Bedah Rumah Pademangan Barat: Kenangan Tentang Rumah Kolam
Jurnalis : Willy, Fotografer : Anand Yahya, Metta Wulandari, WillyMeski hujan tak sedang mengguyur, rumah nomor 37 RT 04 RW 12 Kelurahan Pademangan Barat, Jakarta Utara ini selalu tergenang air setinggi 30-40 cm. Penyebabnya, ketinggian rumah milik pria bernama Sugiyono ini lebih rendah dari pada badan jalan. “Sejak tahun 2000 rumah ini terendam air,” cerita pria yang telah tinggal di rumah itu sejak tahun 1995 itu. Tak ayal, Sugiyono dan adiknya, Sugiarto membiasakan diri tinggal di rumah yang selalu tergenang air itu.
“Tapi terkadang juga saya tidur di tempat kerja atau di rumah paman saya,” kenang Sugiyono. Air yang terendam tak merisaukannya untuk tetap tinggal di rumahnya itu. Selain itu, seiring waktu, air yang merendam rumah itu bertambah keruh dan kotor sehingga mengeluarkan aroma yang tak sedap.
Rumah dengan luas 38 meter persegi itu merupakan warisan dari ayah mereka. Beberapa kali tercetus gagasan untuk menjual rumah tersebut. Gagasan itu datang dari ibu mereka yang tinggal di Pacitan, Jawa Timur. Pasalnya, penghasilan Sugiono dan Sugiarto pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. “Tapi, saya bilang jangan dijual,” ungkap Sugiyono yang optimis bahwa suatu hari akan dapat memperbaiki rumahnya itu.
Bertahun-tahun terendam air, lantai rumah Sugiyono berubah bak dasar kali, tidak rata dan berbatu. Sementara air yang merendam rumah ini bertambah keruh menjadi hitam. Apalagi setiap kali musim hujan datang. Guyuran air menambah tinggi air di dalam rumah Sugiyono. Sesekali terlihat beberapa sampah yang ikut hanyut beriringan dengan meningginya air.
Kondisi rumah nomor 37 RT 04 RW 12 Pademangan Barat ini selalu terendam banjir meski tak ada hujan yang mengguyur. Hal ini disebabkan ketinggian rumah yang lebih rendah dari pada badan jalan.
Sugiyono menceritakan bahwa rumahnya telah terendam air sejak tahun 2000. Seiring waktu air bertambah keruh dan kotor sehingga menimbulkan aroma yang tidak sedap.
Bak gayung bersambut, Sugiono dan adiknya Sugiarto bertemu Yayasan Buddha Tzu Chi yang tengah melakukan bebenah rumah di wilayah Pademangan Barat. Tepatnya tahun 2007, Sugiyono mendapatkan informasi adanya Program Bebenah Rumah di kelurahannya. Namun, waktu itu surat-surat kepemilikannya belum lengkap. Dia urung mendaftarkan rumahnya.
“Surat-suratnya waktu itu ada di kampung,” ujar Sugiyono.
Memang, jika sudah jodoh, tak akan lari ke mana. Pada bebenah rumah gelombang selanjutnya di tahun 2015, Sugiyono mendaftarkan rumahnya dalam Program Bebenah Rumah Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. Setelah melalui proses survei, permohonan bantuan bedah rumah Sugiyono diterima bersama dengan lima rumah lainnya di kelurahan yang sama. Rumahnya menjalani pembongkaran pada 23 Oktober 2015.
Kini, Rumah Kolam Itu Tinggal Kenangan
Sementara hujan mengguyur seluruh wilayah Jakarta pada Sabtu, 23 Januari 2016, Sugiyono tidur dengan nyenyak di rumahnya. Dia tak lagi risau hujan akan menambah ketinggian air di dalam rumahnya. Rumah kolam Sugiyono hanya tinggal kenangan. Setelah dibedah, rumah Sugiyono nampak apik. Ketinggiannya teras rumahnya kini juga rata dengan badan jalan.
“Sudah sejak Jumat malam tidur di sini,” tutur Sugiyono sembari tersenyum.
Tak ada yang sama dari rumahnya dulu. Tembok yang dulu penuh bekas genangan air kini berbalutkan cat putih. Kamar mandi dan kamar kecil juga dibangun ulang dengan rapi. “Senang dengan selesainya pembangunan,” ungkapnya lagi.
Dia bertekad tidak akan menjual rumah peninggalan almarhum ayahnya itu. “Sayang kalau dijual. Ini peninggalan abah (ayah –red),” pungkasnya.
Pada 23 Oktober 2015 silam, Tzu Chi mulai membongkar rumah Sugiyono yang menandai awal pembedahan rumah milik Sugiyono.
Sugiyono di depan rumahnya yang telah dibedah oleh Yayasan Buddha Tzu Chi. Dia bersyukur kini dapat tinggal di rumahnya tanpa perlu risau dengan air yang menggenangi rumahnya dulu.
Satu harapan yang masih dia simpan yaitu keinginannya menunjukkan rumah ini kepada ibunya yang berada di kampung sana. “Dulu kadang berkunjung. Tapi, kemarin yang ada air itu, sudah jarang,” ceritanya. Sugiyono masih sering melepas rindu dengan menelepon ibunya. “Dia juga sering nanya-nanya, ’rumah itu gimana?’ waktu lagi pembangunan itu,” ceritanya.
Menurut Sugiyono, usai pembangunan ini, adiknya, Sugiarto akan memboyong keluarganya di Pacitan ke Jakarta untuk tinggal di rumahnya. Sembari menunjukkan suasana rumah “barunya” itu, Sugiyono menghaturkan ucapan terima kasih untuk disampaikan kepada para relawan Tzu Chi. “Terima kasih sudah dibangunkan rumah. Alhamdulilah, sudah bisa ditempati. Relawannya baik-baik,” pungkas Sugiyono.