Ban Bekas Karet Penyanggaku

Jurnalis : Veronika Usha, Fotografer : Veronika Usha
 
foto

Post operasi pasien hernia yang dilakukan pada 27 Mei 2009, tidak hanya diisi dengan kegiatan pemeriksaan saja, melainkan acara ramah tamah yang penuh kekeluargaan antara para pasien dengan seluruh relawan dan tim medis Tzu Chi.

“Rasanya memang tidak nyaman. Karena bahannya karet, jadi sedikit panas dan menimbulkan bunyi kriet .. kriet… kalau saya berjalan terlalu cepat,” tutur Dasirin, tentang karet penyangga yang digunakannya.

Tiga bulan lamanya Dasirin Harianto terpaksa menggunakan sebuah karet penyangga untuk meringankan penyakit Hernia yang dideritanya. Karet penyangga (menyerupai seperti celana dalam untuk berolah raga -red) yang dibuat dengan menggunakan ban bekas dan ikat pinggang itu telah menjadi teman setianya saat bekerja. “Kalau pakai karet itu (celana penyangga), rasanya tidak terlalu sakit. Tadinya saya malu, tapi daripada harus mengeluarkan uang sekitar Rp 80.000 – 100.000 untuk membeli celana penyangga, akhirnya saya terpaksa membuatnya sendiri dari ban bekas,” ucapnya tersipu.

Awalnya, pria asal Desa Mekarsari, Cilacap, Jawa Tengah ini merasakan sebuah benjolan di tubuhnya sekitar tahun 2008. “Kalau nggak salah, setelah lebaran tahun lalu saya mulai merasa ada benjolan sebesar telur puyuh di sebelah kiri perut saya. Dan setelah pergi ke dokter, akhirnya saya tau kalau saya sakit hernia, dan harus dioperasi,” ucap Dasirin. Namun karena kondisi ekonomi yang sangat terbatas, akhirnya Dasirin memilih untuk menunda melakukan operasi dan tetap bekerja.

foto  foto

Ket : - Dengan wajah tersenyum, Dasirin membagikan pengalaman dan ungkapan rasa syukurnya karena
           penyakitnya yang dulu menyiksanya kini telah berangsur sembuh. (kiri)
         - Kini Dasirin tidak perlu lagi menggunakan karet penyangga ban bekasnya. Setelah 10 hari pasca operasi,
           Dasirin bahkan sudah bisa mulai bekerja kembali. (kanan)

Demi menafkahi keluarga, setiap hari Dasirin berusaha untuk menahan sakit. Bahkan ia mengaku pernah terpaksa tidur di jalan sewaktu penyakitnya kambuh. “Kalau sudah nahan sakit, keringat bisa keluar semua. Tapi setelah tiduran sebentar, benjolan yang turun ke buah zakar saya rasanya naik kembali ke perut, jadi rasanya lebih lega,” katanya. Beragam pengobatan alternatif juga pernah dijalani oleh Dasirin, mulai dari tukang pijat hingga pergi ke beberapa dukun. “Bukan hanya karena biaya operasi yang mahal (sekitar 7 juta rupiah -red), orangtua saya juga takut saya meninggal kalau saya dioperasi. Maklum pemikiran orang zaman dulu,” tambah Dasirin.

Karena tidak dioperasi, semakin lama benjolan yang awalnya hanya sebesar telur puyuh tersebut, lama-lama semakin membesar menjadi sebesar telur angsa, sehingga Dasirin terpaksa mengurangi pekerjaannya. Melihat kondisi Dasirin, salah satu tetangga yang pernah mendapatkan pengobatan gratis oleh Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia akhirnya menganjurkan Dasirin untuk mendaftar baksos pengobatan gratis Tzu Chi.

“Saya tahu baksos Tzu Chi dari tetangga, bukan dari DAAI TV, karena sudah hampir satu tahun ini televisi di rumah saya rusak sehingga kami tidak tahu apabila ada DAAI TV,” jelas bapak lima anak ini polos.

Setelah mengurus surat-surat yang dibutuhkan, tepat tanggal 17 Mei 2009, akhirnya Dasirin berhasil menjalani operasi hernia yang diadakan oleh Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia.

foto  foto

Ket : - Acara ramah tamah yang diadakan pascaoperasi ini menambah rasa kekeluargaan antara para pasien dan
           insan Tzu Chi. (kiri)
         - Dr Dharma, salah satu dokter yang terjun langsung pada operasi mayor-minor pun turut hadir dan
           mengungkapkan rasa terima kasihnya karena diberi kesempatan untuk berbuat kebajikan. (kanan)

Terimakasih Tzu Chi
Dengan wajah bersinar Dasirin mengacungkan tangannya sebagai tanda kesediaannya untuk memulai sesi sharing pada post operasi pasien hernia yang diadakan Rabu, 27 Mei 2009. Sambil tersenyum, Dasirin mengungkapkan rasa syukur dan terima kasihnya kepada Tzu Chi. Tidak hanya itu, ia pun menceritakan kepada peserta yang lain tentang penderitaannya saat masih menderita penyakit hernia.

“Saya mau mengucapkan terima kasih kepada Yayasan Buddha Tzu Chi, karena jasa para dokter, perawat, dan relawan, sekarang saya sudah merasa sehat walaupun belum seratus persen. Yang tadinya saya mengeluh sekali, sekarang saya sudah bisa bekerja walau belum melakukan kerja keras,” ucap Dasirin lantang.

foto  

Ket : - Tidak hanya sharing, para pasien dan keluarga juga belajar bahasa isyarat tangan. Keakraban yang terjalin
           membuat ikatan yang terjalin tidak sekadar hubungan antara dokter, Tzu Chi dan pasien. (kiri)

Selain mengaku terharu dengan pelayanan yang diberikan oleh para relawan Tzu Chi, Dasirin juga berharap bisa menyumbangkan tenaga serta pikirannya kepada orang yang membutuhkan. “Saya sudah merasa bagaimana rasanya dibantu. Harapan yang tadinya sempat hilang, kini sudah muncul kembali. Oleh sebab itu, Insya Allah saya berjanji untuk membantu mereka yang membutuhkan,” tegasnya.

Cinta kasih yang tumbuh dalam diri Dasirin merupakan salah satu buah dari benih cinta kasih para insan Tzu Chi. Dalam setiap kegiatan baksos kesehatan, para insan Tzu Chi tidak hanya memberikan pengobatan terhadap penyakitnya saja, melainkan pendampingan dengan penuh kekeluargaan kepada seluruh pasien.

foto  

Ket : - Dengan menebarkan benih cinta kasih, diharapkan para pasien dan keluarga juga dapat ikut menularkan
           dan menerapkannya kembali dalam kehidupan mereka.

“Tidak hanya pendampingan pada saat kegiatan baksos saja, sebelumnya kami juga melakukan kunjungan ke rumah para pasien,” tutur Oey Hoey Leng, relawan Tzu Chi yang juga Pembina RSKB Cinta Kasih Tzu Chi. Oey Hoey Leng menambahkan, kunjungan yang dilakukan oleh dokter, perawat dan insan Tzu Chi ini bertujuan untuk memonitor kesehatan beberapa pasien yang beresiko mengalami kegagalan menjalankan operasi, “Kami rutin mengontrol kesehatan para pasien tersebut, agar nantinya nantinya mereka dapat menjalani operasi, dan berhasil dengan baik.”

 

Artikel Terkait

Mengenang Sejarah Tzu Chi Indonesia

Mengenang Sejarah Tzu Chi Indonesia

20 Januari 2016

Dalam acara Pemberkahan Akhir Tahun 2015 ini menampilkan pentas drama kilas perjalanan Tzu Chi Indonesia. Berawal dari tahun 1993, para istri-istri pengusaha Taiwan (Liu Su Mei, Bao Qing, Liang Qiong, dan Chun Ying)  hingga kini menjadi besar yang telah berusia 22 tahun.

PAT 2019: Mengakar di Jalan Bodhisatwa

PAT 2019: Mengakar di Jalan Bodhisatwa

21 Januari 2020

Pemberkahan Akhir Tahun Tzu Chi 2019, sesi 2 di Kota Batam dihadiri oleh sebanyak 1.004 peserta terdiri dari orang tua murid Kelas Budi Pekerti dan penerima bantuan Tzu Chi. Selain menyaksikan kilas balik Tzu Chi dan petunjukan yang dibawakan oleh relawan, pemberkahan kali ini juga mengundang penerima bantuan untuk berbagi kisah mereka.

Cinta Kasih Untuk Bumi

Cinta Kasih Untuk Bumi

16 Agustus 2012 Dengan berbudaya humanis, barisan ini menepakkan langkah dari satu rumah ke rumah yang lainnya. Mereka menginformasikan kepada warga akan pentingnya mencintai lingkungan, mencintai bumi dengan langkah awal yang mudah yaitu mengumpulkan barang-barang yang dapat di daur ulang.
Tak perlu khawatir bila kita belum memperoleh kemajuan, yang perlu dikhawatirkan adalah bila kita tidak pernah melangkah untuk meraihnya.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -