Banjir Jakarta: Belajar Menaklukkan Diri
Jurnalis : Apriyanto, Fotografer : Apriyanto
|
| ||
Tapi sayang di kota tempat tinggal saya tak banyak masyarakat yang paham tentang jalan para ksatria ini, terlebih mendalaminya. Yang sering saya jumpai adalah banyak orang yang hanya tahu menuntut haknya tanpa mempertimbangkan hak orang lain. Tahu menerima tanpa memiliki rasa syukur dan tahu memberi tanpa memiliki rasa hormat. Kisah tentang jalan semangat sudah tiga belas tahun yang lalu diceriterakan oleh teman saya. Dan hari ini ketika siatuasi penuh kekeruhan, saya kembali merindukannya. Rindu pada ketegaran jiwa. Rindu pada orang-orang yang menggeliat tapi bukan gelisah. Semangat Hok Lay Selama di perjalanan, Hok Lay terus memastikan kepada Muzakir kalau situasi di lapangan nanti tidak akan menjadi ricuh. Tapi Muzakir yang sedari tadi berkoordinasi dengan warganya melalui telepon selular memastikan kalau semuanya akan aman dan keselamatan relawan pun terjamin. Maka perjalanan pun terus dilanjutkan kendati di hati kami masih menyimpan kecemasan. Setibanya di lokasi apa yang saya dan Hok Lay khawatirkan pun mulai terjadi. Satu persatu warga tak dikenal datang mengerubungi truk. Yang lebih menegangkan mereka semua berwajah sangar, bersuara keras, bahkan beberapa diantara mereka bertubuh besar yang di sekujur tubuhnya dipenuhi oleh seni rajah. Mereka terus berteriak lalu mendesak kami, seakan menghiraukan tentara-tentara yang mengawal kami. Mereka terus berkata, “Kami lapar, kami belum kebagian sejak kemarin,” situasi pun memanas.
Keterangan :
Tiba-tiba dari arah depan kami muncul lelaki bertopi, bercelana pendek yang langsung merangkul Muzakir dan mengajaknya bergelut. “Saya Ketua RT 22. Saya butuh juga bantuan. Kamu harus kasih,” kata Ketua RT 22. Saat pertikaian belum terjadi Hok Lay langsung menengahi Muzakir yang sedang mengadu otot melepaskan tikaman. Dengan bahasa yang santun Hok Lay menjelaskan kalau sebenarnya Tzu Chi bisa memberikan bantuan secara merata kalau setiap ketua RT memberikan data yang jelas ke posko. RT 22 pun akan diberikan bantuan jika ia memberikan keterangan jelas tentang jumlah warga dan jenis bantuan yang dibutuhkan. “Kami datang untuk membagikan bantuan, bukan untuk memecah belah antarwarga. Yang berlebih seharusnya saling berbagi, agar perilaku memberi itu terus bergulir ke warga lain,” terang Hok Lay di antara para warga. Ketegangan pun mereda. Muzakir dan ketua RT 22 yang sedari tadi mulai dibakar amarah mulai mengendalikan dirinya masing-masing. Bahkan Muzakir mulai menyadari kekeliruannya. Kepada Ketua RT 22, Muzakir berkata kalau ia akan menunjukkan posko Tzu Chi dan ia juga merelakan sebagian bantuannya untuk diserahkan kepada warga RT 22. “Dibutuhkan kebesaran hati. Di saat seperti ini,” kata Hok Lay. Pembagian pun berlanjut dengan tertib. Saya terkesan dengan cara negosiasi Hok Lay. Ia tak hanya bisa bersikap lembut, tapi juga tegas di waktu yang tepat. “Menghadapi orang-orang bertipikal keras dibutuhkan ketegasan yang diimbangi kelembutan,” jelas Hok Lay kepada saya. Akhirnya kami kembali ke posko dengan perasaan tenang. Setibanya di posko, belum juga sempat kami berkoordinasi dan mengisi barang bantuan ke atas truk, Hok Lay kembali disibukkan oleh seorang wanita tua yang terlihat payah. Wanita itu bernama Asinah, berusia 67 tahun, berparas lusuh sambil meremas dadanya yang semakin lama terlihat semakin sesak. “Sesak nafas sejak kemarin,” kata M. Sukron anak lelakinya. Sebelumnya Sukron sudah membawa ibunya untuk dirawat inap di salah satu rumah sakit terdekat dengan posko. Tapi sayang rumah sakit itu menolaknya karena alasan teknis. Melihat kondisi Asinah yang semakin mencemaskan, maka Hok Lay berinisiatif mencari dokter darurat di posko TNI. Setelah itu ia bersama sejumlah tentara turut mengantar Asinah ke rumah sakit terdekat untuk memastikan agar Asinah bisa dirawat inap. “Situasi begitu genting. Di luar sistem birokrasi, bagaimanapun nyawa harus didahulukan,” kata Hok Lay kepada petugas keamanan rumah sakit itu. Di dalam ruang Unit Gawat Darurat, Asinah mendapat perlakuan yang cepat. Ia langsung diinfus, diberi bantuan oksigen, dan dideteksi dengan alat pemindaian jantung. Berselang beberapa menit, dokter jaga mengatakan kalau jantung Asinah dalam kondisi normal, tapi ritme pernafasannya masih belum stabil. Kendati demikian, ia belum diijinkan untuk dirawat inap di rumah sakit itu. Ketimbang berlarut dalam perdebatan Hok Lay lebih memilih untuk mencari solusi terbaik. Ia segera menghubungi Rumah Sakit Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, memastikan adanya kamar kosong. Tapi sayang, hari itu semua kamar telah terisi penuh. Dan Hok Lay pun kembali mengusahakan agar Asinah bisa dirawat di rumah sakit itu, karena hanya di rumah sakit itulah yang terdekat dan memiliki kamar kosong.
Keterangan :
Sesudah menunggu lebih dari dua jam, akhirnya Sukron mendatangi posko dan mengabari kalau ibunya siap dirawat di rumah sakit itu. Hanya saja ia harus mendapatkan surat pengesahan dari Palang Merah Indonesia. Setelah mendapatkan petunjuk dari Hok Lay, Asinah akhirnya bisa menjalani rawat inap di rumah sakit itu. “Lega dan merasa aman jika pasien kita sudah mendapatkan pertolongan cepat,” kata Hok Lay berseri. Saya juga tahu kalau ia juga korban dari musibah banjir tahun ini. Namun di wajahnya semua kekhawatiran itu seolah tak nampak. Bahkan ia tetap ceria meski banyak kata bising mengaung di telinganya dari para warga yang tak berpuas hati. Ia juga rela diperintah, meski di perusahaannya ia seorang pemimpin. Ia juga seorang pendengar yang baik saat banyak orang berebut suara untuk didengar. Hok Lay yang saya temui memang bukan seorang seniman bela diri, tapi sikapnya telah mengingatkan saya pada jalan semangat para ksatria. Hok Lay telah menerapkan kesederhanaan, kehormatan, dan tata karma. Ia mengatakan kepada saya kalau semua itu ia dapat dari Tzu Chi. Di Tzu Chi, ia belajar melawan musuh terberatnya – diri sendiri. Di Tzu Chi pula, ia belajar menerima pendapat orang lain dan menyimpan pendapatnya demi meredam keegoan. Hok Lay telah melakukan itu dalam tempaan yang lama. Kendati demikian ia masih terus belajar membina diri, karena menurutnya belajar itu tak pernah berhenti meski usia terus bertambah. ”Saya senang belajar. Saat di antara banyak orang yang ingin memimpin, saya belajar untuk diperintah. Saat di antara banyak orang yang mengatur, saya belajar untuk diatur. Dan saat banyak orang yang bersuara, saya belajar mendengar,” katanya. Semangatnya untuk mengubah diri membuat saya kagum dan saya menyebut dia sebagai kesatria. Jika saja semua orang di negeri ini menerapkan jalan semangat, mungkin tak akan ada lagi ketimpangan di negeri ini. Itulah yang saya rindukan. Rindu tentang ketegaran jiwa di tengah kegelisahan. | |||