Banyak Jalan Menuju Roma
Jurnalis : Juniwati Huang (He Qi Utara), Fotografer : Momo Maswedji Diskusi bedah buku yang dipandu oleh Posan kali ini membahas tentang buku karangan Master Cheng Yen, 'Sanubari Teduh Jilid I'. | Pepatah yang begitu terkenal tersebut menyiratkan makna bahwa ada banyak pilihan cara yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan kita. Tentunya tujuan yang didiskusikan dalam bedah buku pada Kamis, 14 Mei 2009 lalu di Jing-Si Pluit, Jakarta Utara bukanlah untuk tiba di Roma (Italia), melainkan pencerahan. |
Banyak Cara Melatih Diri Diawali dengan cerita pengalaman pribadinya dalam pencarian spiritual dari Srilanka, Thailand, sampai dengan berjodoh dengan Tzu Chi, Agus Hartono Shixiongsaat ini meyakini pentingnya konsep “Engaged Buddhism”, bahwa Buddha Dharma seharusnya diterapkan secara praktis melalui sumbangsih dalam masyarakat, sebagaimana yang salah satunya dikerjakan melalui Tzu Chi. Dalam Buddha Dharma ada yang dinamakan jalan mulia beruas delapan yaitu sila (perkataan benar, perbuatan benar, penghidupan benar), samadhi (usaha benar, konsentrasi benar, perhatian benar), dan panna (pandangan benar, kehendak benar). Jalan tersebut adalah cara yang dapat dipraktekkan bagi seseorang untuk mencapai pencerahan. Selaras dengannya, 8 kelopak teratai yang terdapat dalam logo Tzu Chi melambangkan 8 jejak langkah Tzu Chi: misi amal, kesehatan, pendidikan, budaya kemanusiaan, pelestarian lingkungan, bantuan internasional, donor sumsum tulang, dan relawan komunitas. ”Dalam Tzu Chi, kita dapat menyesuaikan diri dengan bidang yang menjadi kekuatan kita, bila kita kuat di bidang kesehatan misalnya, kita dapat melatih diri di bidang kesehatan. Sehingga banyak pilihan cara untuk melatih diri di Tzu Chi,” ungkap Agus yang saat ini menjabat sebagai pemimpin redaksi majalah Dunia Tzu Chi, menjelaskan relevansinya. Perbedaan karakter dan kemampuan setiap orang dalam memahami kebenaran membuat berbagai alternatif cara tersebut dibutuhkan. Dalam hal ini Buddha Dharma bukanlah monopoli umat beragama Buddha. Buddha sebagai “Yang Telah Sadar” dan “Tercerahkan” memiliki visi untuk membebaskan semua makhluk dari penderitaan. Visi Master Cheng Yen untuk (1) menyucikan hati manusia, (2) mewujudkan masyarakat damai sejahtera, dan (3) mewujudkan dunia yang terhindar dari bencana juga selaras dengan visi Buddha. Oleh karenanya, siapapun tanpa memandang latar belakang ras, agama, suku bangsa, yang mendukung visi tersebut dapat sejalan dengan Buddha Dharma. Penghalusan Budi Pekerti ”Kehalusan kita, budi pekerti kita, secara alamiah ditunjukkan dalam martabat kita, entah ketika sedang berjalan, duduk, atau berbaring. Ketika berjalan ada cara untuk berjalan. Ketika duduk, ada postur untuk duduk. Ketika berbaring, ada posisi untuk berbaring.” Di Tzu Chi, para relawan mempelajari tata krama dan disiplin Tzu Chi. Master Cheng Yen mengajarkan kita dari hal yang paling kecil. ”Jalan ada caranya, duduk ada caranya (sambil memperagakan duduk bagaikan lonceng), makan juga ada caranya. Awalnya saya merasa cara-cara itu mengekang kebebasan saya, tapi ternyata setelah diikuti hal-hal kecil itu sangat bermanfaat untuk melatih disiplin diri,” kenang Agus. ”Sebagian orang sering mengeluh bahwa mereka tidak cantik atau mereka tidak akur dengan orang lain. Sebenarnya, bergaul dengan orang lain tidak didasarkan pada penampilan kita, tetapi pada kepribadian kita. Kepribadian yang baik adalah suatu hal yang harus kita latih.” Melalui bait ini, Asien Shijie diingatkan akan pandangannya terhadap dirinya yang dulu, ”Dulu saya merasa saya bodoh, sekarang saya merasa sangat cantik dan banyak yang sayang sama saya.” Setelah berjodoh dengan Tzu Chi, Asien menyumbangkan hampir seluruh waktu dan tenaganya untuk Tzu Chi. Sifat Asien mengalami perubahan sejak mengenal Tzu Chi. ”Kebetulan saya ’pengacara’, maksudnya penggangguran banyak acara. Dulu saya merasa tidak berarti apa-apa, setiap hari nonton TV, tidur, tapi rasanya ada kekurangan dalam diri tapi tidak paham apa yang kurang. Setelah ikut kegiatan Tzu Chi, saya merasa bukannya miskin lagi, tapi kaya,” jelasnya antusias. Ket : - Agus Hartono menemukan pencarian spiritualnya di Tzu Chi setelah berkeliling ke berbagai tempat. Pengembangan Batin Bait selanjutnya mengenai 2 jenis orang yang tekun berlatih mengembangkan batin. ”Orang yang satu dipaksa oleh penderitaan hidup untuk mengembangkan Jalan guna mencari pembebasan. Orang yang lain mengembangkan batinnya karena ia telah menemukan jati dirinya, dan berbagai pengalaman serta kesulitan hidup justru membuat keyakinannya semakin kokoh.” Saat ditanya, sebagian peserta mengaku bahwa diri mereka termasuk jenis orang pertama yang mencari pembebasan akibat merasakan penderitaan. Salah seorang peserta menceritakan pengalaman pribadinya terkait bait tersebut. Sanusi Shixiong menceritakan kerugian finansial yang cukup besar saat kesepakatan bisnisnya dilanggar. Saat mengalami tekanan batin yang cukup membuatnya stres, nasehat istrinya untuk merelakan uang tersebut membuatnya tersadarkan. Kegagalan yang dialami menjadi berkah baginya karena telah membuka pintu hatinya terhadap hal lain yang jauh lebih bermakna dibandingkan materi, yaitu kedamaian batin yang dirasakan saat dirinya sudah dapat melepaskan. ”Biasanya saat roda kehidupan sedang ada di bawah, kita lebih terdorong untuk mencari pembebasan,” ungkap Agus. ”Salah satu kegiatan Tzu Chi untuk melakukan kuan huai (kunjungan kasih –red) merupakan sarana yang Master ajarkan bagi kita untuk selalu teringat akan penderitaan,” tambah Agus mengingatkan pentingnya untuk tetap sadar melatih diri saat masih berada di “atas”. Ket : - Salah seorang peserta bedah buku, Oka (memegang mik) menceritakan pengalaman spiritualnya. Dalam setiap agama, umumnya setiap umat memiliki tanah suci yang menjadi tujuannya. Bait berikutnya memberikan pemahaman baru bahwa tanah suci bukan lagi mimpi belaka bagi kita yang masih hidup. ”Berangkatlah untuk tumimbal lahir berikutnya selagi Anda masih hidup. Tanah Suci ada di sini dan saat ini. Tujuan pengembangan batin bukanlah untuk pergi ke Tanah Suci setelah kita meninggal dunia, namun untuk pergi ke Tanah Suci selagi kita masih hidup, yaitu untuk menjadi suci dan penuh welas asih dalam kehidupan kita saat ini juga.” Makna bait yang cukup mendalam ini diumpamakan dengan menarik oleh Ismail Shixoung. “Surga dan neraka jaraknya hanya 2 meter dari kita. Bila kita sedang marah besar, itulah neraka! Kalau kita sedang kerja Tzu Chi, hati kita happy, itulah surga! Maka sudah tidak perlu lagi ke Tanah Suci,” jelas Ismail dengan singkat, lugas, dan tegas, sambil disambut tepuk tangan setuju oleh para peserta. Pelatihan diri tidak terlepas dari praktek meditasi. “Saya yakin Master Cheng Yen memiliki meditasi yang kuat sehingga dapat mengatasi berbagai tantangan dan tekanan yang begitu besar dalam kehidupannya,” tegas Agus seraya menyarankan agar peserta bedah buku juga dapat melatih diri dalam bermeditasi. “Bagi mereka yang menggunakan waktu dengan baik, setiap momen adalah kesempatan yang baik untuk berlatih meditasi, entah ketika berurusan dengan orang atau masalah.” Menutup sesi bedah buku malam itu, Agus mengungkapkan perumpamaan yang dibacanya dari buku Teladan Cinta Kasih: Master Cheng Yen, bahwa diri kita bagaikan ikan dalam tangki yang berlubang. Ikan hidup selama ada air, namun air dalam tangki suatu saat akan habis dan ikan tidak dapat hidup lagi. Oleh karenanya, kita harus memanfaatkan waktu yang berharga dalam kehidupan kita untuk melatih diri. Pada akhirnya, yang dapat kita wariskan adalah kebajikan batin kita. | |
Artikel Terkait
Banjir 2020: Layanan Kesehatan dan Bantuan Logistik untuk Korban Banjir di Lebak
06 Januari 2020Akibat longsor dan banjir bandang di Lebak, Banten, 17.200 jiwa atau 4.368 kepala keluarga (KK) harus mengungsi ke lokasi yang aman. Tzu Chi Indonesia memberikan bantuan medis dan logistik untuk para pengungsi.