Banjir Manado: "Menyamakan Frekuensi di Manado"

Jurnalis : Nining Tanuria (Tzu Chi Biak), Fotografer : Metta Wulandari dan Teddy Lianto
 
 

foto
Kehadiran relawan memberi ketenangan dan kedamaian bagi para korban banjir bandang di Manado.

 

"Suatu hari, kita hanya akan menjadi memori bagi sebagian orang. Sebab itu lakukanlah yang terbaik untuk menjadi orang baik."

 

 

Quotes tersebut saya dapatkan dari sebuah gambar di BBM (Blackberry Messenger), dengan adegan seorang pria kulit putih menundukkan tubuhnya untuk memberikan sandal kepada seseorang berpakaian compang-camping.  Si penerima, seorang wanita kulit berwarna, menangis sembari menutup wajahnya menerima uluran tangan tersebut.

Saya menyukai gambar tersebut karena kesederhanaannya. Namun menceritakan banyak hal. Tentang perbedaan warna kulit, suku bangsa, dan latar belakang ekonomi. Hanya memberikan sepasang sandal yang juga mungkin bukan sesuatu yang baru atau mewah. Namun ketulusan yang terpancar, mampu menyentuh hati sang penerima bantuan. 

Gambar tersebut juga membuat saya tergelitik dengan ungkapan "...lakukanlah yang terbaik untuk menjadi orang baik."  Betapa kita pun harus berusaha yang terbaik untuk menjadi seseorang yang baik. Kenapa sih harus yang terbaik? Bukannya baik ya baik saja? Begitu sulitkah untuk menjadi "orang baik" ?

Peristiwa banjir bandang di Manado tanggal 15 Januari 2014, menyisakan banyak cerita. Khususnya bagi masyarakat yang menerima bantuan dari Yayasan Buddha Tzu Chi, dan bagi para relawan yang terlibat di dalamnya. Harus diakui, kerusakan dan penderitaan yang ditimbulkan oleh bencana alam tersebut bukanlah hal yang mudah dipulihkan. Butuh lebih daripada sekadar bantuan material untuk memulihkan keadaan di sana, baik secara fisik maupun batin.

foto  foto

Keterangan :

  • Memberi dengan penuh rasa hormat, dan menerima dengan penuh sukacita. Sebuah ikatan persaudaraan terajut dari hati yang paling dalam.(kiri).
  • Para relawan yang datang berasal dari berbagai suku, ras, dan agama. Mereka dipersatukan oleh rasa kemanusiaan yang sama. (kanan).

Yayasan Buddha Tzu Chi bukanlah satu-satunya pemberi bantuan di Manado. Kita bisa lihat di lapangan, betapa banyaknya pihak-pihak yang datang dengan berbagai bentuk bantuan. Mulai dari makanan, minuman, kebutuhan darurat, dan alat berat, sudah banyak diterjunkan. Dari berbagai instansi baik pemerintah maupun swasta, lembaga keagamaan, kelompok-kelompok masyarakat, bahkan kelompok politik pun turut serta menunjukkan kepedulian terhadap bencana ini. Apapun bentuk dan motivasinya, tentu semua ini harus diapresiasi, karena tidak semua orang dapat bersumbangsih seperti ini. Lalu apa yang membuat kehadiran Tzu Chi di Manado membawa warna yang berbeda?

Master Cheng Yen selalu berpesan untuk kita memeriksa hati dan batin kita. Betapa ketulusan dan keikhlasan di zaman ini merupakan sesuatu yang langka, namun tidak mustahil. Dengan adanya pelatihan diri secara terus menerus menuju batin yang lebih bersih, tentunya kita semakin lama akan semakin peka. Hati yang bersih akan memancarkan ketulusan dengan sendirinya. Hal ini menjadi jawaban dari pertanyaan di atas, bahwa untuk menjadi orang baik, kita harus berusaha yang terbaik. Terbaik dalam tindakan, terbaik dalam ketulusan hati.

Saya teringat sharing seorang Shixiong di Manado, bahwa ketika kita memberikan bantuan, kita perlu menyamakan frekuensi dengan penerima bantuan. Dengan cara seperti itu, barulah kita dapat menyentuh hati masyarakat. Analogi ini sangat menarik dan benar-benar sesuai untuk kita sebagai relawan bencana. 

fotofoto  

Keterangan :

  • Dari berbagai instansi, baik pemerintah maupun swasta, lembaga keagamaan, kelompok-kelompok masyarakat, bahkan kelompok politik pun turut serta menunjukkan kepedulian terhadap bencana ini (kiri).
  • Memberi bantuan tanpa memandang perbedaan suku, ras, dan agama (kanan).

Kita perlu menyetel ke frekuensi yang tepat, jika kita ingin mengerti isi sebuah siaran televisi maupun radio. Kita harus berada di frekuensi yang sama untuk dapat terhubung melalui walkie-talkie. Begitulah caranya kita dapat saling mendengar, berbicara, dan saling memahami. Demikian pula ketika kita hadir sebagai "pemberi bantuan". Banyak orang yang datang dengan persepsi bahwa pemberi bantuan berada di atas, penerima bantuan adalah orang yang membutuhkan. Pandangan seperti ini akan meyulitkan kita untuk dapat masuk ke frekuensi yang sama. Kita perlu sadar bahwa baik pemberi maupun penerima bantuan, sama-sama merupakan insan yang istimewa, yang saling membutuhkan. Itulah sebabnya budaya humanis di Tzu Chi selalu mengajarkan kita untuk Gan En pada penerima bantuan. Ada ungkapan syukur, ada kerendahan hati, ada kesadaran penuh bahwa adanya jalinan jodoh baik sebagai pemberi atau penerima bantuan, semata-mata karena anugerah Yang Maha Kuasa. Bukan karena kehebatan atau kekayaan, bukan pula karena yang satu lebih baik daripada yang lain.

Bersatu Hati Membantu Korban Bencana

"Bersikap rendah hati berarti mengecilkan diri sehingga dapat masuk ke dalam mata dan telinga orang lain tanpa menyakitinya, dan juga harus meninggalkan kesan di dalam hatinya." (Kata Perenungan Master Cheng Yen)

Sungguh bahagia melihat banyak orang yang mau keluar dari kungkungan tembok-tembok wihara, masjid, gereja, pura, untuk bersatu hati mengecilkan diri dalam memberikan bantuan. Para karyawan kantor keluar dari belakang meja untuk membantu membersihkan jalanan. Kepedulian yang tidak hanya ditunjukkan melalui perkataan, namun juga tindakan nyata. Bukan hanya sekedar membagikan bantuan, tapi bersama-sama bekerja, berinteraksi dan merendahkan hati di depan masyarakat Manado. Tidak merasa diri lebih baik dari yang lain. Secara tidak langsung, relawan telah mulai menyamakan frekuensinya dengan masyarakat di Manado. 

foto  foto

Keterangan :

  • Membangkitkan kembali semangat untuk menata kembali kehidupan warga korban bencana menjadi tujuan dari kehadiran para relawan (kiri).
  • Cinta kasih yang disemai perlu dipupuk agar menjadi ladang kebajikan yang besar. Melalui celengan bambu, para warga dapat turut bersumbangsih membantu sesama yang membutuhkan (kanan).

Tidak ada sesuatu yang sia-sia jika dilakukan dengan kesungguhan hati. Respon masyarakat terhadap kehadiran relawan, membuktikan bahwa "menyamakan frekuensi" sungguh merupakan cara yang tepat untuk menyebarkan bibit kebajikan dan ketulusan. Segala perbedaan dapat terhubung hanya dengan satu frekuensi universal: cinta kasih. Sungguh kita patut bersyukur karena Tuhan sudah menaruhkan benih tersebut dalam hati kita, sehingga dapat disebarkan bagi umat-Nya tanpa melihat berbagai perbedaan yang ada. 

Biarlah slogan dari filosofi Dr. Sam Ratulangi "Si Tou Timou Tumou Tou" itu tetap hidup di hati masyarakat Manado. Manusia bisa disebut manusia, jika ia hidup memanusiakan manusia lainnya. Sederhananya, marilah kita hidup menjadi berkat bagi orang lain, membuat frekuensi kita selalu sama.

Sama sebagai sesama manusia. 
Sama berbahasa cinta kasih. 
Sama melakukan yang terbaik… dan Tuhan yang akan memberkati.   

  
 

Artikel Terkait

Belajar Menyuarakan Kebaikan

Belajar Menyuarakan Kebaikan

31 Juli 2023

Master of Ceremony atau MC adalah sebutan untuk seorang pembicara yang mengontrol atau mengatur jalannya suatu acara, baik acara formal maupun nonformal. Tzu Chi Medan pun pada Minggu, 23 Juli 2023 mengadakan kelas MC supaya semakin banyak relawan yang bisa menjadi MC di acara-acara Tzu Chi.

Betapa Tulusnya Perhatian Relawan kepada Para Lansia

Betapa Tulusnya Perhatian Relawan kepada Para Lansia

25 April 2024

Para relawan Tzu Chi Sinar Mas di Xie Li Indragiri secara rutin mengunjungi (memberi perhatian) kepada  keluarga Mbah Murdi dan Mbah Muminem di Desa Suka Mandiri, Bagan Jaya, Enok, Indragiri Hilir, Riau.

Berbagi Kasih di Bulan Ramadhan

Berbagi Kasih di Bulan Ramadhan

20 Mei 2020

Sabtu, tanggal 16 Mei 2020, Tzu Chi Batam membagikan parsel lebaran kepada warga sekitar Aula Jing Si Batam yang terdampak oleh wabah virus corona. Terdapat 123 keluarga yang menerima parsel lebaran yang berisi sembako ini.

Kita hendaknya bisa menyadari, menghargai, dan terus menanam berkah.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -