Belajar dari Burung Gagak dan Semut
Jurnalis : Indri Hendarmin (He Qi Utara), Fotografer : Sufenny, Tan Surianto (He Qi Utara)Tanggal 24 Mei 2015, relawan Tzu Chi kembali mengadakan kelas budaya humanis untuk anak-anak Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi Muara Angke
Minggu, tanggal 24 Mei 2015, komunitas Hu Ai Pik kembali mengadakan kegiatan rutin yang dilaksanakan di Perumahan Cinta Kasih Muara Angke. Saat saya tiba adik-adik yang tinggal di sana tengah membantu relawan, ada yang menyapu, ada juga yang merapikan kursi untuk kegiatan yang sebentar lagi akan berlangsung. Mereka semua sangat gembira dapat membantu. Caecilia Shijie mengawali acara dengan berkata, “Adik-adik, kita dapat melakukan kebajikan melalui hal-hal kecil, contohnya tidak berisik dan mendengarkan Shigu.” Caecilia juga menyampaikan kepada mereka bahwa melakukan kebajikan itu didasari oleh niat dan harus dilakukan terus menerus. Caecilia kemudian membawakan sebuah dongeng insipiratif. Melalui gambar-gambar menarik yang digambarnya sendiri, ia bercerita kisah “Burung Gagak dan Semut”.
Selesai mendengar cerita, anak-anak menyebutkan kebaikan yang dilakukan kemudian menempelkan kertas hati pada gambar pohon.
Relawan dan anak-anak bersama-sama bernyanyi dan memperagakan isyarat tangan “Satu Keluarga”.
“Di sebuah hutan hiduplah seekor burung gagak dan semut,” ucap Caecilia mengawali kisah. Mereka masing-masing mencari makan. Suatu hari semut terpeleset di danau yang terletak di sekitar hutan tersebut, semut pun berteriak meminta tolong. Burung gagak melihatnya. Karena memiliki hati yang baik maka gagak menjatuhkan daun, semut langsung bergegas naik ke daun dan berhasil diselamatkan. “Untung saya mendengar suara kamu,” burung gagak berkata kepada semut. “Kita bukan teman baik tetapi kamu telah menolong saya, terima kasih,” balas semut pada burung gagak. Lain waktu kemudian hutan itu kedatangan seorang pemburu, dengan senapannya ia bermaksud memburu burung gagak. Pemburu lalu membidik burung gagak, dan hal itu terlihat oleh semut. Dengan niat ingin membalas budi, semut langsung menghampiri kaki pemburu dan menggigitnya. Karena kesakitan oleh gigitan semut, tembakannya meleset, dan burung gagak pun terselamatkan.
Dongeng insipiratif tersebut kemudian menjadi satu contoh bagi anak-anak menyebutkan sebuah perbuatan baik yang pernah mereka lakukan. Mereka diberikan sebuah kertas berbentuk hati untuk ditempelkan di sebuah gambar pohon kebajikan yang sudah terpampang di dinding. “Adik-adik buatlah gambar pohon kebajikan ini rindang dengan kebajikan yang kalian lakukan,” ujar Caecilia Shijie. Mula-mula mereka masih malu-malu tapi akhirnya satu per satu menjawab dan maju ke depan untuk menempel kertas berbentuk hati.
Pada kesempatan itu anak-anak membawa celengan untuk dituang, dan bagi yang belum mempunyai celengan juga diberi masing-masing satu celengan.
Caecilia Shijie kemudian menjelaskan bahwa berbuat baik tidak terbatas dilakukan pada teman sejawat atau kerabat dekat tetapi kepada siapapun bahkan kepada mahluk hidup yang kita jumpai di manapun. Cerita yang menceritakan burung gagak yang berada di angkasa dan semut yang di darat, tapi mereka tahu bagaimana cara berbuat baik terhadap sesama. “Inti pembelajaran, berbuat baik harus terhadap semua orang tanpa memandang ras, agama, maupun bangsa, seperti Dharma yang disampaikan Master Cheng Yen kepada kita. Inilah yang menginspirasi saya untuk mengisahkan cerita burung gagak ini,” ujarnya.