si Dedek nggak mau diajak duduk, Kak. Langsung rewel, maunya digendong berdiri terus,” kata si ibu yang memperkenalkan namanya, Yuliani (35). Capek memang, tapi untuk kesembuhan anaknya, Yuli rela.
Sejak pukul 8 pagi, Yuli sudah mengajak Muhammad Miftahul Muzammil (8 bulan), anaknya mengantre di Bakti Sosial Kesehatan Tzu Chi Ke-136 untuk bergiliran diperiksa. Sejak masuk ke ruang screening pula, ia berpisah dengan suaminya Angga Narotama Pangestu (35) yang membawa perbekalan untuk Miftah. Susu, biskuit, dan camilan lain ada di tas yang dibawa oleh Angga.
“Kayaknya (Miftah) udah mulai lapar, belum nyusu, jadi gelisah,” ungkap Yuli sambil melihat jam, pukul 10.50 siang. “Memang udah waktunya ngemil ini,” lanjutnya.
Sabtu, 4 Februari 2023, Yuliani bersama Miftah dengan sabar mengikuti proses screening dan pemeriksaan oleh dokter untuk bisa lolos ke tahap operasi bibir sumbing seminggu kemudian (11 Februari 2023).
Sambil menunggu hasil cek darah dan rontgen, Yuli lalu menemui suaminya dan menyiapkan susu untuk Miftah. Anak ketiga dari Angga dan Yuli ini tidak mengonsumsi ASI karena Yuli terkendala dengan ASI yang tidak keluar ketika melahirkan Miftah di usia kehamilan 7 bulan. Dari kelahiran prematur itu, Miftah mengalami bibir sumbing dan hanya berbobot 1,5 Kg saat dilahirkan.
Bukan main repotnya Yuli merawat anak yang ia anggap sebagai mukjizat Allah itu. Mukjizat karena Miftah ini adalah anak ketiga. Sebelumnya Angga dan Yuli “sempat” mempunyai dua anak namun meninggal di dalam kandungan di usia 7 bulan. Dua bulan setelahnya, Yuli kembali hamil dan itu adalah kabar yang membahagiakan untuk mereka.
Dengan keadaan ekonomi yang terbatas, Miftah yang seharusnya dirawat di NICU akhirnya harus dirawat di rumah. Saat itu, keluarga ini pun belum mempunyai jaminan kesehatan atau BPJS, sehingga kalau diperkirakan, biaya mandiri untuk perawatan NICU bisa mencapai 10 juta. “Kami mana mampu buat bayar biaya semahal itu,” ingat Yuli yang sehari-hari tidak mempunyai pekerjaan tetap. Biasanya ia menjual kebab sementara suami berjualan bakmi. Hasilnya baru bisa memenuhi kebutuhan harian saja.
Dengan usia yang masih 8 bulan, dokter spesialis anak di Rumah Sakit Metro Hospital M. Toha Tangerang memeriksa lebih lanjut kondisi kesehatan Miftah sebelum menjalani tindakan operasi.
Kemudian, menyambung kisah di NICU, akhirnya bersama bidan di dekat rumahnya yang pengalaman dan menjamin perawatan Miftah, Yuli diizinkan oleh pihak rumah sakit untuk merawat bayinya di rumah dengan berbagai catatan. “Jadi selama dua bulan, Miftah nggak boleh keluar rumah kecuali buat jemur di jam 7 pagi selama setengah jam. Setelah dijemur, dibedong dan tidak dibuka selama setengah jam. Nah setelah itu, bedongnya dibuka dan dimandikan, tapi nggak boleh dimandikan pakai air, hanya boleh dibalur dengan minyak zaitun, dibalurnya pakai kapas, dan dibedong lagi. Tidurnya dikasih lampu biar tetap hangat,” rincinya.
“Dulu orang pikir, ‘kok abis punya anak, anaknya nggak pernah dibawa main keluar, apa karena malu anaknya sumbing’,” ingat Yuli, “padahal saya sama sekali tidak malu. Sejak melahirkan saya sudah menerima dengan ikhlas bagaimanapun anak saya. Saya yakin ini adalah kuasa Allah, tapi karena perawatannya harus sangat intensif, ya jadi nggak bisa dibawa keluar.”
Masih lekat sekali di ingatan Yuli, bayinya itu dulu kecil sekali seperti boneka, tak disangka saat ini sudah bertumbuh besar dan bisa menjadi penghiburan orang tuanya. “Kalau ketawa ngikik banget, Kak. Makanya banyak tetangga yang suka, sayang sama dia karena gampang diajak bercanda. Anaknya juga nggak rewel, makan gampang, nggak nyusahin orang tua,” ungkap Yuli. Dengan perkembangan itu, keinginan untuk mengoperasi bibir sumbing Miftah pun semakin besar seiring dengan usia dan berat badan Miftah yang sudah mencukupi untuk dilakukan tindakan operasi.
Linda Sutanto, relawan Tzu Chi komunitas He Qi Utara 2 menemani Yuliani dan mendengarkan kisah perjalanan Miftah yang baginya penuh dengan pelajaran kasih sayang.
Yuli sebenarnya sudah mencari berbagai informasi tentang operasi bibir sumbing yang gratis, namun belum juga menemukan. Ternyata jodohnya terjalin bersama Tzu Chi. “Itu saya dapat info dari Polsek Jatiuwung, kemudian didaftarkan. Saya sangat berterima kasih sekali,” ceritanya.
Ikut operasi di tanggal 11 Februari 2023, Yuli bersyukur namun tetap terselip rasa khawatir karena Miftah menjadi anak terkecil di antara pasien lain. Ketika keluar ruang operasi pun, Yuli langsung sigap mendekap anaknya. “Alhamdulillah ya Allah, operasinya lancar. Sempat nangis kenceng banget abis operasi, tapi pas dicek semua kondisi baik. Sekarang sudah tenang,” kata Yuli bahagia.
Relawan yang menemani Yuli dan Miftah di ruang pemulihan pun sesekali berbincang dengan Yuli seraya mendengar kisah mereka. “Wah hebat banget ya Ibu sangat telaten dan penuh kasih sayang merawat anak. Saya ikut terharu, Bu,” tutur Linda Sutanto, relawan Tzu Chi komunitas He Qi Utara 2. “Salut banget sama Miftah juga, anak ajaib ini, hebat kamu, Dek,” lanjutnya sambil membelai tangan Miftah yang tengah tertidur.
Linda berharap dan berdoa nantinya Miftah bisa sembuh dan tumbuh dengan baik. Ditambah lagi dengan bibir yang sudah dioperasi, semoga tawanya semakin nyaring dan memperlengkap kebahagiaan keluarganya. Itu pun yang diamini oleh Yuli dan seluruh keluarga lainnya.
Sehari pascaoperasi (12/2/23), dokter mengontrol kembali kondisi Miftah dan para pasien operasi bedah lainnya untuk memastikan kondisi mereka stabil sebelum diperbolehkan untuk pulang.
Miftah menjadi satu dari delapan pasien bibir sumbing yang ikut dalam operasi di baksos Tzu Chi. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Banten, Dr. dr. Hj. Ati Pramudji Hastuti, MARS menjelaskan bahwa apabila dibiarkan pasien bibir sumbing akan mengalami gangguan dalam proses makan, proses bicara, merusak gigi karena tidak bisa berfungsi dengan maksimal. Bibir sumbing juga memengaruhi estetik wajah yang bisa mengganggu psikologi penderitanya. Baksos Kesehatan Tzu Chi ini pun dinilai sudah menjadi salah satu jalan untuk meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup para pasien ke depannya.
Editor: Hadi Pranoto