Bantuan Kemanusiaan di Masa Awal (1993-1998)
Jurnalis : Tim Redaksi (dari catatan dok. Tzu Chi Indonesia), Fotografer : Dok. Tzu Chi Indonesia"Pada masa awal hanya ada kami beberapa ibu rumah tangga dari Taiwan, ada keterbatasan bahasa. Namun, walau hanya mengandalkan bahasa isyarat tetap dapat menjalankan Tzu Chi. Saat pertama kali melakukan bantuan bencana besar, banyak hal yang tidak dimengerti, yang saya lakukan adalah rajin-rajin menelepon, ada pertanyaan apa langsung menelepon shifu di Hualien, jadi guru kita sebenarnya ada di Hualien."
(Liu Su Mei, Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia)
Tahun 1990-an investasi dari Taiwan yang masuk ke Indonesia cukup besar. Ini terkait dengan salah satu kebijakan Pemerintah Indonesia yang menandatangani perjanjian investasi pada tahun 1990. Dampaknya, para pengusaha asal Taiwan yang memang membutuhkan tempat untuk mengembangkan bisnisnya menjadikan Indonesia sebagai salah satu tujuan utama investasi mereka.
Para pengusaha Taiwan ini juga banyak yang membawa serta istri dan keluarganya ke Indonesia. Dari sini, bukan hanya investasi yang masuk ke Indonesia, namun juga Tzu Chi.
Kesederhanaan, kebersamaan, dan kekeluargaan yang kental, atmosfir inilah yang menaungi kehadiran Tzu Chi di Indonesia. Berawal dari kegiatan para istri pengusaha Taiwan di Indonesia, perlahan-lahan berkembang menjadi sebuah kegiatan kemanusiaan.
Seiring berjalannya waktu, para ibu ini kemudian melihat dan menyaksikan penderitaan di sekitar mereka. Dari sini kemudian terpikir untuk berbuat sesuatu untuk masyarakat Indonesia. Simpul ini pun semakin erat seiring tekad mereka untuk mendirikan Tzu Chi di Indonesia.
Tahun 1993 menjadi awal benih Tzu Chi tumbuh di Indonesia. Adalah Liang Cheung, seorang perempuan asal Taiwan yang mendampingi suaminya bekerja di Indonesia dan juga donatur Tzu Chi Taiwan yang menjadi motor gerakan ini. Dari sini ia kemudian mengajak rekan-rekannya (para istri pengusaha Taiwan di Indonesia) untuk menjadi donatur Tzu Chi. Dari menyumbang dana, ibu-ibu ini pun mulai melakukan aktivitas sosial sederhana seperti berkunjung ke panti jompo dan panti asuhan.
Salah satu kegiatan pertama Tzu Chi Indonesia adalah bantuan sembako untuk anak-anak jalanan yang dibina oleh Yayasan Kampus Diakoneia Modern yang berlokasi di Jati Ranggon, Bekasi. Liang Cheung (kaus biru tua), merupakan benih pertama Tzu Chi di Indonesia.
Di tengah keterbatasan tenaga dan bahasa, ibu-ibu rumah tangga relawan Tzu Chi ini terus bersumbangsih kepada masyarakat. Aktivitas sosial yang dilakukan saat itu pelan-pelan memiliki pola: bantuan rutin dan jangka panjang. Kegiatan yang dilakukan secara rutin setiap bulan meliputi kunjungan kasih ke panti jompo, panti asuhan, panti kusta, dan kunjungan kasih. Dalam perjalanannya, bantuan yang diberikan juga semakin bervariatif.
Salah satu panti yang mendapatkan perhatian adalah Yayasan Daya Wanita (Kowani) Jakarta. Selain kunjungan kasih dan pemberian perhatian, di panti ini relawan juga membantu memperbaiki lantai panti yang sudah usang, kusam, dan licin. Kondisi ini sangat membahayakan para penghuni panti.
Kunjungan ke panti ini terus berlanjut. Salah satu kunjungan dilakukan tanggal 12 Juli 1995. Itu adalah musim liburan sekolah, dimana mayoritas orang tua mengajak anak-anak mereka pulang ke Taiwan. Maka, kali itu hanya tiga relawan Tzu Chi: Mei Ling, Liu Su Mei, dan Chun Ying yang mengunjungi panti ini, padahal biasanya ada lebih dari 10 relawan. Banyak penghuni panti yang menanyakan absennya relawan lainnya. Ikatan batin memang terjalin kuat antara penghuni panti dan relawan, bahkan tak sedikit yang hafal dengan nama-nama relawan.
Dalam setiap kunjungan, wajah-wajah ceria terus hadir di sepanjang acara, seolah lepasnya kerinduan orang tua yang dikunjungi anak-anaknya. Ada pelajaran berharga yang diperoleh para relawan dari kegiatan ini bahwa kesepian adalah hal yang paling menakutkan bagi para orang tua di masa senjanya. Dan tempat terbaik bagi para orang tua adalah tinggal bersama anak-anak dan keluarganya.
Kunjungan rutin ke Panti Werdha Wisma Mulia. Melihat kondisi panti yang kurang nyaman, di tahun 1995 para ibu relawan Tzu Chi menyumbang lantai keramik dan membantu biaya pembangunan teras di sana, berharap lingkungan tempat tinggal para kakek dan nenek menjadi lebih nyaman.
Perhatian Untuk Anak Bangsa
Para relawan yang saat itu rata-rata warga negara asing, melihat realitas kehidupan masyarakat Indonesia, dan kemudian mengulurkan bantuan. Salah satunya dengan memberi perhatian kepada para murid di Sekolah Dasar Negeri Jembatan Baru, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Kondisi sekolah ini menyedot perhatian para relawan. “Mengapa anak-anak bisa belajar dalam kondisi seperti itu, sungguh beruntung anak-anak kita bisa belajar dan mendapatkan pendidikan di sekolah yang lebih baik (Taipei School),” kata Lin Huizhu saat mengunjungi sekolah ini pada 4 Juli 1996.
SDN Jembatan baru berada di lingkungan pemukiman warga yang padat. Lokasinya tidak jauh dari Taipei School. Bangunannya terdiri dari 6 ruang kelas, kantor, dan gudang. Ruang kelas dibangun dari papan kayu dan beton yang lusuh. Posisinya lebih rendah daripada jalan, hingga kotor dan berdebu. Muridnya ada 267 orang, dengan 6 guru. Sebagian besar siswa berasal dari keluarga kurang mampu. Uang sekolah per bulan adalah 5.000 rupiah (sekitar NT $ 63). Meskipun biaya sekolah cukup murah, nyatanya banyak siswa yang menunggak dan akhirnya putus sekolah. Mulai Oktober 1994, relawan Tzu Chi memberikan beasiswa bagi siswa kurang mampu. Dan juga memberikan bantuan alat-alat kebersihan, perlengkapan di ruang guru, dan memberikan hadiah kepada murid-murid berprestasi.
Tahun 1995, tepatnya 12 Juli, SDN Jembatan Baru mengalami kerusakan akibat banjir. Maka Tzu Chi memberikan bantuan fisik untuk perbaikan gedung dan fasilitasnya. Ruang kelas diperbaiki, lampu-lampu diperbarui, dan papan tulis pun lebih terang dengan penerangan yang lebih sempurna. Perbaikan dan kebersihan sekolah menjadi prioritas utama tahun ini. Setelah membersihkan dan mengeringkan lantai, renovasi gedung sekolah pun dimulai. Pembangunan dilakukan di saat liburan panjang sekolah sehingga tidak mengganggu kegiatan belajar mengajar.
Sekolah Dasar Jembatan Baru lokasinya berdekatan dengan Taipei School, sama-sama di wilayah Kelapa Gading, Jakarta Utara, namun kondisinya bertolak belakang. Tzu Chi memberikan bingkisan alat tulis sekolah untuk semua siswa serta beasiwa untuk siswa-siswi yang berprestasi.
Masa itu, selain mengandalkan dana sumbangan dari para anggota dan donatur, relawan Tzu Chi juga menggalang dana lewat bazar. Salah satunya dilakukan di Taipei School pada 23 Mei 1994. Sebagian hasil bazar ini disumbangkan untuk membeli kebutuhan sekolah (SDN Jembatan Baru), seperti dispenser air dan kebutuhan lainnya.
Anak-anak yang dulu pemalu kini menjadi lebih akrab, ceria, dan ramah. Ketulusan adalah sarana komunikasi yang paling efektif, melampaui sekat-sekat perbedaan. Setiap kali relawan datang anak-anak ini akan menyambutnya. Bahkan mereka mencoba menyapa dalam bahasa Indonesia, seperti, “Bagaimana kabar, Bibi? Terima kasih. Bibi, Selamat tinggal.”
Para relawan yang berasal dari Taiwan membawa
serta anak-anak mereka mengunjungi 2 panti asuhan di daerah Bekasi, Jawa Barat.
Kedua panti itu adalah Panti Asuhan Ibnu Ajhari dan Panti Asuhan An-Nuur.
Para ibu rumah tangga, relawan Tzu Chi sudah menjalin kontak kerja sama dengan Kementerian Sosial sejak tahun 1994. Saat itu, mereka memberikan bantuan berupa lampu petromaks untuk warga korban tsunami di Banyuwangi, Jawa Timur.