Banjir Manado: Berlapang Dada
Jurnalis : Metta & Teddy, Fotografer : Metta & Teddy
|
| ||
Banjir di Manado Dalam lagu yang secara spontan ia nyanyikan tersebut, tersirat bahwa banjir bandang yang terjadi memang meninggalkan luka. Tak ada barang yang bisa ia selamatkan, hanya baju yang menempel di badannya. Belum lagi lumpur yang terbawa arus banjir membuat rumah dan lingkungannya hampir sudah tak ada rupa. Namun mau dikata apa kalau takdir yang telah menentukan nasib mereka. Tak ada yang perlu disesali dan tak perlu merasa kehilangan karena kekuatan dan kesehatan masih ada dalam diri. "Torang (kita) masih bisa bergerak, kalau diam saja bisa stres," ujarnya. Dince memang dikenal sebagai wanita yang periang di lingkungannya. Dengan usianya yang lumayan matang (46), keberadaannya yang hobi menghibur dengan nyanyian seringkali memudahkannya untuk dikenal oleh warga lainnya. "Puji Tuhan," begitu ucapnya berkali-kali. Tak jauh berbeda dengan Dince, Mom Wenba Tumimornor juga menganggap bahwa bantuan Tzu Chi merupakan perpanjangan tangan dari Tuhan. Walaupun rumahnya masih jauh dari kata bersih, namun ia mencoba bersyukur. Saat relawan memasuki rumahnya, ia langsung menunjukkan bekas air banjir yang menggenang bahkan sampai menghancurkan sebagian dari rumahnya. Sisa pohon Natal juga masih teronggok di atas kursi di sudut ruangan. "Terima kasih pada Tuhan yang telah memberikan bantuannya melalui Tzu Chi," ungkapnya.
Keterangan :
Begitu juga dengan Warni Umar dan suaminya, Pasil Saus yang merasa bahwa bantuan dari Tzu Chi ini berbeda dengan bantuan lainnya. "Kita dibantu untuk membersihkan rumah kita, dan kita dibayar. Ini bantuan yang menurut kami sangat bagus sekali," ungkap Warni yang sehari-hari merupakan seorang guru ngaji. Rumahnya sendiri kini ditambal dengan terpal karena sebagian bangunannya terbawa arus air banjir. Torang Samua Bersaudara Salah satunya adalah Latif, kakek berusia 78 tahun ini sedang duduk di bangku taman, dekat dengan rumahnya di Kelurahan Paal IV, ketika melihat rombongan relawan Tzu Chi datang. Seketika itu pun, ia bangkit menghampiri relawan dengan senyum gembira, menyambut relawan Tzu Chi.
Keterangan :
Latif sendiri adalah salah satu warga yang ikut berpartisipasi dalam program cash for work, tetapi karena usianya yang sudah lanjut maka putrinya yang menggantikan untuk membersihkan saluran air yang tersumbat di depan rumahnya. Sembari melihat putrinya bekerja, ia berbicara kepada relawan mengenai asal muasal Kampung Malvina, Kelurahan Paal IV. Pada awalnya Kampung Malvina adalah sebuah aliran Sungai Tondano. Pada tahun 1936, terjadi longsor dan memotong aliran Sungai Tondano. Seiring berjalannya waktu aliran sungai yang awalnya terpotong, mulai membentuk aliran sungai baru yang mengelilingi Kampung Malvina ini. Dengan adanya aliran air ini , tanah baru ini pun menjadi subur dan digunakan oleh warga sekitar untuk bercocok tanam, karena lahan ini sangat bagus untuk menanam buah-buahan: durian, duku, dan kelapa. Setelah lama kemudian, tahun 1981 warga mulai membangun pemukiman di sini yang kemudian dikenal dengan nama Kampung Malvina, Kelurahan Paal IV, karena letaknya hanya 4 km dari kota. Aliran air Sungai Tondano juga digunakan oleh PLN setempat sebagai pembangkit listrik untuk kampung ini. Latif mengatakan jika banjir kali ini merupakan banjir paling parah yang dialami oleh warga Kelurahan Paal 4. Hal senada juga diungkapkan oleh Antonette (58). Antonette memiliki 9 anak, dan 2 orang diantaranya sudah meninggal. Rumahnya yang terletak di Kelurahan Paal IV, Kecamatan Tikala, Kampung Malvina, Manado, terendam banjir cukup parah. Antonette yang bertempat tinggal persis di pinggir aliran sungai, tidak menduga banjir akan meninggi hingga mendekati atap rumahnya. "Awalnya banjir hanya di sepanjang aliran sungai, karena dari rumah kita bisa lihat rumah-rumah kampung di bawah hanyut dibawa air, tetapi pelan-pelan air makin naik hingga hampir mencapai atap rumah. Kami pun langsung keluar rumah mengungsi tanpa sempat mengambil barang apa pun," jelas Antonette. Meskipun harta benda hanyut dibawa air, Antonette tetap memanjatkan syukur karena mereka sekeluarga dapat mengungsi di saat yang tepat. "Beruntung ada teman-teman dari gereja dan ada Yayasan Buddha Tzu Chi yang memberikan angkong dan sekop, sehingga kami bisa mengeruk lumpur keluar," ucapnya penuh syukur. "Saya tidak akan menyalahkan siapa-siapa dalam bencana ini, karena ini adalah rencana Tuhan. Kita hanya bisa mengambil hikmah, contohnya banyak anak-anak yang tidak tinggal bersama orang tuanya, bisa berkumpul bersama untuk merapikan rumah mereka. Lalu antar umat beragama saling membantu seperti yang dilakukan Yayasan Buddha Tzu Chi kepada kami. Saya sangat bersyukur, semoga Tuhan memberkati," ungkapnya. Antonette pun berujar, "Torang Samua Basaudara (Kita semua adalah bersaudara) karena kita tinggal di atas bumi dan di bawah langit yang sama." | |||
Artikel Terkait
Belajar Memilah Sampah
04 Maret 2011 Tzu Chi mengadakan sosialisasi pada hari Selasa, 1 Maret 2011 dan dilanjutkan dengan mengundang para personel jajaran Kodam Jaya ke Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi di Cengkareng untuk melihat secara langsung aktivitas Posko Daur Ulang Tzu Chi Cengkareng, Jakarta Barat keesokan harinya.Menghargai dan Menggunakan Waktu Sebaik-baiknya
15 Maret 2019Gathering Anak Asuh Tim Teratai kali ini istimewa karena selain mengikuti rutinitas, para relawan bersama anak asuh secara khusus mendoakan Rodiah Shijie, semoga mendapatkan tempat yang berbahagia di alam lain.
Penyuluhan Kesehatan di SDI Nurul Iman Kamal Muara
06 Oktober 2023Sebanyak tujuh relawan komunitas He Qi Utara 2 berkunjung ke SDI Nurul Iman di Kamal Muara, Jakarta Utara, guna penyuluhan kesehatan. Secara berkala, relawan melakukan berbagai pendampingan dan pemeriksaan kesehatan di lingkungan sekolah sejak beberapa bulan sebelumnya.