Belajar Berani dan Mandiri
Jurnalis : Yusniaty (He Qi Utara), Fotografer : Yusniaty (He Qi Utara)Di kegiatan kelas budi pekerti, Angel Gunawan (kanan) mengarahkan dan memberi semangat kepada Fery Wong (7) yang berusaha memasukkan benang ke lubang jarum.
Minggu pagi, 6 September 2015 di Gedung Gan En Lt.3, Aula Jing si, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara kembali terdengar riuh suara anak-anak usia 6-8 tahun. Mereka adalah siswa/i kelas budi pekerti (Qin Zi Ban) yang diadakan sekali dalam setiap bulannya. “Yong Qi” (Keberanian) adalah tema pada kelas hari itu. Terdapat 70 murid yang hadir. Dua hari sebelumnya mereka sudah diberitahu untuk membawa benang, jarum, dan boneka bekas / bantal / kaus kaki yang sudah tidak terpakai. Barang tersebut diperlukan untuk membuat boneka. Kedengarannya memang tidak mudah bagi anak-anak seumuran mereka.
Kegiatan tersebut bertujuan agar mereka mengerti bahwa tidak semua hal “Saya pasti bisa atau Saya tidak bisa melakukannya”, tapi yang penting mereka mau dan berani mencoba. “Kerajinan tangan kali ini juga buat tunjukin ke anak-anak bahwa sebagai orang tua mereka mau dan berani mencoba hal yang belum pernah dilakukan, sehingga bisa memotivasi anak untuk berani, yakin bahwa apapun bisa dilakukan asal berani mencoba dan mau melakukannya,” jelas Yuli Natalia selaku koordinator.
Kegiatan kelas budi pekerti yang diadakan setiap bulannya ini, merupakan salah satu cara untuk mempererat hubungan antara anak dengan orang tua dan juga dengan masyarakat. Pembelajaran yang diberikan juga merupakan pendidikan budaya humanis Tzu Chi.
Dalam acara, para anak diajak untuk berani berekplorasi. Contohnya Benedictta Strawberry (8) (kanan) tengah mencoba meresleting jaketnya dengan menggunakan satu tangan
Hal ini disambut positif oleh para orang tua, “Ini sangat bagus untuk mendidik anak, biasanya kalau di rumah anak-anak suka tergantung sama pembantu atau orang tua, belum mencoba atau berusaha dulu sudah bilang tidak bisa dan minta bantuan,” komentar Angel Gunawan, salah satu orang tua siswa.
Keberanian untuk Mencoba
Setelah selesai, anak-anak dengan bangga menunjukkan boneka buatan mereka sendiri dan minta untuk difoto. Ada satu anak yang tersenyum malu-malu saat memperlihatkan boneka hasil karyanya. “Saya sudah selesai, tapi hasil bonekanya jelek,” ucap Darius (7) yang saat itu ditemani papanya. Mendengar ucapan Darius, seorang relawan pun memberikan masukan jika yang penting bukan bonekanya bagus atau jelek, tapi mau dan berani mencobanya serta senang saat proses membuatnya. “Ini sudah bagus dan harus bangga bisa membuat boneka sendiri,” ujar relawan yang mendampingi. Setelah mendengar ucapan relawan, Darius merasa senang dan akhirnya dengan gembira berpose dengan papanya.
Di penghujung acara, anak-anak juga membantu para relawan pendamping untuk merapikan kelas mereka dan menyusun meja dan kursi dalam satu tempat.
Selesai membuat boneka, selanjutnya anak-anak diminta memakai jaket dengan satu tangan. Dengan semangat mereka mencoba dengan berbagai cara, suasana pun menjadi ramai. Bagian tersulit adalah saat meresleting jacket. Para orang tua tidak diperbolehkan membantu sehingga hanya bisa tersenyum melihat dan menyemangati anak dari samping.
Salah satu siswa, Benedictta Strawberry (8), mencoba hingga salah satu kakinya terangkat, ujung resleting ditaruh di kakinya dan berusaha memasuki kepala resleting, tapi tetap tidak berhasil. “Agak sulit dan dibantu Mama memegangnya baru berhasil,“ komentarnya saat ditanya. Lain lagi dengan Janice V. Tjandra (8), berbagai cara dicoba tapi tidak berhasil, akhirnya ia akali dengan dengan cara menggigit rel resletingnya, lalu dengan penuh kesabaran dan kegigihan akhirnya pun berhasil. Ini seperti yang disampaikan Caecilia melalui Kata Perenungan Master Cheng Yen, “Dapat bertahan dalam menghadapi masalah adalah kemampuan tertinggi; Dapat mengatasi masalah sulit adalah kesabaran tertinggi.” . Setelah kelas usai, sebagian anak tidak langsung pulang tapi membantu relawan pendamping untuk membereskan kursi dan meja.