Belajar Mengakhiri Derita
Jurnalis : Apriyanto, Fotografer : Apriyanto, Vimala SuraPerhatian yang diberikan oleh relawan Tzu Chi telah menyentuh hati Phang Kim Tet hingga membuatnya bersyukur atas apa yang ia dapatkan dalam kehidupan ini. |
| ||
Berhubung jalan di lokasi itu sempit, Kim Tet pun mengurangi laju motornya dan berjalan perlahan-lahan menyusuri gang sempit nan ramai itu. Namun Tak disangka sebuah peti berisi piring porselen jatuh dari atas truk lalu menimpa punggung Kim Tet. Seketika itu semua langsung berubah total. Kim Tet tak lagi tahu apa yang terjadi. Ia terluka dalam keadaan tak sadarkan diri. Kejadian itu seolah menjadi salah satu episode kelam dalam hidup Kim Tet yang sejak dahulu selalu diwarnai oleh lika-liku derita. Dari sini dimulai ”Setiap hari saya keluar masuk hutan bekerja untuk membantu mama. Waktu itu semuanya masih hutan dan aku adalah pegawai yang paling kecil,” kenang Kim Tet. Setelah 25 tahun bekerja di tengah hutan, musibah pertama datang menimpa Kim Tet. Kayu gelondongan yang sudah ditebang, tiba-tiba tergelincir, dan menimpa kedua kaki Kim Tet. Beruntung, Kim Tet tidak mengalami patah tulang. Meskipun demikian musibah itu telah membuat luka yang cukup berat bagi Kim Tet. Setelah kejadian itu, Kim Tet lantas bersikukuh meninggalkan kampung halamannya untuk merantau ke Jakarta. Berbekal kepercayaan diri dan keberanian, Kim Tet tiba di Jakarta pada tahun 1977 dan langsung menemui salah satu familinya. Ternyata keindahan mencari uang di Jakarta, tidak seindah apa yang dibayangkan Kim Tet. Hidup menumpang dan bekerja bersama saudara sendiri ternyata jauh lebih menyakitkan dibandingkan hidup di tengah hutan. Setiap pagi Kim Tet hanya menerima sepotong roti tawar dan segelas kopi hitam untuk sarapan. Sesudah itu, ia harus memeras keringat dan membanting tulang menjadi buruh kasar mengoperasikan mesin pemotong dan pembentuk kaleng ataupun kertas sampai lewat tengah hari. Saat makan siang tiba, Kim Tet hanya menerima seporsi kecil nasi dan lauk. Walau ia merasa makanan yang didapat tidak sepadan dengan tenaga yang dikeluarkan dan rasa lapar yang terus merongrong, Kim Tet mensiasatinya dengan meminum air putih sebanyak mungkin. ”Saya terpaksa harus menahan diri. Mau kembali ke Kalimantan juga sudah tidak mungkin,” ungkapnya. Akhirnya demi mendapatkan gizi yang lebih baik, setiap malam Kim Tet membeli sendiri makanan untuknya. Kejadian yang paling ia ingat waktu itu adalah dengan uang sebesar Rp 25, ia sudah dapat membeli sebungkus nasi dengan lauk sepotong tempe. Namun ketika Kim Tet akan memakannya, seleranya langsung hilang oleh lauk yang bercampurkan bangkai lalat. Tetapi karena tak ada pilihan lagi untuk mengisi perut yang kelaparan, Kim Tet tetap memakan lauk itu meski dengan hati yang remuk.
Ket : - Masa lalu kehidupan Kim Tet yang berliku, seakan membuat kehidupan Kim Tet tak pernah lepas dari derita. (kiri) Beberapa bulan berikutnya, Kim Tet memberanikan diri untuk pindah ke Tangerang dan bekerja di sebuah pabrik lampu. Di tempat ini, ia justru menerima kondisi yang lebih pahit dari sebelumnya. Satu bulan, Kim Tet hanya memperoleh gaji sebesar Rp 750 dan semua biaya hidup harus ditanggungnya sendiri. Merasa penghasilan yang diterima tidak mencukupi untuk biaya hidup, Kim Tet lantas bekerja pada pabrik batako, lalu pindah lagi ke pabrik konveksi.
Ket : - Kondisi Kim Tet yang sudah tidak memungkinkan lagi untuk dioperasi membuatnya harus berlapang dada duduk di kursi roda. (kiri). Hati seluas samudra Kehidupan keluarga Kim Tet pun terus berubah. Kim Tet menjadi sering mengeluh dan marah bila pendapatnya tak diindahkan oleh putra-putrinya. Rumahnya yang di Krendang dijual demi biaya hidup dan pengobatan. Di luar harapannya, pada tahun 2007, istrinya meninggal lantaran menderita suatu penyakit. Sampai suatu hari di tahun 2009, anak kedua Kim Tet yang bernama Budi Bun mengajukan bantuan pengobatan untuk ayahnya ke Tzu Chi. Dari pengajuan inilah akhirnya Kim Tet berjodoh dengan para relawan Tzu Chi. Saat pengajuan bantuannya disetujui, relawan Tzu Chi langsung memeriksakan Kim Tet ke dokter spesialis. Namun sayang, beberapa dokter spesialis menyatakan kalau Kim Tet sudah tidak bisa lagi dioperasi. Kalau pun tetap dioperasi kesembuhannya hanya mencapai 30%. Kenyataan ini bagaikan pukulan berat bagi Kim Tet dan ketiga anak-anaknya. Namun, garis kehidupan telah terjadi. Kim Tet beserta anak-anaknya hanya bisa pasrah menghadapi kenyataan yang memang sulit mereka terima. Beruntung, di saat hati mereka dipenuhi kegalauan dan putus asa, relawan Tzu Chi datang untuk memberikan semangat atau menghibur. Ayen, salah satu relawan Tzu Chi yang mendampingi Kim Tet, tak pernah jenuh menasehati Kim Tet dengan kata-kata perenungan Master Cheng Yen. Suatu hari pada bulan Agustus 2010, Ayen mengajak Kim Tet untuk menghadiri acara bulan 7 penuh berkah di RSKB Cinta Kasih Tzu Chi. ”Kita ajak asuk (paman-red) untuk mengikuti acara, biar dia tidak jenuh dan pikirannya terbuka setelah melihat ceramah master,” jelas Ayen. Dengan dijemput Po San, salah satu relawan Tzu Chi Kim Tet pun tiba di RSKB Cinta Kasih Tzu Chi. Sejak acara dimulai, Kim Tet dengan seksama menyimak Ceramah Dharma Master Cheng Yen tentang tradisi Ulambana – upacara untuk mendoakan arwah para leluhur dan orang tua yang meninggal dunia. Pada acara itu, Kim Tet menyaksikan betapa menderitanya hewan-hewan yang disembelih hanya demi sebuah upacara atau kepuasan manusia belaka. Ia juga melihat gaya hidup vegetarian merupakan cara untuk melestarikan lingkungan. Dari serangkaian acara yang ia saksikan, perlahan-lahan Kim Tet menyerapnya dan memberikan kesan bahwa hidup adalah kesempatan. Waktu yang terus berjalan dan kesempatan yang kian menipis di bumi yang terus merangas, membuat setiap insan Tzu Chi layak menyadari hal ini. Oleh karena itu, demi menghargai kehidupan Kim Tet mulai belajar untuk bervegetarian dan selalu mengenang kata perenungan yang berisi, ”Seharusnya kita mensyukuri hari saat kita bangun, tubuh kita cukup sehat untuk bisa turun dari tempat tidur. Dengan lebih banyak bersyukur, keluhan akan semakin berkurang.” Sebagai orang tua tunggal, Kim Tet seringkali dihadapkan pada permasalahan yang rumit. Ia merasa serba salah dengan apa yang dilakukannya. Selama ini, Kim Tet selalu merasa apa yang ia katakan tidak pernah diindahkan putra-putrinya. Karena itulah Kim Tet menjadi sering mengeluh dan marah kepada ketiga anaknya. Kendati demikian, ada satu hal yang sebenarnya tidak diketahui oleh Kim Tet. Di balik ketidakakuran mereka, sesungguhnya ketiga anaknya sangatlah mengasihi Kim Tet. Meskipun Budi belum memberikan tunjangan kehidupan, tetapi Budilah yang sering mengantarkan ayahnya berobat dan mendoakan kesembuhan ayahnya. ”Saya sayang sama papa. Tetapi terkadang saya memang tidak menjawab perkataan papa, bila dijawab malah bertengkar lebih baik saya diam saja. Biar bagaimanapun saya berharap papa bisa sembuh bisa kembali berjalan. Apa pun demi kesembuhan papa,” harap Budi. Sedangkan Yeni yang sudah bekerja sebagai pegawai administrasi adalah tulang punggung yang membiayai hidup dan sewaan rumah. Mengetahui adanya kesalahpahaman itu, Ayen pun berusaha menjembatani perselisihan di antara mereka. Dengan penuh perasaan, Ayen menerangkan kepada Kim Tet tentang zaman yang terus berubah dan pola asuh pun harus berkembang mengikuti zaman. Lambat laun kesedihan Kim Tet pun mulai terobati. Kemarahan dalam dirinya pun mulai tergantikan dengan lapang dada. Ia juga kini sudah sedikit berkeluh kesan. Di setiap pertemuan dengan relawan Tzu Chi, Kim Tet berusaha memetik satu makna, yaitu bersyukur. Jika hati manusia sesempit gelas, maka segenggam garam akan membuat air menjadi sangat asin. Tetapi sebaliknya jika hati manusia seluas samudra, segenggam garam yang sama tidak akan mengubah kualitas air. | |||
Artikel Terkait
Satu Dasawarsa Tzu Chi Tangerang
29 September 2016Satu dasawarsa sudah Yayasan Buddha Tzu Chi Tangerang berkiprah di masyarakat. Untuk memperingati hari jadi yang kesepuluh ini, pada 17 September 2016, Tzu Chi Tangerang menggelar acara dan dihadiri 85 relawan Tzu Chi.
Bersyukur, Menghormati dan Mengasihi
06 Desember 2024Relawan Tzu Chi Medan mengadakan Pelatihan Abu Putih I tahun 2025 di gedung Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia Cabang Medan. Pelatihan ini mengusung tema “Gan En, Zhun Zhong, Ai” (Bersyukur, Menghormati, Cinta Kasih).
Warga Kelurahan Bumi Menerima Kunci Rumah yang Selesai Dibangun
05 September 2024Tzu Chi Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah Kota Surakarta menyerahkan rumah yang telah selesai dibangun dalam Program Bebenah Kampung Kota Solo (Tahap ke-2) di Kel. Bumi, Kec. Laweyan, Surakarta.