Bekal di Usia Remaja
Jurnalis : Sutar Soemithra, Fotografer : Sutar Soemithra * Untuk merayakan ulang tahun ke-57 Kopassus, pasukan elit TNI tersebut mengadakan bakti sosial kesehatan bekerja sama dengan Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia di markas besar mereka di Cijantung, Jakarta Timur. | Triatmo sebenarnya tidak terlalu merasa rendah diri walaupun bibirnya mengalami kelainan, sumbing. Rasa percaya diri pemuda 19 tahun itu agak surut karena ketika mengikuti bakti sosial kesehatan di markas besar Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD di Cijantung, Jakarta Timur, ia harus bertemu dengan banyak orang. “Kalo main ke tempat jauh malu. Kalo sama temen nggak,” jelas Triatmo. Triatmo memang tidak merasa minder jika berkumpul dengan teman-teman yang sudah dikenalnya. Namun ia minder jika berada di tengah-tengah orang yang tidak dikenalnya. Alhasil, Sabtu, 4 April 2009 itu, ia lebih banyak diam. Begitulah biasanya yang ia lakukan jika sedang tidak percaya diri. |
Triatmo ditemani oleh pamannya, Edi Tumino yang sengaja datang dari kampung di Wonogiri, Jawa Tengah. Triatmo sendiri tinggal di Tambora, Jakarta Barat. Edi Tumino lah yang mengasuh Triatmo sejak kecil. Ibunya meninggal dunia ketika melahirkan Triatmo di sebuah rumah sakit di Wonogiri. Triatmo kemudian diasuh oleh kakeknya. Setelah kakeknya meninggal dunia, Triatmo diasuh oleh Edi. Ketika saya tanyakan kenapa bukan ayahnya yang mengasuh Triatmo, Edi hanya bercerita bahwa ayah Triatmo bekerja sebagai petani. Ia enggan bercerita lebih lanjut tentang ayah Triatmo. Entah apa yang sebenarnya terjadi. Ketika umur 2 tahun, Edi membawa Triatmo untuk diperiksa bibir sumbingnya di RS Panti Waluyo Yogyakarta. “Saya sampai ngontrak 4 hari nunggu periksa, sampai kehabisan ongkos,” cerita Edi mengenang. Namun upaya tersebut belum membuahkan hasil sesuai harapan. Triatmo yang ketika itu masih lugu tidak terlalu mempermasalahkan kelainan yang ia alami. Namun itu mulai berubah ketika ia mulai tumbuh menjadi pra remaja. Ia mulai merasa minder dengan kelainan pada bibirnya ketika duduk di kelas 5 SD. Triatmo mulai berubah menjadi lebih pendiam. Ia pun lebih memilih diam jika ada orang yang mengolok-olok kelainan yang ia miliki. “Ya diam aja. Emang kenyataan. Mau diapain? Bukan salah ibu saya (atau) bapak saya yang bikin seperti ini. Ini dari lahir,” tandas Triatmo. Untungnya teman-teman mainnya baik padanya dan tidak ada yang meledeknya. Rasa minder Triatmo terus berlanjut hingga dia lulus SD, sampai-sampai Triatmo tidak mau melanjutkan ke jenjang SMP. “Saya sekolahin SD, lanjut SMP (tapi dia) gak mau,” ujar Edi. Triatmo justru ingin seperti teman-temannya, merantau ke Jakarta. Orang Wonogiri selama ini memang dikenal sering merantau ke Jakarta. “Di rumah nggak ada teman, nggak ada duit,” ia beralasan. Tapi setelah saya ajak ngobrol lebih jauh, dia akhirnya mengakui tidak mau melanjutkan ke SMP salah satunya karena minder. Akhirnya ia menyusul kakaknya yang lebih dulu merantau ke Jakarta. Awalnya ia bekerja di daerah Kapuk, Jakarta Utara. Ia tinggal di sana selama 1 tahun. Malang, kakaknya kemudian meninggal dunia karena sakit. Maka Triatmo pun akhirnya pindah tempat tinggal. Kali ini mengikuti teman-teman sekampungnya bekerja di sebuah perusahaan konveksi di daerah Jembatan Lima, Jakarta Barat. Dari bosnya juga ia mendapat informasi tentang baksos kesehatan ini pada bulan September 2008 lalu. Ia berangkat ke lokasi baksos bersama para calon pasien lain dari RSKB Cinta Kasih Cengkareng. Triatmo satu-satunya pasien bibir sumbing dalam baksos kali ini. Ket : - Triatmo kini bisa berharap tampil lebih percaya diri setelah bibir sumbing yang dideritanya dioperasi. Sejak Usai baksos, Edi kesulitan mencari taksi karena jarang sekali yang melewati lokasi baksos, sementara Triatmo menunggu di depan gedung lokasi baksos. Ia tampak lemah karena hanya dibius separuh. Akhirnya kami menawari mereka tumpangan. Wajah Edi terlihat puas melihat Triatmo telah berhasil dioperasi walaupun bibirnya masih diperban. Kami mengantar mereka sampai di Pasar Senen karena kami harus menuju kantor Tzu Chi di Mangga Dua. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan menggunakan taksi. Bisa Melihat Cucu Baksos kali ini ditujukan untuk para prajurit Kopassus dan keluarganya, masyarakat sekitar, dan juga pasien dari Tzu Chi. Para pasien dari Tzu Chi berangkat ke Cijantung dari Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi, Cengkareng dengan menggunakan bus. Taufik (69) mengikuti baksos ditemani oleh menantunya, Suhandi. Katarak yang menimpa kedua matanya tidak memungkinkannya pergi seorang diri. Hari itu mata kiri Taufik yang dioperasi. Menurut Suhandi, Taufik harus menunggu infeksi di mata kanannya yang lebih dahulu terkena katarak hilang. Selama mata kanan masih infeksi, percuma saja mata kiri dioperasi karena pasti akan tertular infeksi dari mata kanan sehingga bisa katarak kembali. Ket : - Para pasien yang akan menjalani operasi katarak berbaris rapi menunggu giliran untuk dioperasi. (kiri) Sebelum Suhandi menikahi putri Taufik tahun 1997, Taufik telah mengidap katarak. Awalnya Taufik tinggal bersama istrinya di Citayam, Bogor, Jawa Barat. Handi sering bolak-balik dari Cengkareng –tempat kontrakannya waktu itu– ke Citayam. Mertua perempuannya sering darah tinggi karena jenuh hanya berdua bersama Taufik dan tidak bisa bercengkerama dengan cucunya. Dari Suhandi, Taufik dianugerahi 4 cucu. Akhirnya pada tahun 2002, Suhandi memboyong kedua mertuanya ke rumah yang ia beli di Tangerang. Suhandi bekerja pada sebuah percetakan di Cengkareng. Taufik pernah menjalani operasi pada mata kanannya di RS Cicendo Bandung berkat bantuan biaya dari sebuah lembaga amal tahun 2002. Namun sesuatu hal yang buruk terjadi pada mata Taufik. “Menurut dokter, ternyata mata kanan terkena sesuatu sehingga pecah,” jelas Suhandi. Taufik sendiri selalu bilang matanya tidak pernah terkena apa-apa. “Mungkin tak berani ngaku,” Suhandi coba menganalisa. Akibat pecah tersebut, kornea mata kanan pecah sehingga tidak bisa lagi diperbaiki. Seminggu sekali Taufik harus berkonsultasi dengan dokter. “Sampai dokter bilang (mata Taufik) semakin parah. Akhirnya dirujuk ke (RS) Cipto,” urai Suhandi. Namun biaya operasi yang harus dikeluarkan tak sanggup dijangkau oleh Suhandi. Di saat Suhandi sedang kebingungan, untunglah ada saudara yang memberitahukan tentang baksos kesehatan Tzu Chi. Januari 2009, Suhandi mendaftarkan Taufik mengikuti baksos. Setelah menunggu 3 bulan akhirnya Taufik terdaftar sebagai salah satu peserta baksos kesehatan. Harapannya agar bisa melewatkan masa tuanya dengan bisa sepuasnya menatap cucu-cucu kesayangannya kini telah terwujud. | |