Berbagi Kasih Bersama Rohimin di Kampung Nelayan
Jurnalis : Himawan Susanto , Fotografer : Himawan Susanto * Wajah Rohimin berbinar-binar gembira saat menerima kedatangan peserta Tzu Ching Camp III yang hendak berbagi kisah dan kasih dengannya. | Matahari belum terbenam, sinarnya masih terasa menyengat, namun halaman depan Rumah Sakit Khusus Bedah (RSKB) Cinta Kasih Tzu Chi, Cengkareng, Jakarta Barat penuh dengan muda-mudi Tzu Chi (Tzu Ching) yang tampak akan bergegas pergi. Sore itu, 16 Agustus 2008, 98 peserta Tzu Ching Camp III akan melakukan kunjungan kasih ke beberapa lokasi di Jakarta. |
Sore itu adalah hari pertama kamp bertema “Menghargai Kehidupan, Mencintai Lingkungan, dan Bakti pada Orangtua” yang diselenggarakan oleh Tzu Ching Indonesia. Para peserta kamp ini adalah mahasiswa yang berasal dari berbagai kota seperti Pekanbaru, Bandung, Solo, Pati, dan mahasiswa berbagai universitas di Jakarta. Mereka juga memiliki beragam keyakinan, tidak hanya yang beragama Buddha. Menariknya, mayoritas peserta kebanyakan adalah kaum perempuan. Setelah menunggu sekian lama, saya pun memutuskan untuk ikut bersama satu kelompok yang akan mengunjungi rumah Rohimin, penduduk Kampung Nelayan, Kamal Muara yang pernah mendapat bantuan pengobatan dari Tzu Chi. Mobil yang kami tumpangi awalnya diisi oleh 4 anggota Tzu Ching yang terdiri dari Anthony Saputra, Robby Cahyadi, Pudji Lestari, dan Marcellina, serta 2 relawan Tzu Chi yaitu Vivian dan Roann. Namun, karena begitu banyaknya peserta, Vivian kemudian diminta untuk mendampingi kelompok lain yang tak memiliki pendamping. Setelah itu, mobil kami pun berjalan keluar dari komplek Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi. Saat itulah baru kami kemudian menyadari tak ada satu pun dari kami yang mengetahui jalan menuju Kamal Muara. Awalnya Roann yang menyetir mobil bertanya arah menuju Kamal Muara kepada orang yang berada di pinggir jalan, namun selanjutnya saya yang menggantikannya. Usai dua kali bertanya, kami pun perlahan memasuki pintu masuk perkampungan nelayan. Pemandangan pun berubah, dari yang awalnya penuh dengan gedung dan gudang kini berganti dengan aliran sungai dan tentu saja pemandangan puluhan perahu nelayan yang ditambatkan berderet-deret di tepi sungai. Saat kami berhenti dan bertanya kepada seorang warga, bau tak sedap pun menyeruak dan menelusup ke dalam lubang hidung kami yang sedari awal tetap nyaman karena hembusan udara AC di dalam mobil. Saat itulah kami tersadarkan inilah realitas nyata kondisi sebuah kampung nelayan yang tak semua orang dapat rasakan. Saat kami turun, di depan mobil kami bertumpuk ribuan bekas cangkang kerang hijau yang telah dikupas. Sebuah pemandangan berbeda dan tentunya tak sedap untuk dilihat apalagi bagi para peserta Tzu Ching Camp yang mungkin tak biasa melihat pemandangan seperti ini, pikir saya. Namun, rupanya peserta Tzu Ching Camp dapat dengan mudah beradaptasi dengan suasana dan lingkungan yang saat ini mereka hadapi. Tak terlihat sedikit pun ekspresi takut, apalagi jijik saat mereka tiba di dalam perkampungan nelayan ini. Saya pun lalu bertanya kepada seorang bapak yang hanya memiliki sebelah tangan. Bapak yang bernama Dai Pabilla (50) itu dengan baik hati mengantarkan kami mengunjungi rumah Ketua RW 4, Abdul Hamid (58) dan Ketua RT 4, Muhammad Darwis Sule (40). Saat mengetahui yang datang adalah relawan Tzu Chi, maka Pak RT dan RW pun mengantarkan kami menuju rumah Rohimin. Perkampungan yang kami kunjungi adalah perkampungan nelayan yang tepat berdiri di tepian pantai. Air laut itu kini tak lagi biru. Ia telah berubah menjadi hitam dan penuh dengan sampah. Rumah-rumah di sana adalah rumah panggung yang lantainya terbuat dari kayu. Untuk kebutuhan sanitasi mereka menganggap laut sebagai tempat penerima buangan. Sehingga tak heran jika di tepian pantai berderet beberapa kakus “helikopter” yang biasa mereka gunakan. Rumah Rohimin ternyata terletak hanya beberapa meter dari tepian pantai. Kami masuk setelah terlebih dahulu menaiki sebuah undakan kecil dari bambu. Dengan menginjak bambu yang disusun beraturan sebagai lantai, kami pun memasuki rumah Rohimin. Beruntung, ia tak melaut sore itu. Di sebuah ruangan berukuran 3x4 meter ini, Rohimin tinggal bersama istri dan kedua anaknya yang masih kecil. Sebuah ranjang yang cukup besar terlihat di dalamnya, demikian pula dengan dapur dan sebuah televisi kecil yang setia menemani hari-hari mereka. Perbincangan pun bergulir, Roann membuka percakapan dengan menanyakan kondisi terakhir Rohimin. Rohimin menjawab ia begitu berbahagia karena berkat bantuan Tzu Chi, ia kini dapat kembali melaut mencari ikan untuk menghidupi keluarganya. Meski saat ini, ia masih sesekali merasa sakit di salah satu pergelangan tangannya, namun ia tetap merasa bahagia karena kondisinya kini telah lebih baik. Ket : - Daerah Kamal Muara, Jakarta Utara terletak di utara Jakarta dan langsung berbatasan dengan laut. Para Waktu itu, saat membersihkan ikan hasil tangkapan melaut, tanpa sengaja tangannya terluka oleh duri-duri ikan. Namun, saat itu ia tak terlalu mempedulikan luka itu. Lama-kelamaan, luka itu ternyata semakin parah dan kemudian membengkak. Bengkak itu makin hari semakin keras dan membuatnya tak dapat menggerakkan tangan sama sekali. Setelah menunggu beberapa bulan, ia pun lalu mendapatkan bantuan dari Tzu Chi. Bantuan ini ia dapatkan karena Pak RT dan Pak RW turut memberikan surat pengantar kepada Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. Sore itu, meski berbeda generasi, berbeda status, dan kehidupan; Rohimin, Muhammad Darwis Sule, Abdul Hamid, Anthony Saputra, Robby Cahyadi, Pudji Lestari, Marcellina, dan Roann berbagi cerita dan kisah bersama. Tak terlihat sedikit pun perbedaan di antara mereka. Yang ada hanyalah persamaaan sebagai sesama insan manusia. Tak terasa, 1 jam lebih kami berbincang-bincang dengan mereka. Sesuai jadwal, kami harus segera kembali ke RSKB Cinta Kasih karena acara pelatihan akan berlanjut dengan sesi lainnya. Kami pun lalu berpamitan pada Rohimin. Dengan lambaian tangan dan wajah yang berbinar-binar ia melepas kepulangan kami. Kami berjalan menyusuri gang-gang yang ada di dalam perkampungan nelayan ini. Di sebuah rumah tampak kerumunan orang. Mengetahui kami dari Tzu Chi, salah satu warga meminta kami untuk melihat kondisi Asep. Saat itu, ia sedang terbaring lemah di ruangan tengah. Beberapa orang duduk mengelilinginya. Telah beberapa bulan ini, Asep menderita sakit. Dengan penuh perhatian, para anggota Tzu Ching bertanya mengenai kondisi terakhirnya. Usai memberikan perhatian, kami pun berpamitan dan kembali menelusuri gang-gang di perkampungan nelayan. Seperti saat berangkat, kami pun terpaksa harus berjalan melewati beton selebar 30 cm yang digunakan sebagai penahan gelombang pasang. Jalan di sebelahnya tak dapat dilewati karena penuh dengan air dan lumpur. Ket : - Sempit dan beceknya jalan yang harus dilalui membuat relawan Tzu Chi dan anggota Tzu Ching harus Kami pun beranjak meninggalkan kampung nelayan dengan hati yang penuh dengan tanda tanya. Mengapa mereka bisa hidup di daerah yang sedemikian kumuh. Sebuah kehidupan yang tak pernah terbayangkan di benak kami. Beragam perasaan dirasakan oleh 4 anggota Tzu Ching, salah satunya adalah Robby Cahyadi. “Pengalaman baru aja, lihat tempat yang ga pernah dibayangin sebelumnya. Jadi, biar kita sadar dunia luar kaya gini, beda dengan kehidupan yang kita jalanin,” tuturnya. Robby juga berempati dengan kehidupan para nelayan yang sangat jauh dari kata layak. “Makanya, kita harus bersyukur dengan apa yang sudah kita dapatkan hari ini,” ungkapnya penuh rasa syukur. Membuka hari pertama pelatihan dengan melakukan kunjungan kasih adalah salah satu cara membuka mata hati para peserta Tzu Ching Camp betapa masih banyak saudara kita yang membutuhkan uluran tangan dan bantuan kita. Sore itu, tak hanya Anthony Saputra, Robby Cahyadi, Pudji Lestari, Marcellina, Roann, dan saya yang tersadarkan akan realitas kehidupan, para peserta Tzu Ching Camp yang melakukan kunjungan kasih di tempat lain yang berbeda pun merasakan kisah dan cerita yang sama. Berbagi kasih dengan sesama tanpa memandang perbedaan. Justru karena perbedaanlah kehidupan kita menjadi lebih berarti dan penuh warna! | |
Artikel Terkait
Katarak Tak Menghalangi Kho Kim Kwe Merawat Tiga Anaknya
21 April 2022Meski ditinggal istri pergi entah kemana, Kho Kim Kwe (68) tetap bekerja keras menghidupi tiga anaknya walaupun kedua matanya sudah tidak dapat melihat akibat katarak.
Tzu Chi Bandung Membuka Sentra Vaksin Bagi Pelajar
05 Oktober 2021Tzu Chi Bandung bekerjasama dengan Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Puskesmas Garuda membuka sentra vaksin untuk mempercepat target pemerintah tidak kurang dari 70 % sudah divaksinasi untuk Kota Bandung.