Bekal Melewati Pasca-bencana dengan Tenang
Jurnalis : Sutar Soemithra, Fotografer : Sutar Soemithra
Terik di Jogjakarta tanggal 3 Juni ini begitu menyengat. Dari pukul 07.30 pagi, saya sudah mengikuti aktivitas relawan Tzu Chi dalam bantuan kemanusiaan di Jogja. Seperti hari-hari sebelumnya, bantuan hari ini terdiri dari pembagian beras dan baksos pengobatan.
Saya ditemani Yanto, supir yang bekerja di perusahaan milik Frananto Hidayat, koordinator relawan Tzu Chi di Jogjakarta. Kami menuju Desa Krasaan, Berbah, Bantul. Di situ diadakan pembagian beras sebanyak 190 paket. Dalam waktu sekejap, beras segera habis. Lantas kami menuju Koramil Piyungan, Bantul. Di sana juga diadakan pembagian beras. Tapi ketika kami sampai di sana, pembagian beras belum dilakukan sehingga kami langsung menuju SLTP Pembangunan Piyungan yang terletak di tengah-tengah sawah. Di situ diadakan pembagian beras sebanyak 2550 paket.
Ketika mobil kami sampai di sana, calon penerima beras telah mulai berkerumun dan mulai membentuk baris antrian. Beberapa diantara mereka jongkok dan menggunakan kupon beras sebagai pelindung dari sengatan mentari. Sebagian lagi memepetkan dirinya ke tembok. Mentari memang benar-benar terik. Dua orang nenek yang berada di barisan antrian paling depan saya hampiri. Saya berbincang sebentar dengannya sambil menunggu pembagian dimulai. Sekitar pukul 11.30, pembagian beras pun dimulai. Satu persatu warga menukarkan kupon mereka dengan 20 kg beras.
Dua nenek tua tersebut, Tuginem dan Atmoprawiro, memperoleh giliran pertama. Meskipun mereka membawa kain selendang untuk menggendong beras, tetap saja mereka kedodoran sehingga saya dan Yanto segera menghampirinya dan menggendongkan berasnya. Kami mengajak mereka menuju mobil kami dan segera meletakkan dua karung beras tersebut di bagian belakang.
Tiba-tiba tiga nenek tua yang rumahnya dekat dengan mereka menghampiri kami dan mereka juga ingin berasnya kami bawakan. Akhirnya lima karung beras bertumpuk di bagian belakang mobil kami. Setelah mereka semua naik ke mobil, mobil pun mulai berjalan.
Kami baru berjalan sekitar 300 meter, mobil kami harus berhenti. Kami melihat banyak mobil parkir di pinggir jalan. Kelima nenek tua tersebut memberitahu kami bahwa jembatan di depan kami rusak sehingga tidak bisa dilewati mobil. Kelima nenek tersebut bersikeras kami tak usah lagi meneruskan mengantarkan mereka karena rumah mereka masih jauh. Tapi kami berpikir sudah kepalang tanggung sehingga kami segera menggendong beras mereka. Saya dan Yanto masing-masing memanggul satu karung beras.
Tak lama kami mulai berjalan, dua nenek tersebut dihampiri dua orang yang mengendarai motor, ternyata mereka menjemput nenek tersebut. Kedua nenek itu pun akhirnya berpisah dengan kami dengan tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada kami yang segera melanjutkan perjalanan. Beberapa meter berjalan, seorang nenek lagi dihampiri oleh penjemputnya. Mentari masih menyengat kami. Di sepanjang jalan kami melihat rumah-rumah yang ambruk sehingga menguatkan kami untuk terus memanggul beras tersebut walaupun terus terang saja pegal juga. Kami mengira tak sejauh itu. Saya dan Yanto sesekali saling tertawa kecil dibuatnya.
Di sepanjang jalan, kami juga sering berpapasan dengan orang yang hilir mudik naik motor, sepeda, ataupun jalan kaki. Beberapa di antara mereka membawa beras bantuan Tzu Chi. Beberapa lagi adalah anak-anak muda yang membawa kardus. Kardus-kardus tersebut berisi bantuan logistik yang mereka bagikan kepada para pengungsi. Di berbagai tempat memang banyak sekali orang dengan mengendarai mobil atau motor yang membagi-bagikan bantuan kepada para pengungsi. Kebanyakan berupa makanan, dan kebanyakan dari mereka adalah anak muda. Jogja terkenal sebagai kota pelajar karena memiliki banyak perguruan tinggi dengan mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Banyak diantara mereka yang menjadi relawan atau secara perorangan memberikan bantuan kepada para pengungsi.
Sudah hampir setengah jam kami berjalan, mungkin kami telah menempuh perjalanan sekitar 2 km. Bahu kami semakin terasa pegal. "Nek, rumahnya masih jauh?" saya bertanya kepada mereka. "Oh masih jauh, Nak. Di sana di bawah gunung," jawabnya. Kami pun terus berjalan. Pada sebuah gardu, mereka meminta kami untuk berhenti. "Nak, sudah sampai di sini saja. Rumah kami masih jauh, di bawah gunung sana," Tuginem memberitahu sambil menunjuk ke arah gunung. Akhirnya kami terpaksa tak meneruskan membawakan beras.
Berkali-kali mereka mengucapkan terima kasih sambil mengulurkan tangan kepada kami. Mereka bertiga, ditemani seorang dari mereka, bergegas melewati jalan setapak sambil melambaikan tangan kepada kami. Mereka masih menempuh perjalanan sekitar 500 meter untuk sampai ke rumah mereka yang hanya terbuat dari papan dan sekarang hampir roboh. Tapi setidaknya untuk dua minggu ke depan, mereka tak perlu lagi khawatir akan kekurangan beras.