Bagi Denasari, dengan menjalankan misi amal, jiwa kebijaksanaan relawan akan terus terasah dan bertambah. Para relawan Tzu Chi turun ke masyarakat untuk menebarkan benih-benih cinta kasih berkesadaran.
Memantapkan hati terus melangkah di jalan Bodhisatwa, menghimpun kekuatan cinta kasih untuk menolong sesama. Hal ini tercermin di dalam diri Denasari Yandi, yang saat ini mengemban tanggung jawab sebagai Wakil Misi Amal He Qi Pusat.
“Saya melakukannya dengan hati yang bahagia, tidak merasa beban. Saya bersyukur dapat belajar banyak dan praktik nyata di ladang berkah misi amal,” ujarnya membagikan resep kekuatan semangat di dalam dirinya.
Denasari turut menjadi bagian sebagai pembicara dalam pelatihan relawan Abu Putih ke-4 yang diadakan oleh He Qi Pusat pada Minggu, 25 September 2022 di ITC Mangga Dua lantai 6, Jakarta Pusat. Mengenalkan misi amal yang merupakan akar dari semua misi yang ada di Yayasan Buddha Tzu Chi, dalam pemberian bantuannya mengaplikasikan beberapa prinsip yaitu langsung, skala prioritas, menghormati, sesuai kebutuhan, cepat dan berkelanjutan.
“Saat kita berhadapan dengan calon penerima bantuan, maupun Gan En Hu (penerima bantuan) tempatkan posisi sebagai sahabat mereka yang mampu merasakan penderitaan mereka. Jadi bukan sekedar melakukan survei untuk mencatat data, lalu pulang. Perlu menjalin jodoh baik dengan mereka, menerapkan perenungan saat mau menentukan apakah bantuan tersebut tepat sasaran,” ungkap Denasari.
Melati (kiri) dan Lani Muliana (kanan) memandu barisan keluar peserta training menuju meja break.
Sebanyak 76 peserta mendengarkan bagaimana pendampingan yang dilakukan oleh relawan Tzu Chi dalam misi amal hingga mampu merubah penderitaan menjadi kebahagiaan. Salah satunya dalam kisah Andrian (anak asuh Tzu Chi) yang bertemu dan mengenal Yayasan Buddha Tzu Chi bermula dari almarhum ayahnya yang mengajukan bantuan ke Tzu Chi.
“Andrian berjodoh dari ayahnya yang sudah tidak dapat bekerja lagi karena mengidap sakit keras yang bermula dari diabetes akut, komplikasi ke mata dan ginjalnya. Kami datang saat itu, Andrian pendiam.” Ungkap Denasari.
Selama pendampingan, komunikasi yang sudah terjalin antara Denasari (relawan) dengan keluarga, akhirnya diketahui bahwa Andrian anak yang berprestasi. “Bagaimana sekolahnya, Andrian? Kami tanya. Ternyata Andrian mampu masuk IPA dan mendapat rangking, juara umum. Fotocopy raportnya akhirnya juga dilampirkan. Biologinya bagus,” ceritanya. “Andrian, jika lulus mau kuliah?” tanyanya saat itu kepada Andrian.
Dukungan yang diberikan oleh Denasari Yandi kepada keluarganya membuat Andrian dapat meraih cita-citanya dan memiliki harapan buat masa depannya. “Guru BP-nya sempat tidak mendukung Andrian, tetapi saya tidak menyerah. Akhirnya, ia masuk melalui jalur undangan SNPTN dan bidik misi. Kini Andrian telah praktik magang profesi kedokteran meneruskan pesan almarhum papanya sebelum meninggal utuk mengambil jurusan bagian optic. Andrian tumbuh menjadi anak yang berbakti, setiap bulannya ia ada memberikan uang saku kepada Ibunya.” Sambungnya.
Master Cheng Yen pernah berkata bahwa setiap orang adalah sebuah sutra, sutra bukan diartikan hanya sebagai sebuah untaian doa saja, namun juga pengalaman orang lain untuk menjadi pembelajaran kita sendiri.
“Saya juga dapat belajar dari keluarga Andrian, mereka mempraktikkan berpuas diri dan bersyukur,” ujar Denasari.
Endang Siwi Trikorawati (berhijab) bersama peserta relawan abu putih grup 3.
Merupakan kali kedua pelatihan relawan Abu Putih diadakan secara tatap muka setelah sebelumnya diadakan di Tzu Chi Center, Pantai Indah Kapuk. Kelancaran pelatihan tak lepas dari peranan semua pihak termasuk juga sumbangsih 51 relawan Tzu Chi yang tergabung sebagai panitia. Endang Siwi Trikorawati (58), mengambil bagian sebagai mentor di grup nomor 3.
”Saya tahu tentang Tzu Chi dari menonton Daai Tv, sempat ikut sosialisasi di Jing Si Book & Café Pluit, kemudian diinformasikan relawan Tzu Chi dan akhirnya mengikuti kegiatan-kegiatan mulai dari baksos ke panti werdha, baksos lainnya yang diadakan oleh Tzu Chi. Lalu, diajak mengambil ladang berkah piket untuk menerima datangnya pengaju bantuan buat pengobatan maupun pendidikan di Tzu Chi, di ITC,” ujar Endang.
Sejak 2008, Endang turut bersama dalam barisan Tzu Chi, dan dirinya mendapatkan banyak sekali pembelajaran prinsip kehidupan diimbangi mempraktikkannya, seperti kesabaran, ketabahan dan berbicara lembut, berkata baik, berempati, mengasah diri terampil dalam bersikap, mencari solusi.
“Mendidik kita untuk lebih berpikir, berkata harus humanis kepada orang lain. Kejujuran kepada diri sendiri, memang itu menyakitkan tetapi bagaimana caranya memberitahukan inilah yang saya pelajari. Pertama kali bergabung, Saya pernah ikut Denasari Shijie, Lulu Shijie, dan dokter dari RS. Tzu Chi mengunjungi pasien Tzu Chi yang depresi dan ingin bunuh diri. Kami menunggu sampai malam hingga pasien tersebut sampai lelah menangisnya dan berhenti menangis, ketika sudah mulai tenang Lulu Shijie baru perlahan membuka pikirannya dengan berkata, kamu tidak kasihan dengan Orang tuamu, jika kamu mau bunuh diri silakan, tapi kamu anak semata wayang mereka. Akhirnya, setelah dibujuk pasien mau kita bawa ke Rumah Sakit karena kakinya sudah rusak, memborok dan harus diamputasi. Dengan pendampingan dari relawan, kini pasien tersebut sudah sembuh”. Ungkap Endang.
Joe Eng Mui (kiri) sedang menyerahkan celengan cinta kasih kepada Vera (kanan).
Dari menonton DAAI TV pula Vera (35) peserta dari komunitas JP2 mengenal Tzu Chi. Ia melihat para relawan Tzu Chi yang sedang memberikan bantuan bagi korban bencana gunung berapi yang meletus. Saat itu Vera sudah menjadi donatur Tzu Chi dan sudah pernah diajak pula oleh temannya hanya jalinan jodohnya untuk bergabung dalam barisan relawan belum matang. Saat pandemi-lah yang menguatkan dirinya memutuskan bergabung.
“Saya merenungkan betapa rentannya hidup manusia, jika terjadi sesuatu hal apa yang bisa dilakukan? Mungkin sudah saatnya untuk berbuat lebih, memaksimalkan nilai kehidupan”. Ceritanya. Kini Ia telah mengikuti beberapa kegiatan Tzu Chi, turut mendengar Dharma, dan mengemban tanggung jawab menjadi sekretariat di JP2.
Dari materi mengenai Sila, mengenai tidak betutur kata kasar menjadi pengingat kembali Vera, karena ia baru saja mengalaminya, karena kesalahpahaman akibat kata-kata yang tidak sengaja terucap mengakibatkan ketidakharmonisan.
“Setelah mengikuti training hari ini, tadinya tekadnya saya menjadi relawan hanya untuk menggunakan waktu sebaik-baiknya. Mungkin akan ditingkatkan perihal menggalang hati, menggalang dana. Menurut Saya, sekarang ini yang masih sulit memulainya karena masih terdapat ego”. Ungkapnya. Pembagian celengan cinta kasih juga menjadi pengingatnya untuk menyisihkan dana, berbuat kebaikan setiap hari.
Pelatihan Relawan Abu Putih berlangsung dari pukul 08 Pagi hingga 12.05 Siang. Beragam materi mulai dari misi amal dan pengobatan, misi budaya humanis, menggalang hati dan menggalang dana, gema cinta kasih, 10 sila telah disampaikan dengan sepenuh hati oleh para pembicara kepada para peserta.
Yuly saat membawakan materi misi budaya humanis.
Yuly, membawakan tema etika dasar dalam berkegiatan, berjalan, berbaris dengan benar, prosesi makan. Ini merupakan pertamakali baginya menjadi pembicara di depan banyak orang secara tatap muka.
“Jujur Saya tegang, khawatir salah menyampaikan. Untuk budaya humanis Tzu Chi saya masih terus belajar. Saya mendapatkan banyak pengetahuan dan pengingat kembali mengenai misi budaya humanis dengan menjadi pembicara. Materi hari ini juga telah dipersiapkan dengan menampilkan beberapa tayangan video. Dahulu Saya introvert jarang senyum dan menyapa orang, sekarang sudah lebih terbuka dan lebih peka terhadap sekeliling saya, karena dalam Tzu Chi diingatkan menyapa dan pakai krim Tzu Chi; Senyuman. Kini Saya akan pakai kemana-mana,” terangnya.
Bagi Yuly, semua tata krama Tzu Chi yang dipelajari dan diterapkan membawa kebaikan dalam interaksi, komunikasi, untuk kesehatan, peningkatan kualitas, citra diri sendiri. Dengan melakukannya terbiasa dan terbawa dalam keseharian akan menjadi bagian dari diri kita sendiri.
“Jadi jangan menganggap itu suatu hal yang ribet, susah. Memang awalnya susah, berjalan harus bagaimana begitu. Di mana ada tekad, disitu ada kekuatan. Hari ini belajar 20%, ditingkatkan lagi 40%, ”ujarnya.
Adi Nugroho Tanujaya sedang mendengarkan materi yang disampaikan pada pelatihan relawan Abu Putih ke-4, Minggu-25 September 2022.
Sementara itu, Adi Nugroho Tanujaya (25) salah satu peserta dari komunitas Jembatan Lima yang telah mengemban tanggung jawab sebagai ketua muda-mudi Komunitas Tunas He Qi Pusat senantiasa mendapatkan pelajaran baru yang berbeda dari setiap pembicara meskipun topiknya sudah pernah didengarkan.
“Dijelaskan di misi amal, belajar menolong, membantu orang lain mendapatkan kebahagiaan, merasakan penderitaan mereka. Ikut survei, kunjungan kasih, tujuannya membantu mereka apa yang dibutuhkan. Pembelajarannya, bagaimana bukan sekedar mengolah data, mengorek informasi tetapi merasakan berada di posisi mereka,” kata Adi.
Editor: Khusnul Khotimah