Belajar Mengakhiri Derita

Jurnalis : Apriyanto, Fotografer : Apriyanto, Vimala Sura
 
 

fotoPerhatian yang diberikan oleh relawan Tzu Chi telah menyentuh hati Phang Kim Tet hingga membuatnya bersyukur atas apa yang ia dapatkan dalam kehidupan ini.

Suatu hari di tahun 2006, Phang Kim Tet yang memiliki usaha sablon bergegas pergi mengendarai sepeda motornya menuju jalan Bandengan, Jakarta Barat, untuk mengantar sebuah pesanan ke salah satu pelanggan. Setibanya di sebuah persimpangan Kim Tet melihat ada sebuah truk besar yang sedang menurunkan muatan di tepi jalan.

 

Berhubung jalan di lokasi itu sempit, Kim Tet pun mengurangi laju motornya dan berjalan perlahan-lahan menyusuri gang sempit nan ramai itu. Namun Tak disangka sebuah peti berisi piring porselen jatuh dari atas truk lalu menimpa punggung Kim Tet. Seketika itu semua langsung berubah total. Kim Tet tak lagi tahu apa yang terjadi. Ia terluka dalam keadaan tak sadarkan diri. Kejadian itu seolah menjadi salah satu episode kelam dalam hidup Kim Tet yang sejak dahulu selalu diwarnai oleh lika-liku derita.

Dari sini dimulai
Dahulu saat Kim Tet berusia 10 tahun, ayahnya pergi meninggalkan keluarga dan menikah lagi dengan wanita lain. Kenyataan ini sangat memukul perasaan Kim Tet terutama ibunya. Maka di usia yang sangat muda Kim Tet meninggalkan bangku sekolah dan bekerja sebagai buruh di sebuah perusahaan perkayuan di tengah rimba hutan Pontianak.

”Setiap hari saya keluar masuk hutan bekerja untuk membantu mama. Waktu itu semuanya masih hutan dan aku adalah pegawai yang paling kecil,” kenang Kim Tet. Setelah 25 tahun bekerja di tengah hutan, musibah pertama datang menimpa Kim Tet.  Kayu gelondongan yang sudah ditebang, tiba-tiba tergelincir, dan menimpa kedua kaki Kim Tet. Beruntung, Kim Tet tidak mengalami patah tulang. Meskipun demikian  musibah itu telah membuat luka yang cukup berat bagi Kim Tet.

Setelah kejadian itu, Kim Tet lantas bersikukuh meninggalkan kampung halamannya untuk merantau ke Jakarta. Berbekal kepercayaan diri dan keberanian, Kim Tet tiba di Jakarta pada tahun 1977 dan langsung menemui salah satu familinya. Ternyata keindahan mencari uang di Jakarta, tidak seindah apa yang dibayangkan Kim Tet. Hidup menumpang dan bekerja bersama saudara sendiri ternyata jauh lebih menyakitkan dibandingkan hidup di tengah hutan. Setiap pagi Kim Tet hanya menerima sepotong roti tawar dan segelas kopi hitam untuk sarapan. Sesudah itu, ia harus memeras keringat dan membanting tulang menjadi buruh kasar mengoperasikan mesin pemotong dan pembentuk kaleng ataupun kertas sampai lewat tengah hari. Saat makan siang tiba, Kim Tet hanya menerima seporsi kecil nasi dan lauk. Walau ia merasa makanan yang didapat tidak sepadan dengan tenaga yang dikeluarkan dan rasa lapar yang terus merongrong, Kim Tet mensiasatinya dengan meminum air putih sebanyak mungkin. ”Saya terpaksa harus menahan diri. Mau kembali ke Kalimantan juga sudah tidak mungkin,” ungkapnya.

Akhirnya demi mendapatkan gizi yang lebih baik, setiap malam Kim Tet membeli sendiri makanan untuknya. Kejadian yang paling ia ingat waktu itu adalah dengan uang sebesar Rp 25, ia sudah dapat membeli sebungkus nasi dengan lauk sepotong tempe. Namun ketika Kim Tet  akan memakannya, seleranya langsung hilang oleh lauk yang bercampurkan bangkai lalat. Tetapi karena tak ada pilihan lagi untuk mengisi perut yang kelaparan, Kim Tet tetap memakan lauk itu meski dengan hati yang remuk.

foto  foto

Ket : - Masa lalu kehidupan Kim Tet yang berliku, seakan membuat kehidupan Kim Tet tak pernah lepas dari             derita. (kiri)
        - Ayen berusaha menasehati Budi agar mau bersabar menghadapi sikap ayahnya yang sering mengeluh            dan marah. (kanan)

Beberapa bulan berikutnya, Kim Tet memberanikan diri untuk pindah ke Tangerang dan bekerja di sebuah pabrik lampu. Di tempat ini, ia justru menerima kondisi yang lebih pahit dari sebelumnya. Satu bulan, Kim Tet hanya memperoleh gaji sebesar Rp 750 dan semua biaya hidup harus ditanggungnya sendiri. Merasa penghasilan yang diterima tidak mencukupi untuk biaya hidup, Kim Tet lantas bekerja pada pabrik batako, lalu pindah lagi ke pabrik konveksi.

Lama-kelamaan, hati Kim Tet mulai mengeluh, ”Sampai kapan ia hidup dalam kesengsaraan.” Maka dengan modal keberanian, ia berhenti kerja dari pabrik konveksi dan melamar sebagai karyawan di perusahaan sablon. Namun di perusahaan ini Kim Tet  justru tak mendapatkan sepeser pun penghasilan kecuali ilmu. ”Saat akhir pekan tiba sang majikan berkata kepada saya, ”Kenapa kamu tidak pulang, kamu tunggu gajian? Di sini tidak ada gajian. Justru kamu yang seharusnya membayar kepada saya karena di tempat ini kamu belajar,” hati saya sangat sakit. Tapi demi hidup yang lebih baik saya serap semua ilmunya, sampai akhirnya di bulan ketiga saya mendapatkan kerja sebagai petugas sablon di tempat lain,” terang Kim Tet.
  
Beberapa waktu kemudian keberuntungan mulai menghampiri Kim Tet. Ada seorang usahawan yang mengajaknya bekerja sama dan berbagi hasil usaha. Dari sinilah Kim Tet mulai bisa menyisihkan pendapatannya. Ia membeli sebuah rumah, membangun keluarga serta membuka usaha di bidang konveksi. Namun ketika kariernya mulai menanjak, kemalangan kembali menyapanya. Barang dagangannya sejumlah Rp 200 juta hilang ditipu seorang pengusaha. Keadaan ini membuat Kim Tet menjadi sangat terdesak. Selain kehilangan banyak barang, ia juga menjadi terlibat hutang modal pada sebuah perusahaan tekstil. ”Hutang saya pada perusahaan itu tidak sampai Rp 60 juta. Dan saya terus dikejar dengan ancaman kekerasan. Saya diancam dengan todongan pistol,” kenangnya.

Akhirnya dengan sangat terpaksa, Kim Tet menjual rumah beserta mesin-mesin untuk menutupi hutang. Maka mulailah Kim Tet meneruskan usahanya dari nol. ”Sudahlah, tertipu tidak mengapa. Asal kita masih bisa hidup, kita bangun kembali hidup,” kata Kim Tet semangat.

foto  foto

Ket : - Kondisi Kim Tet yang sudah tidak memungkinkan lagi untuk dioperasi membuatnya harus berlapang              dada duduk di kursi roda. (kiri).
         - Kim Tet saat mengikuti Doa Bersama Bulan Tujuh Penuh Berkah. Saat ada acara, relawan Tzu Chi             berusaha melibatkan Kim Tet dengan tujuan memberi penghiburan baginya. (kanan)

Hati seluas samudra
Seiring berlalunya waktu, musibah seolah tak pernah hengkang dari kehidupan Kim Tet. Pada tahun 2006, kecelakaan di Bandengan telah mengubah hidup Kim Tet  untuk selamanya. Peti berisi piring porselen yang menghantam punggungnya tidak hanya membuat tulang lehernya patah, tetapi juga menyebabkan saraf tulang belakang terjepit. Kim Tet menjadi tak mampu menggerakkan sebagian anggota tubuhnya dan hanya bisa bersanding di kursi roda. Pengobatan Kim Tet pun tak sepenuhnya ditanggung oleh perusahaan piring. Ternyata surat kesepakatan pengobatan yang sebelumnya akan menanggung perawatan Kim Tet sampai sembuh, isinya berubah menjadi hanya menanggung Kim Tet sampai di rumah sakit. ”Saya bingung kok isinya bisa berubah dari kesepakatan awal. Tapi kalau saya kembali menuntut percuma saja dia orang berduit pasti menang. Lebih baik pikiran itu dibuang saja,” akunya.

Kehidupan keluarga Kim Tet pun terus berubah. Kim Tet menjadi sering mengeluh dan marah bila pendapatnya tak diindahkan oleh putra-putrinya. Rumahnya yang di Krendang dijual demi biaya hidup dan pengobatan. Di luar  harapannya, pada tahun 2007, istrinya meninggal lantaran menderita suatu penyakit.

Sampai suatu hari di tahun 2009, anak kedua Kim Tet yang bernama Budi Bun mengajukan bantuan pengobatan untuk ayahnya ke Tzu Chi. Dari pengajuan inilah akhirnya Kim Tet berjodoh dengan para relawan Tzu Chi. Saat pengajuan bantuannya disetujui, relawan Tzu Chi langsung memeriksakan Kim Tet ke dokter spesialis. Namun sayang, beberapa dokter spesialis menyatakan kalau Kim Tet sudah tidak bisa lagi dioperasi. Kalau pun tetap dioperasi kesembuhannya hanya mencapai 30%. Kenyataan ini bagaikan pukulan berat bagi Kim Tet dan ketiga anak-anaknya. Namun, garis kehidupan telah terjadi. Kim Tet beserta anak-anaknya hanya bisa pasrah menghadapi kenyataan yang memang sulit mereka terima.

Beruntung, di saat hati mereka dipenuhi kegalauan dan putus asa, relawan Tzu Chi datang untuk memberikan semangat atau menghibur. Ayen, salah satu relawan Tzu Chi yang mendampingi Kim Tet, tak pernah jenuh menasehati Kim Tet dengan kata-kata perenungan Master Cheng Yen.

Suatu hari pada bulan Agustus 2010, Ayen mengajak Kim Tet untuk menghadiri acara bulan 7 penuh berkah di RSKB Cinta Kasih Tzu Chi. ”Kita ajak asuk (paman-red) untuk mengikuti acara, biar dia tidak jenuh dan pikirannya terbuka setelah melihat ceramah master,” jelas Ayen. Dengan dijemput Po San, salah satu relawan Tzu Chi Kim Tet pun tiba di RSKB Cinta Kasih Tzu Chi.

Sejak acara dimulai, Kim Tet dengan seksama menyimak Ceramah Dharma Master Cheng Yen tentang tradisi Ulambana –  upacara untuk mendoakan arwah para leluhur dan orang tua yang meninggal dunia. Pada acara itu, Kim Tet menyaksikan betapa menderitanya hewan-hewan yang disembelih hanya demi sebuah upacara atau kepuasan manusia belaka. Ia juga melihat gaya hidup vegetarian merupakan cara untuk melestarikan lingkungan.

Dari serangkaian acara yang ia saksikan, perlahan-lahan Kim Tet menyerapnya dan memberikan kesan bahwa hidup adalah kesempatan. Waktu yang terus berjalan dan kesempatan yang kian menipis di bumi yang terus merangas, membuat setiap insan Tzu Chi layak menyadari hal ini. Oleh karena itu, demi menghargai kehidupan Kim Tet mulai belajar untuk bervegetarian dan selalu mengenang kata perenungan yang berisi, ”Seharusnya kita mensyukuri hari saat kita bangun, tubuh kita cukup sehat untuk bisa turun dari tempat tidur. Dengan lebih banyak bersyukur, keluhan akan semakin berkurang.

Sebagai orang  tua tunggal, Kim Tet seringkali dihadapkan pada permasalahan yang rumit. Ia merasa serba salah dengan apa yang dilakukannya. Selama ini, Kim Tet selalu merasa apa yang ia katakan tidak pernah diindahkan putra-putrinya. Karena itulah Kim Tet menjadi sering mengeluh dan marah kepada ketiga anaknya. Kendati demikian, ada satu hal yang sebenarnya tidak diketahui oleh Kim Tet. Di balik ketidakakuran mereka, sesungguhnya ketiga anaknya sangatlah mengasihi Kim Tet. Meskipun Budi belum memberikan tunjangan kehidupan, tetapi Budilah yang sering mengantarkan ayahnya berobat dan mendoakan kesembuhan ayahnya. ”Saya sayang sama papa. Tetapi terkadang saya memang tidak menjawab perkataan papa, bila dijawab malah bertengkar lebih baik saya diam saja. Biar bagaimanapun saya berharap papa bisa sembuh bisa kembali berjalan. Apa pun demi kesembuhan papa,” harap Budi.

Sedangkan Yeni yang sudah bekerja sebagai pegawai administrasi adalah tulang punggung yang membiayai hidup dan sewaan rumah. Mengetahui adanya kesalahpahaman itu, Ayen pun berusaha menjembatani perselisihan di antara mereka. Dengan penuh perasaan, Ayen menerangkan kepada Kim Tet tentang zaman yang terus berubah dan pola asuh pun harus berkembang mengikuti zaman. Lambat laun kesedihan Kim Tet pun mulai terobati. Kemarahan dalam dirinya pun mulai tergantikan dengan lapang dada. Ia juga kini sudah sedikit berkeluh kesan. Di setiap pertemuan dengan relawan Tzu Chi, Kim Tet berusaha memetik satu makna, yaitu bersyukur. Jika hati manusia sesempit gelas, maka segenggam garam akan membuat air menjadi sangat asin. Tetapi sebaliknya jika hati manusia seluas samudra, segenggam garam yang sama tidak akan mengubah kualitas air.

  
 
 

Artikel Terkait

Satu Dasawarsa Tzu Chi Tangerang

Satu Dasawarsa Tzu Chi Tangerang

29 September 2016

Satu dasawarsa sudah Yayasan Buddha Tzu Chi Tangerang berkiprah di masyarakat. Untuk memperingati hari jadi yang kesepuluh ini, pada 17 September 2016, Tzu Chi Tangerang menggelar acara dan dihadiri 85 relawan Tzu Chi.

Bersyukur, Menghormati dan Mengasihi

Bersyukur, Menghormati dan Mengasihi

06 Desember 2024

Relawan Tzu Chi Medan mengadakan Pelatihan Abu Putih I tahun 2025 di gedung Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia Cabang Medan. Pelatihan ini mengusung tema “Gan En, Zhun Zhong, Ai” (Bersyukur, Menghormati, Cinta Kasih).

Warga Kelurahan Bumi Menerima Kunci Rumah yang Selesai Dibangun

Warga Kelurahan Bumi Menerima Kunci Rumah yang Selesai Dibangun

05 September 2024

Tzu Chi Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah Kota Surakarta menyerahkan rumah yang telah selesai dibangun dalam Program Bebenah Kampung Kota Solo (Tahap ke-2) di Kel. Bumi, Kec. Laweyan, Surakarta.

Kerisauan dalam kehidupan manusia disebabkan dan bersumber pada tiga racun dunia, yaitu: keserakahan, kebencian, dan kegelapan batin.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -