Bedah Buku: Menghargai Berkah

Jurnalis : Erli Tan (He Qi Utara), Fotografer : Stephen Ang (He Qi Utara)

fotoPada tanggal 19 Januari 2012, relawan He Qi Utara mengadakan acara sharing mengenai pengalaman beberapa relawan yang pergi ke Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk menyalurkan beras cinta kasih dari Taiwan.

Setiap Kamis malam pukul 19.00 WIB, kegiatan Bedah Buku di Jing Si Books & Café Pluit selalu diisi dengan pembahasan buku. Namun pada tanggal 19 Januari 2012, hari itu terasa lebih spesial karena menghadirkan beberapa relawan yang akan sharing mengenai pengalaman mereka. Bulan Desember 2011 lalu, mereka berangkat dari Jakarta ke Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk menyalurkan beras cinta kasih dari Taiwan.

 

Sebanyak 220 ton beras cinta kasih disalurkan untuk lebih dari 5000 KK di 48 desa yang tersebar di NTT. Relawan tersebut di antaranya adalah Joe Riadi Shixiong yang bertugas sebagai koordinator, selain itu ada juga Bambang Shixiong dan Hok Lay Shixiong.

Dalam sharingnya, Joe Riadi atau yang lebih akrab dipanggil A Yau Shixiong ini menuturkan bahwa tanah di NTT pada umumnya berupa karang dan batu-batuan sehingga sulit bagi warga setempat untuk bercocok tanam. Tanah berwarna coklat dan cukup tandus, hanya bisa ditanami jagung, dan rumput hanya akan tumbuh bila hujan turun. Selain itu, curah hujan sangat terbatas sehingga mempengaruhi hasil panen. Karena kondisi demikian, warga setempat kesulitan untuk mendapatkan pangan yang layak. Rawan pangan, itulah yang terjadi di sana. Bahkan, rata-rata warga di sana sudah tidak pernah mengkonsumsi beras selain umbi-umbian yang tidak jelas jenisnya dengan resiko keracunan.

 “Mereka (penerima bantuan) merasa sangat terharu karena bisa dikatakan sudah 20 tahun lamanya tidak melihat beras berkualitas baik seperti ini, apalagi ketika mereka tahu kita datang jauh-jauh dari Jakarta, mau memberi bantuan kepada mereka walaupun tidak kita kenal,” ujar A Yau Shixiong. Sebaliknya, A Yau Shixiong dan teman-teman juga merasa sangat salut sekaligus prihatin dengan warga setempat karena harus berjalan tiga jam lamanya untuk menjemput bantuan beras dari Tzu Chi. A Yau Shixiong juga sangat terharu dengan Pemda setempat karena semua akomodasi sudah disediakan dengan baik sekali, makanan vegetarian, dan minuman selalu dipersiapkan dengan baik, sehingga mereka dapat dengan tenang bekerja tanpa harus mengurus hal-hal seperti itu lagi.

foto    foto

Keterangan :

  • Koordinator pembagian beras, A Yau Shixiong (kemeja putih) berbagi pengalamannya selama berada di NTT (kiri).
  • Banyak pengalaman menarik yang mereka bagikan dalam acara sharing ini (kanan).

Sebagai koordinator kegiatan, A Yau Shixiong selalu bangun paling pagi, dan tidur paling akhir. Dan ternyata ia sudah pulang-pergi Jakarta-NTT sebanyak tiga kali sejak diadakan pembagian beras di sana. Hal ini cukup mengharukan dan menginspirasi relawan-relawan lain. “Walaupun masih banyak kegiatan Tzu Chi selain bagi beras, A Yau Shixiong masih bisa menyempatkan diri berangkat ke NTT hingga tiga kali. Ketika di NTT, beliau bangun paling pagi, membangunkan yang lain, menyapu dan mengepel lantai setiap pagi,” tutur Bambang Shixiong. Seringkali Bambang Shixiong mau merebut alat sapu dan pel dengan maksud mengambil pekerjaan itu, tapi satu kali pun tidak pernah berhasil. “Beliau tidak pernah mengeluh, selalu bekerja dengan penuh tanggung jawab, merupakan contoh dan teladan bagi yang lain,” ujar Bambang Shixiong merasa kagum pada A Yau Shixiong.

Belajar Melepas
Waktu terus bergulir, sharing dari relawan-relawan yang menyalurkan bantuan beras ke NTT ini terasa makin menarik saja. Tidak ketinggalan Hok Lay Shixiong juga menceritakan kesannya ketika di sana, “Orang-orang di pedesaan hidupnya lebih sederhana. Berbeda dengan orang di perkotaan, orang pedesaan lebih lugu, kalau diberi beras maka diterima saja, kalaupun tidak mendapat jatah juga tidak menuntut apa-apa.” Hok Lay Shixiong merasa orang di pedesaan memiliki rasa solidaritas yang lebih tinggi dibanding orang perkotaan, orang pedesaan cenderung lebih bersedia berbagi dengan sesama dan tidak serakah.

Menurut Hok Lay Shixiong, dengan mengikuti kegiatan bagi beras yang jauh dari Jakarta, tentu semua urusan di Jakarta harus ditinggalkan untuk sementara. Selain itu juga harus mengeluarkan biaya transportasi sendiri, tiba di lokasi harus berhadapan dengan fasilitas yang sangat minim, terutama sinyal telepon selular yang sangat terbatas. Bagi orang yang sudah terbiasa hidup di perkotaan tentu merasa sangat tidak nyaman walaupun hanya beberapa hari. “Ini adalah salah satu cara melepas. Saya ke sana sedang belajar melepas. Seringkali di sana tidak ada sinyal telepon, salut kepada A Yau Shixiong yang bisa selama itu di NTT, tiga kali bolak balik. Saya sendiri hanya delapan hari aja udah merasa banyak yang hilang,” tuturnya sambil tertawa ringan.

foto  foto

Keterangan :

  • Hok Lay Shixiong merasa sangat bersyukur bisa bergabung di Tzu Chi, bertemu dengan sesama relawan, banyak yang bisa dipelajari, dirasakan, dan direnungkan (kiri).
  • kisah menarik mengenai masyarakat pedesaan yang memiliki rasa solidaritas yang lebih tinggi dibanding masyarakat perkotaan dapat menjadi inspirasi bagi setiap orang (kanan).

“Dari melakukan, mengerjakan, merasakan, kemudian barulah memahami. Ibarat kita misalnya punya resep makanan vegetarian, tapi tidak pernah dimasak, maka kita tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya.” Sama halnya dengan melakukan kegiatan Tzu Chi, bila kita hanya mendengar tapi tidak pernah kita praktikkan, maka kita tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya. Hok Lay Shixiong merasa sangat bersyukur bisa bergabung di Tzu Chi, bertemu dengan sesama relawan, banyak yang bisa dipelajari, dirasakan, dan direnungkan. Semuanya adalah pengalaman yang sangat berharga.

“Dalam setiap perjalanan pasti ada ketidakcocokkan, dari itu kita belajar bertoleransi untuk menerima pendapat orang lain. Juga belajar mengenali timbulnya kesadaran, emosi, dan perasaan. Ketika ikut kegiatan, kita sebenarnya sedang belajar. Dalam satu situasi atau kondisi tertentu, kita belajar merelakan, belajar tidak menaruh curiga, dan melatih kebijaksanaan kita. Seperti ucapan Master Cheng Yen ‘Tidak ada orang yang tidak saya percayai’. Bila saya memberi, tapi orang lain mau menipu atau mau menyimpang, itu adalah urusan mereka, karma masing-masing. Jangan ada rasa curiga ini atau curiga itu terhadap orang lain. Di sini kita belajar bagaimana menjaga hati kita tetap tenang,” ujar Hok Lay Shixiong, memukau setiap peserta yang datang dan mendengar karena mendapat manfaat yang sangat berharga dari sharing-nya.

Di akhir sharing, A Yau Shixiong merasa sangat senang bisa bersumbangsih dan menyalurkan bantuan ke NTT. A Yau Shixiong juga berharap makin banyak relawan yang mau bergabung untuk menebarkan cinta kasih kepada sesama. Sebagai penutup, Po San Shixiong berpendapat, “Orang-orang yang bergabung di Tzu Chi adalah orang yang sangat beruntung, bisa mengunjungi daerah yang belum pernah dikunjungi, menikmati keindahan alam yang masih natural. Setiap perjalanan merupakan pengalaman yang sangat berharga. Para relawan yang berangkat ke NTT jauh-jauh dari Jakarta dengan biaya sendiri, dan berbagi kasih dengan warga setempat adalah orang-orang yang bijaksana karena sanggup mengubah berkah materi (uang) yang tidak kekal menjadi berkah abadi (karma) yang bisa dibawa untuk selamanya.” Bisa menyadari adanya berkah (zhi fu), kemudian menghargai berkah (xi fu), dan menciptakan berkah kembali (zai zao fu), itulah berkah utama.


Artikel Terkait

Berbakti Kepada Orang Tua, Sekaranglah Saatnya

Berbakti Kepada Orang Tua, Sekaranglah Saatnya

08 Juli 2015

KKPK dengan tema "Hari Ibu”  rutin dilaksanakan setiap tahunnya, dengan harapan baik para relawan maupun para Gan En Hu (penerima bantuan) memiliki kesempatan menunjukkan baktinya pada orang tua khususnya kepada Ibu.

Syukuran 10 tahun Depo Pelestarian Lingkungan Titikuning

Syukuran 10 tahun Depo Pelestarian Lingkungan Titikuning

04 November 2022

Relawan Tzu Chi Medan komunitas Hu Ai Titikuning Medan mengadakan syukuran 10 tahun Depo pelestarian lingkungan Titikuning.

Gunakanlah waktu dengan baik, karena ia terus berlalu tanpa kita sadari.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -