Berbagi Kebahagiaan di Hari Imlek

Jurnalis : Hadi Pranoto, Fotografer : Hadi Pranoto
 
foto

Relawan Tzu Chi memberikan bingkisan dan anpau kepada Tan Lian Nio di rumahnya di Jl. Jelambar Aladin No. 28, Jakarta Barat.

Sisa-sisa banjir besar di Jakarta tanggal 1 Februari lalu, jejaknya sudah banyak yang menghilang di sudut-sudut jalan Jakarta. Beberapa wilayah yang tadinya lumpuh akibat banjir, kini aktivitasnya sudah kembali normal. Tapi tidak demikian halnya dengan tempat tinggal Tan Lian Nio. Banjir semata kaki orang dewasa masih menggenangi gang sempit yang membelah rumah kontrakannya dengan rumah-rumah lainnya. Lorong yang begitu padat ini terkesan lembab, pertanda sinar matahari sulit menembusnya. Ini mungkin yang menyebabkan banjir sulit surut di muka rumahnya di Jalan Jelambar Aladin No. 28, Jakarta Barat.

Hidup Sebatang Kara
Ditemui di kontrakannya yang sempit, wajah wanita berusia 50 tahun ini tampak cerah dan bersemangat. Tubuhnya yang kurus dan lemah teronggok tak berdaya di ranjang yang sederhana. Alat bantunya berjalan—penyangga besi yang beroda—tergeletak di depannya. Sejak banjir menggenangi tempat tinggalnya, wanita yang sejak kecil menderita ’cacat bawaan’ ini memilih untuk tetap beristirahat di kamarnya. ”Keluar kalau perlu saja, itu pun harus ada yang mendorongnya. Kalo nggak, bisa-bisa jatuh,” ujarnya lirih.

Semenjak ibunya meninggal dunia, Tan Lian Nio terpaksa hidup sebatang kara. Ia adalah anak tunggal dan tidak ada lagi sanak saudaranya di Jakarta. Tangisnya meledak dan beberapa kali menyeka air matanya yang tumpah ketika menceritakan hari-hari terakhir bersama sang ibu. ”Waktu Mama pergi, saya dulu sudah hampir mau bunuh diri, isaknya pilu. Dengan sigap, relawan segera memeluk dan menghiburnya, membuat tangisnya pun mereda. ”Ya sudah, meski tidak ada keluarga lagi, kan ada kami. Semua relawan Tzu Chi ini sekarang jadi keluarga kamu, hibur Melati, relawan Tzu Chi.

Untuk menopang biaya hidupnya sehari-hari, Tan Lian Nio menerima bantuan dari Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia berupa tunjangan hidup sebesar Rp 500.000,- tiap bulan. ”Untuk bayar kontrakan Rp 175 ribu, sisanya untuk makan, kata Lian Nio. Karena tidak bisa beraktivitas seperti orang normal lainnya, maka Tan Lian Nio tidak bisa bekerja untuk membiayai kehidupannya. Wanita yang masih melajang ini pun menjadi penerima bantuan tetap Tzu Chi.

foto  foto

Ket : - Tan Lian Nio yang hidup sebatang kara tak kuasa menahan tangisnya ketika mengenang kepergian ibunya.
           Ia yang menderita 'cacat bawaan' sejak lahir tak bisa beraktivitas normal. Sejak kepergian ibunya,
           Tan Lian Nio menjadi penerima bantuan jangka panjang Tzu Chi.(kiri)
         - Relawan Tzu Chi harus melewati gang yang sempit dan masih terendam banjir untuk mengunjungi
           Tan Lian Nio, penerima bantuan jangka panjang Tzu Chi di daerah Jelambar, Jakarta Barat. (kanan)

Tan Lian Nio merupakan salah satu dari 120 penerima bantuan jangka panjang Tzu Chi yang dikunjungi para relawan Tzu Chi pada hari Selasa, 5 Februari 2008. Kedatangan para relawan Tzu Chi ini dalam rangka memberikan bingkisan dan 'ang pau' (uang hadiah hari raya) untuk merayakan Imlek kepada mereka yang mayoritas adalah pasien-pasien yang pernah ditangani Tzu Chi. ”Tujuannya, Tzu Chi ingin berbagi dengan mereka yang akan merayakan Imlek (Tahun Baru China). Paling tidak mereka bisa berbahagia dengan keluarganya, meski dengan cara yang sederhana,” kata Usman, relawan Tzu Chi. Selain uang tunai, mereka juga menerima bingkisan berupa parsel, yang terdiri dari: minyak goreng 2 liter, sirup 2 botol, kacang tanah 1 kg, susu kental manis 2 kaleng, gula 1 kg, biskuit 2 bungkus, dan kue keranjang 1 kg.

Hanya saja, kini Tan Lian Sheng tidak lagi bisa bekerja seperti dulu, berdagang keliling. Fisiknya masih terlalu lemah dan juga usahanya tidak selancar dulu. Untuk menghidupi keluarga, istrinya berjualan bumbu pecel. ”Ya, untuk makan sehari-hari saja,” ujar keduanya serempak. Agar Tan Lian Sheng, Jia Moy dan kedua anaknya bisa merayakan Imlek dengan perasaan bahagia, relawan Tzu Chi memberinya ang pau dan bingkisan. ”Terima kasih sebesar-besarnya,” kata Lian Sheng. Ia berharap kesehatan dan perekonomian keluarganya bisa menjadi lebih baik di tahun depan.

foto  foto

Ket : - Jia Moy dan suaminya menerima bingkisan dan anpau dari Tzu Chi. Meski harus merayakan Imlek dengan
           setidaknya keluarga ini bisa merasakan kebahagiaan yang sama seperti keluarga-keluarga lainnya.(kiri)
         - Kwe Kai Nio (74) menerima bingkisan dan anpau dari relawan Tzu Chi untuk merayakan Imlek. Rumahnya
           yang sempit dihuni sebanyak 17 orang, terdiri dari anak, cucu dan dirinya. (kanan)

Meski hidup pas-pasan, namun keluarga ini masih berusaha untuk bisa berbuat kebajikan. Sebuah celengan bambu terlihat di meja tamu rumah mereka. ”Kita sudah dibantu, sudah seharusnya kita juga bantu orang lain. Meski sedikit, senang rasanya bisa ikut bantu orang lain,” kata Tan Lian Sheng yang berencana menyerahkan celengan bambunya ke Tzu Chi jika sudah penuh terisi.

Tahun Baru, Harapan Baru
Seperti kebanyakan warga etnis Tionghoa lainnya, Kwe Kai Nio pun setiap tahun merayakan Imlek bersama keluarga. Yang membedakan dengan keluarga lainnya, tidak ada acara makan-makan ataupun suka ria di rumah nenek berusia 74 tahun ini. ”Yah paling ngumpul-ngumpul aja, terus sembahyang. Boro-boro masak-masak, nggak ada duit,” ujarnya polos.

Beralamat di Jelambar Baru No. 47, tempat tinggal Kwe Kai Nio ini terkesan jauh dari layak. Rumah yang sempit ini mesti dihuni oleh 17 orang, yang terdiri terdiri dari: 2 orang anaknya, 14 cucu, dan dia sendiri. Keempat anaknya yang lain mengontrak rumah tak jauh dari tempat tinggalnya. Anak-anaknya sendiri hanya sempat mengenyam pendidikan Sekolah Dasar. Hanya si bungsu saja yang bisa lulus SMA. ”Anak-anak saya juga susah, kerjanya cuma jadi kuli, supir, dan juga buruh,” terangnya.

foto

Ket : - Dengan penuh suka cita, Kwe Kai Nio berterima kasih pada insan Tzu Chi, demikian pula dengan insan
           Tzu Chi yang telah diberi kesempatan berbuat kebaikan.

Perjuangan hidup Kwe Kai Nio dalam membesarkan keenam anaknya memang tidak mudah. Suaminya, alm. Tan Tek Na, meninggal dunia di usia yang sangat muda, 30 tahun. Jadilah Kwe Kai Nio seorang ibu sekaligus seorang kepala keluarga. Menjahit di konveksi pun dilakoninya demi menghidupi keenam anaknya. ”Berangkat pagi, pulang jam 3 sore, makan. Berangkat lagi, pulang sampai jam 10 malam,” kata Kwe Kai Nio mengenang.

Ini ada sedikit bingkisan untuk Ibu,” kata Ana, relawan Tzu Chi. Kwe Kai Nio pun menerima bingkisan dan ang pau itu dengan haru. ”Banyak-banyak terima kasih ama relawan dan Yayasan Buddha Tzu Chi. Saya orang nggak mampu dah dibantu,” ujarnya haru.

Seperti bantuan-bantuan Tzu Chi lainnya, kegiatan ini pun memiliki arti yang sangat positif kepada mereka yang dibantu. Setiap orang tentu berhak merasakan kebahagiaan di hari yang istimewa, terlebih bagi mereka yang kemampuannya terbatas. ”Kita bersyukur bisa membantu mereka, sekaligus memberikan perhatian dan cinta kasih kepada mereka. Dengan diberi bantuan seperti ini, mereka akan menjadi lebih bersemangat dan bangkit kembali,” kata Usman. Dengan dukungan dan perhatian yang tulus, tentunya akan lebih mudah bagi para penerima bantuan ini untuk bangkit dan menata kehidupannya menjadi lebih baik. ”Mereka bisa memiliki harapan yang lebih baik dengan adanya kita yang memperhatikan mereka,” tambah Usman.

 

Artikel Terkait

Bertemu Dewa Penolong

Bertemu Dewa Penolong

06 Februari 2014 Hok Cun, seorang relawan Tzu Chi yang biasa membantu menangani pasien penerima bantuan segera menemui dokter spesialis bedah tulang James M. Palealu Sp. OT yang menangani pengobatan Hansiang.
Mari Menabung Berkah

Mari Menabung Berkah

23 Juni 2010
Ini kali keempat Liem Cun Bie pergi mendonorkan darah ke Yayasan Buddha Tzu Chi Kantor Perwakilan Tangerang. Sebelumnya ia juga pernah melakukan hal serupa saat mengantarkan sang istri melahirkan anak kedua
Saya Semangat, Saya Bahagia

Saya Semangat, Saya Bahagia

16 Juli 2014 Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, kantor penghubung Pekanbaru telah menggelar acara buka bersama dan pembagian amal. Dalam sesi acara ini, penerima bantuan diberikan kesempatan untuk menceritakan kisah hidupnya agar dapat dijadikan inspirasi bermanfaat bagi orang lain.
Benih yang kita tebar sendiri, hasilnya pasti akan kita tuai sendiri.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -