Banjir Jakarta: Memasak Dengan Kehangatan

Jurnalis : Apriyanto, Fotografer : Apriyanto
 

foto
Ferry Posumah (tengah), salah seorang pengurus Gereja Koinonia bersama relawan Tzu Chi di dapur umum. Ia merasa sangat bahagia atas kedatangan Tzu Chi dalam membantu menyediakan makanan bagi pengungsi.

Entah tanggal berapa banjir menerjang Jalan Kebon Pala, Jakarta Timur, Rusmiah tak tahu persis. Tapi sepanjang ingatannya air berwarna keruh itu telah menenggelamkan semua harta benda di rumahnya. Sore itu ketinggian air tiba-tiba membumbung tinggi hingga mencapai 150 cm, dan tak ada pilihan bagi Rusmiah selain mengungsi ke Gereja GPIB (Gereja Kristen Protestan Bagian Barat) Koinonia Jatinegara.

 

Gereja Koinonia merupakan salah satu gereja tertua di Jakarta Timur. Gereja ini didirikan pada zaman kolonial Belanda dan masuk dalam Benda Cagar Budaya yang merupakan bangunan penting dalam sejarah perkembangan kota Jakarta. Karena letaknya persis di daerah yang rawan bencana banjir dan kebakaran, maka majelis di gereja ini memiliki program bantuan dan pemberian perlindungan bagi para pengungsi. Maka ketika banjir pertama kali menerjang wilayah Kebon Pala dua minggu lalu, Rusmiah bersama ribuan warga lainnya langsung teringat pada Gereja Koinonia. Begitu sampai di tempat ini para pengurus gereja dengan ramah memberikan tempatnya untuk dijadikan tempat tinggal sementara. Bahkan saking banyaknya pengungsi hingga mencapai 1.200 jiwa, rumah tinggal pendeta yang bersebelahan dengan gereja pun ditempati oleh para pengungsi.       

Ferry Posumah, Ketua Bidang IV Gereja Koinonia mengatakan bahwa selain memberikan tempat tinggal, para relawan gereja juga turut aktif mencari bantuan makanan. Dari situasi inilah akhirnya relawan Gereja Koinonia bertemu dengan Yayasan Buddha Tzu Chi melalui Koramil 01, Jatinegara. Ferry melihat Yayasan Buddha Tzu Chi memiliki koordinasi yang baik dan ketanggapan yang baik, sehingga TNI meminta Tzu Chi untuk membantu menyiapkan makanan di dapur umum, bersama dengan organisasi sosial yang lainnya.

foto   foto

Keterangan :

  • Keterbatasan relawan yang datang pada Selasa (21/01/2014) itu membuat relawan yang bertugas harus bekerja dengan ekstra (kiri).
  • Tzu Chi bekerja sama dengan TNI dalam membuka dapur umum ini (kanan).

Di gereja itu, dapur Tzu Chi berada di halaman depan. Dua buah tenda darurat berwarna biru, berlogo Tzu Chi berdampingan dengan tenda peleton milik TNI. Karena lokasinya di halaman depan, hembusan angin sangatlah kencang. Tak jarang sayur mayur yang sudah dipotong kecil-kecil dan kertas pembungkus nasi beterbangan ketika angin berhembus. Kendati demikian kegiatan masak-memasak tetap berjalan dengan baik. Empat orang relawan Tzu Chi yang bertugas pada tanggal 21 Januari 2014 tetap menjalani tugasnya dengan tenang meski udara terasa sangat dingin dan air hujan memercik terbawa angin. Tapi di sinilah keteguhan mereka teruji, di tengah situasi yang tak nyaman mereka tetap mempersiapkan makanan dengan bersih. Buah dari kesabaran mereka berwujud sebanyak 300 nasi bungkus berhasil disiapkan tepat di waktu makan siang. Menurut Ferry, relawan Tzu Chi memang mendapatkan tugas membuat 300 nasi bungkus bagi para pengungsi. Sebab dengan jumlah pengungsi yang mencapai 1.200 jiwa, donasi makanan dibagi ke beberapa organisasi sosial. Sampai hari itu relawan Tzu Chi sudah tiga hari berada di lokasi untuk membantu menyiapkan makanan.

Hari itu, meski kondisi kurang mendukung –hujan masih deras mengguyur, petugas pemadam kebakaran dan SAR terus hilir mudik mengevakuasi warga yang masih tertinggal di lokasi. Sementara itu di gereja yang tak begitu luas ini suasana terasa begitu akrab. Para relawan Tzu Chi dan relawan gereja saling berkoordinasi dan bekerja sama dengan harmonis. Mereka membagikan makanan secara bersama-sama dan saling memberikan dukungan atas kebutuhan pengungsi. Di sini kerukunan terlihat nyata dan Ferry pun mengatakan kalau semua umat manusia bersatu, maka semua akan terlihat indah dan bencana pun dapat dihalau. “Sebenarnya tujuan kehidupan ini adalah mencapai kesempurnaan pada Yang Maha Kuasa. Banyak jalan yang dilalui oleh umat manusia, tapi tujuannya tetap sama, yaitu menuju kebahagiaan. Karena itu kami tak pernah membeda-bedakan agama, karena pada dasarnya semua adalah satu ciptaan dan mempunyai tujuan yang sama,” jelas Ferry.  

  
 

Artikel Terkait

Berbakti Pada Ibu di Waisak Tzu Chi

Berbakti Pada Ibu di Waisak Tzu Chi

06 Juni 2014 Wajah Nenek Hartati diliputi senyuman, walau kini umurnya telah mencapai 88 tahun, dengan kondisi pergerakannya sudah tidak leluasa lagi, tapi di umurnya yang telah lanjut nenek Hartati masih bisa mengikuti acara waisak yang di adakan oleh Tzu Chi di Aula Jing Si, Pantai Indah Kapuk, pada hari Minggu 11 Mei 2014.
Kebahagiaan dari Tangan yang Melestarikan Lingkungan

Kebahagiaan dari Tangan yang Melestarikan Lingkungan

05 Mei 2023

Relawan Tzu Chi komunitas He Qi Pusat (Hu Ai Jembatan Lima) juga mengadakan kegiatan pelestarian lingkungan di RPTRA Melati Duri Pulo, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat.

Peduli Merapi : Ikhlas Menatap Masa Depan

Peduli Merapi : Ikhlas Menatap Masa Depan

18 November 2010
Masa depan yang belum jelas terlihat di depan mata tak merampas kemurahan hati para warga tersebut. Mertojiwo, nenek berusia 70 tahun itu tak henti-hentinya menawarkan salak dan teh manis hangat kepada para relawan Tzu Chi yang mendatangi sudut barak yang ditempatinya.
Gunakanlah waktu dengan baik, karena ia terus berlalu tanpa kita sadari.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -