Banjir Konawe: Cobaan Berat Bagi Asriani dan Keluarga
Jurnalis : Arimami Suryo A, Fotografer : Arimami Suryo AWarga Konawe, Sulawesi Tenggara yang terdampak banjir bandang banyak yang memilih untuk bertahan di rumah (membuat rumah panggung), dan sebagian lagi mengungsi ke tempat yang lebih aman.
Tahun 2019 ini menjadi tahun yang “berat” bagi Asriani (42) dan keluarga. Menjelang panen padi, banjir bandang merendam sawah yang digarapnya bersama suami. Bukan hanya itu, rumah yang ia tempati di Desa Wukusao, Kecamatan Wonggeduku, Konawe pun ikut terendam air setinggi 2 meter lebih.
Air banjir yang masuk ke dalam rumah secara terus-menerus pun membuat Oding (42), suami Asriani terkaget-kaget. Pasalnya banjir yang terjadi di Konawe pada tahun enam tahun lalu (2013) tidak seperti saat ini. “Ini banjir yang terparah, tidak seperti yang lalu-lalu,” kata Oding serius. Istrinya Asriani pun segera mengajak kedua anaknya Sherli (14) dan Amelia (15) untuk membantu menyelamatkan barang-barang yang berada di dalam rumah dari genangan air.
Para pengungsi banjir Konawe banyak yang tinggal di tenda-tenda darurat yang dibuat seadanya di pinggir-pinggir jalan.
Berpacu dengan air yang perlahan-lahan naik, Oding kemudian berinisiatif membuat panggung untuk mengungsikan barang-barang dan keluarganya. Setelah sempat bertahan selama satu malam di atas panggung yang dibuat di dalam rumah, keluarga ini akhirnya memilih mengungsi ke tempat yang lebih aman. Bersama-sama dengan tetangga, Asriani, Oding, dan kedua anaknya tinggal di pinggir jalan atau lebih tepatnya di tepian jalan antara Kecamatan Pondidaha dan Kecamatan Wonggeduku dengan menggunakan terpal dan papan kayu seadanya.
“Kita sudah hampir dua minggu tinggal di sini, membawa barang-barang yang ringan saja, sisanya ditinggal di dalam rumah, diatas panggung,” ungkap Asriani. Tenda yang dipakai mengungsi pun tidak ditempati sendiri oleh keluarga Oding dan Asriani, mereka harus berbagi tempat dengan keponakannya sehingga tenda berukuran 4x4 meter pun harus diisi oleh 7 orang.
Asriani saat diperiksa kesehatannya oleh dokter
dari Tzu Chi International
Medical Association (TIMA)
Indonesia saat mengadakan pelayanan kesehatan di Desa Wukusao.
Tenda tempat Asriani dan keluarga mengungsi juga difungsikan sebagai dapur dan tempat untuk tidur. “Apa boleh buat, kita masak dan tidur di sini hingga air surut di rumah,” cerita Asriani. Untuk makan, keluarga ini masih mengandalkan pemberian bantuan yang setiap hari datang dari banyak pihak (Pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan Donatur) yang peduli terhadap musibah yang mereka alami.
Maraknya penjarahan barang-barang berharga di rumah-rumah yang ditinggali pemiliknya juga membuat Asriani merasa was-was. Oding pung setiap sore dan pagi hari selalu melihat kondisi rumahnya yang masih tergenang air. “Banyak sekali orang yang memanfaatkan keadaan dengan mengambil barang-barang (berharga). Makanya saya agak khawatir,” kata Asriani. Yang lebih memprihatinkan, kedua putri Asriani dan Oding saat ini hendak memasuki SMA (Sekolah Menengah Atas), tetapi karena banjir mereka masih belum bisa melakukan (mengurus) apa-apa dan hanya bertahan di tenda pengungsian.
Setelah mendapatkan pelayanan kesehatan, Asriani pun dibekali obat untuk diminum dan salep untuk dioleskan secara rutin.
Oding merasa bingung dan tidak tahu harus berbuat apa pascamusibah banjir ini. “Jika seperti ini ya habis total. Tidak tentu, mesti mulai dari awal lagi,” ungkap Oding lirih. Padahal hasil dari panen padi yang saat ini terendam air tersebut rencananya akan dipakai untuk membiayai sekolah anak-anaknya dan memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. “Semoga ada bantuan, terutama bibit untuk memulai tanam kembali,” kata Oding berharap.
Sementara itu, tinggal di pengungsian dengan kondisi seadanya membuat Asriani terganggu kesehatannya. Beberapa penyakit yang umum terjadi pascabanjir pun dideritannya. “Badan gatal-gatal, batuk, sakit pinggang, dan apalagi saya kena mag sekarang,” kata Asriani. Tim Medis Tzu Chi yang memberikan pelayanan kesehatan gratis dari posko pengungsian satu ke posko pengungsian lainnya kemudian bertemu dengan Asriani saat melakukan baksos kesehatan di halaman Masjid At-Taubah, Desa Wukusao, Kecamatan Wonggeduku, Kowane, Sulawesi Tenggara.
Bersama Oding, Sherli, dan Amelia, Asriani tinggal sementara di tenda pengungsian hingga air yang menggenangi rumah mereka surut.
“Sama dokter tadi diperiksa, kata dokter kebersihan dan makanan juga harus dijaga walaupun (tinggal) di pengungsian. Terus saya juga dikasih salep dan obat,” kata Asriani. Bagi Asriani, pemeriksaan dan pelayanan kesehatan bagi pengungsi sangat penting karena mereka sudah banyak yang mengalami sakit, terutama gatal-gatal. Asriani pun bersyukur mendapatkan pengobatan gratis karena dalam kondisinya saat ini, ia dan keluarga mengalami kondisi yang serba sulit. “Apa yang dilakukan Tzu Chi dengan pengobatan gratis keliling ini penting sekali. Alhamdulillah, saya dan warga yang mengungsi di sini terbantu,” ungkap Asriani saat berkumpul bersama keluarganya di dalam tenda pengungsian.
Editor: Hadi Pranoto
Artikel Terkait
Banjir Konawe: Bantuan Langsung Bagi Pengungsi
18 Juni 2019Tzu Chi Indonesia merespon kejadian banjir yang melanda wilayah Konawe, Sulawesi Tenggara dengan memberikan bantuan medis dan paket kebutuhan bagi para pengungsi di wilayah Kecamatan Pondidaha, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara pada Senin, 17 Juni 2019.
Banjir Konawe: Menenteramkan Batin Para Pengungsi
20 Juni 2019Hari ketiga tanggap darurat Tzu Chi Indonesia di Konawe, Sultra, (17-19 Juni 2019), relawan berkeliling di Kecamatan Pondidaha dan Kecamatan Wonggeduku, Konawe, Sulawesi Tenggara untuk memberikan pelayanan kesehatan dan bantuan di beberapa posko pengungsian.
Banjir Konawe: Cobaan Berat Bagi Asriani dan Keluarga
21 Juni 2019Asriani, salah satu korban banjir mendapatkan layanan kesehatan dari Tim Medis Tzu Chi bersama ratusan pengungsi lainnya di Desa Wukusao, Wonggeduku. Tahun 2019 ini menjadi tahun yang “berat” bagi Asriani dan keluarga. Selain rumah, sawahnya yang siap panen pun terendam air.