Bakti Sosial Kesehatan Tzu Chi ke-143: Ikhtiar Mujono yang Sepuluh Tahun Tak Dapat Melihat

Jurnalis : Khusnul Khotimah, Lili Tedja (He Qi Cikarang), Fotografer : Felice, Rafli Noval Diansyah (He Qi Cikarang)
Bripka Supriyanto tulus mendampingi Mujono mengikuti pengobatan katarak pada Bakti Sosial Kesehatan Tzu Chi ke-143 di RS Medika Cikarang.

Dengan hati-hati Bripka Supriyanto menggandeng tangan Mujono (46) yang tak bisa melihat, berjalan menuju ruang screening. Orang lain mungkin mengira jika yang ia gandeng adalah keluarganya, padahal bukan. Selaku Bhabinkamtibmas (Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat) Kelurahan Telaga Asih, Cikarang Barat, pagi itu ia menjalankan tugas mendampingi warga di wilayahnya mengikuti pengobatan katarak di RS Sentra Medika.

Di ruangan screening, rupanya tak cuma Bripka Supriyanto. Ada beberapa Bhabinkamtibmas yang juga menjalankan tugas yang sama. Ada yang mendampingi tiga hingga empat warga.

Bakti Sosial Kesehatan Tzu Chi ke-143 ini memang merupakan kerja bersama Tzu Chi Indonesia dengan Polres Metro Bekasi serta RS Sentra Medika. Penjaringan pasien banyak dibantu Polres Metro Bekasi. Kasat Pamobvit Polres Metro Bekasi, Kompol Saeful menjelaskan, yang tengah dilakukan para Bhabinkamtibmas ini tak lepas dari tugas pokok Polri yaitu sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat.

“Bhabinkamtibmas ini melaksanakan fungsi itu di wilayah masing-masing. Beliau-beliau itu mendata, mencari pasien katarak,” jelasnya.

Para anggota Bhabinkamtibmas yang tengah bertugas menemani pasien memanfaatkan kesempatan berfoto bersama relawan Tzu Chi dan TIMA Indonesia.

Sepuluh Tahun Tak Dapat Melihat

Sudah sepuluh tahun lamanya Mujono tak bisa melihat terang dunia. Sebelumnya ia adalah seorang mekanik tangguh yang telah bekerja selama 22 tahun di sebuah pabrik baja di Cikarang. Kerjanya tak lepas dari mengelas besi dan bekerja 12 jam sehari. Meski mata kerap lelah, ia sering memaksakan diri.

Suatu ketika saat mengantar istri berbelanja, mata kirinya terasa perih seperti kemasukan debu tebal.“Kok mata saya begini,” keluh Mojono. Karena mata kanan masih jelas, Mujono pun tetap bekerja. Sambil ia berobat ke banyak rumah sakit dengan biaya tak sedikit. Lambat laun mata kirinya mengalami keluhan yang sama. Makin parah, Mujono mendapat rujukan ke Rumah Sakit Mata Cicendo, Kota Bandung.

“Perjuangannya benar-benar, sampai seminggu sekali kontrol,” kata Indarti, sang istri.

“Manajer saya mau menawarkan pensiun itu maju mundur tidak enak sendiri, 'tapi terserah bapak mau pensiun dini atau bekerja kembali itu terserah’,” cerita Mujono.

Keterbatasan pada penglihatan tak membuat Mujono ongkang-ongkang kaki. Ia berupaya membantu sang istri mencari nafkah.

Mujono lalu mengajukan pensiun dini karena memang tak memungkinkan bekerja. Ia dapat pesangon 80 juta Rupiah yang ia gunakan untuk berobat. Di Cicendo, ia menjalani tiga kali operasi di mata kanan. Operasi pertama sempat membaik, lalu tak lama memburuk, kemudian operasi kedua karena ada kataraknya, dan ketiga dilaser, namun justru memburuk.

“Yang paling shock saat dokter bilang ‘Pak ini bapak berobatnya sampai sini saja, sudah tidak ada jalan lain, kalau bisa ke Singapura,’ Bayarnya waktu itu 150 juta satu mata. Ya sudah karena saya tidak ada biaya ya saya pasrah,” sambung Mujono.

Itu di tahun pertama. Sembilan tahun selanjutnya Mujono berusaha berbesar hati. Sempat ia merasa terpukul, kurang lebih lima bulan lamanya. Ia tak menutup diri. Ia bahkan menyalurkan kegemarannya akan burung dengan berjualan burung kontes.

Sementara sang istri berjualan makanan ringan di teras rumah, Mujono membantu mencuci pakaian, menyapu, mengepel lantai, hingga mencuci piring. Mujono juga mencari penghasilan dengan membuat tusuk sate dari bambu.

“Kadang sekali kirim 5-20 ribu tusuk. Jadi saya potong bambu, nyerut, Alhamdulillah masih bisa,” katanya.

Tuntutan ekonomi membuat Mujono dan Indarti memutar otak untuk bisa menafkahi tiga anaknya. Berbekal pengalaman Indarti yang pernah bekerja di laundry, keduanya pun membuka laundry sejak setahun lalu. Hebatnya, Mujono bertugas mencuci dan menjemur, dan tak pernah satupun baju pelanggan tertukar.     
                                                   
Masukin per-keranjang, kelarin dulu baru lanjut punya orang lain. Jemuran pun dibagi, dari sini sampai sana cuma punya orang 1,” jelas Indarti yang tugas utamanya menggosok baju. Begitulah Mujono menjalani hari-harinya.

Yang Penting Berusaha


Mujono sesaat sebelum naik ke meja operasi.


Mujono merasa sangat terharu usai operasi mata.

Suatu malam Mujono menerima telepon dari Bripka Supriyanto menginformasikan akan ada pengobatan katarak di RS Sentra Medika. Ini juga dalam rangka HUT Bhayangkara ke-78. Mulanya Mujono ragu mengingat tiga kali operasi yang ia sudah jalani toh tanpa hasil. Namun Bripka Supriyanto menyemangatinya.

“Saya bilang selagi kita bisa ikhtiar berobat, ya kita berobat, mana yang cocok. Barangkali ini rejekinya bapak dalam ulang tahun Bhayangkara ini, bapak berobat bisa sembuh, bisa pulih kembali,” ujar Bripka Supriyanto. Mujono pun setuju.

Jumat pagi 28 Juni 2024, Bripka Supriyanto menjemput Mujono ke rumahnya, menemaninya screening. Mata yang diperiksa adalah mata kiri yang memang belum pernah dioperasi. Hasilnya, Mujono bisa mengikuti operasi.

“Alhamdulillah senang, kan selama 10 tahun seperti jalan buntu. Mudah-mudahan ini sebagai pembuka, awal kesembuhan,” ujarnya.

Sabtu 29 Juni, Mujono bersama 86 pasien lainnya menjalani operasi. Air mata Mujono beruraian saat meninggalkan RS Sentra Medika Cikarang. Tak mampu lagi ia menahan rasa haru.

Mujono saat pembukaan perban.


“Siapa yang menanam kebaikan, akan kembali kebaikan itu kepada kita sendiri, makanya kita harus berbuat baik sama siapapun, di manapun,”kata Bripka Supriyanto yang selama tiga hari menemani Mujono.

Saat pembukaan perban, Minggu 30 Juni 2024, Indarti turut menemani. Tak ketinggalan, Bripka Supriyanto. Seorang perawat membersihkan matanya dan meneteskan obat tetes mata. Penyembuhan pascaoperasi dapat berlangsung beberapa pekan untuk melihat hasil operasi, tergantung kondisi katarak masing-masing pasien. 

Kebahagiaan terpancar di wajah Mujono.“Mau hasilnya kayak apa, saya terima. Mungkin itu sudah kehendak Allah, yang penting saya sudah berusaha.” kata Mujono.

“Sangat gembira sekali Pak Mujono bisa melakukan tindakan operasi, semoga hasil operasi memuaskan.” ujar Bripka Supriyanto.

Menyaksikan kebahagiaan di wajah para pasien, Dr. Karmelita Satari, SpM sungguh bersyukur. Di usinya yang sudah 63 tahun, beliau terus berkarya untuk kemanusiaan. “Kalau kita masih sehat dan masih bisa bekerja, bekerja itu adalah kehormatan,” tuturnya.

Editor: Arimami S.A

Artikel Terkait

Baksos Kesehatan Tzu Chi ke-98: Jalinan Jodoh yang Tak Pernah Putus

Baksos Kesehatan Tzu Chi ke-98: Jalinan Jodoh yang Tak Pernah Putus

09 Mei 2014 Selain dari Biak, relawan juga menerima 3 pasien dari sebrang pulau Biak, Manokwari, yang telah menjalin jodoh dengan Tzu Chi pada tahun 2012 lalu ketika Tzu Chi melaksanakan bakti sosial di Manokwari.
Baksos Kesehatan Tzu Chi Ke-101 Di Batam

Baksos Kesehatan Tzu Chi Ke-101 Di Batam

18 November 2014 Berlatarbelakang organisasi sosial dan menyadari akan pentingnya kesehatan, serta kepedulian terhadap masyarakat yang kurang mampu, Tzu Chi kembali mengadakan Bakti Sosial (baksos) Kesehatan ke-101.
Baksos Tzu Chi ke-141: Pulang dengan Perasaan Lega dan Penuh Syukur

Baksos Tzu Chi ke-141: Pulang dengan Perasaan Lega dan Penuh Syukur

24 Oktober 2023

Beragam ekspresi kebahagiaan ditunjukkan para pasien katarak dan pterygium saat tahapan buka perban mata. Ada yang tertawa lepas, ada pula yang malah menangis saking senangnya.

Lebih mudah sadar dari kesalahan yang besar; sangat sulit menghilangkan kebiasaan kecil yang buruk.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -