Banjir Manado: Hidup "Rumah Tangga Baru"
Jurnalis : Juliana Santy, Fotografer : Anand Yahya
|
| ||
Pada posko pengobatan tersebut, saya bertemu dengan seorang bapak yang walaupun rumahnya habis terendam, namun ia nampak sangat tabah dan iklas menerimanya. Ia adalah Alfreds Kinsal. Ia mau berbagi kisah yang dialaminya dan saya juga berkesempatan melihat keadaan rumah Bapak Alfreds. Sepanjang jalan menuju rumahnya masih banyak lumpur dan sampah-sampah yang tergeletak di pinggir jalan. Dengan menggunakan sepatu bot saya berjalan mengikuti langkah Bapak Alfreds yang cukup cepat. Saat itu kaki terasa sangat sakit karena menggunakan sepatu bots, tapi saya terus berjalan karena tahu sakit yang saya rasakan jauh lebih kecil daripada yang dirasakan warga, termasuk Bapak Alfreds. Inilah kisah yang ia ceritakan kepada saya.
Keterangan :
Pada tanggal 15 pagi, saat setiap orang akan memulai aktivitas sehari-hari, terjadi hal yang membuat pagi itu menjadi berbeda bagi warga di Manado, salah satunya lingkungan Karame. Pada pukul 8 air datang dengan arus dan volume yang cepat, semakin lama semakin tinggi. Saat itu Alfreds melihat istrinya sedang memasak, lalu ia menegur istrinya karena masih tetap memasak saat banjir datang. Wilayah tersebut memang kerap kali terkena banjir jika pintu air di Danau Tondano dibuka. Tapi Alfreds menyadari banjir kali ini berbeda. Ia meminta istrinya dan anak-anaknya untuk keluar dan ia tinggal sendiri di dalam rumah untuk menumpuk barang-barang seperti baju agar dapat diselamatkan. Saat air telah surut, ia melihat rumahnya yang telah hancur berantakan, hanya tersisa kerangka luar rumah. Barang-barang yang ia coba selamatkan pun sudah habis terendam. "Sama dengan sudah ga ada rumah, mo dibikin lagi itu...capek banget," ceritanya sambil menghela nafas. "Hidup (seperti menjadi) rumah tangga baru. Macam begini kan rumah tangga baru, harus membeli perlengkapan, baju, dan lainnya. Hidup dari bawah lagi, cari baru," tambahnya.
Keterangan :
Jika terjadi banjir rumahnya memang kerap terkena juga, tapi ini adalah banjir yang paling parah yang pernah ia rasakan. Sudah sejak lahir ia tinggal di rumah tersebut. Rumah dari orang tuanya sejak tahun 1932, hingga kini ia sudah memiliki cucu, ia juga masih tinggal di sana. Rumah itu adalah tempat yang telah melindungi 4 generasi keluarganya. Sehari-hari Alfreds bekerja sebagai sopir oplet, dalam seminggu ia hanya 3 hari bekerja. Semua hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarganya. Ia tidak mau menggantungkan pendapatan kepada anaknya. Karenanya, walaupun telah berusia 61 tahun, ia memilih tetap bekerja, karena ia tahu pendapatan anaknya takkan mencukupi, mengingat anaknya juga sudah memiliki keluarga. "Hidup sekarang susah...," ucapnya sambil tertawa tabah. Walaupun ia merasa hidup sekarang susah, tapi ia tidak putus asa karena banjir yang telah menghancurkan rumahnya. "Mau gimana, itu kan kuasa Tuhan, yang penting sehat dan bisa kembali mencari makan (bekerja). Kalau memang dikasih begitu mau apa? Mau melawan? Ada orang bangun dari tempat tidur ga bisa, makan ga bisa, ini saya bisa jalan, bisa cari makan," ucapnya ikhlas dan bersyukur dengan keadaannya saat ini. Baju yang dipakai di tubuhnya sebelum banjir melanda menjadi baju yang sampai saat ini ia kenakan. Selama beberapa hari belum mengganti pakaian, menumpang tidur seadanya di rumah keluarganya yang lain tapi ia tetap dipenuhi rasa syukur karena keselamatan dan kesehatan yang ia dapatkan. Entah berapa banyak manusia yang bisa hidup penuh syukur walaupun terkena bencana sepertinya, sosok manusia yang menyadari bahwa berkah adalah saat dirinya dapat hidup dengan sehat dan bahagia bersama keluarga.
| |||