Berbagi Keceriaan di Tepi Lautan Sampah
Jurnalis : Metta Wulandari, Fotografer : Metta WulandariGuru Sekolah Tzu Chi Indonesia mengajak anak-anak Sekolah Pelangi Semesta Alam bermain bersama. Kegiatan tersebut adalah kunjungan pertama yang dilakukan oleh Sekolah Tzu Chi Indonesia yang sekaligus diadakan dalam rangkaian minggu humanis atau ren wen week yang biasa diadakan di Sekolah Tzu Chi Indonesia.
Sebanyak 100-an anak Sekolah Pelangi Semesta Alam berteriak kegirangan di sebuah ruangan kelas tanpa meja dan kursi. Mereka duduk melantai seperti rutinitas belajar-mengajar yang mereka jalani setiap dua kali dalam seminggu. Bedanya, hari itu mereka diajak belajar, bermain, bernyanyi, berbagi keceriaan dan tawa.
Sesekali tawa mereka menghilang diganti dengan tatapan penuh perhatian pada kakak-kakak pemandu di depan mereka. Namun tidak lama tawa mereka berhenti, mereka kembali tergelak dan lalu menirukan gerakan sang kakak pemandu. Sambil berteriak dan kembali tertawa, anak-anak itu mengacungkan jempol seraya menggoyangkan badan. Tawa mereka berbaur begitu renyah, wajah mereka pun riang tanpa beban.
Menanamkan Benih Kasih
Bertempat di Sekolah Pelangi Semesta Alam yang terletak di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, anak-anak itu berbaur dengan guru-guru Sekolah Tzu Chi Indonesia. Hari itu, mereka memanggil para guru dengan sebutan kakak pemandu. Orang tua murid Sekolah Tzu Chi yang tergabung dalam Parent Teacher Assosiation Early Childhood (PTA EC) juga turut lebur dalam kegiatan. Kegiatan kali itu adalah kunjungan pertama yang dilakukan oleh Sekolah Tzu Chi Indonesia yang sekaligus diadakan dalam rangkaian minggu humanis atau ren wen week yang biasa diadakan di Sekolah Tzu Chi Indonesia.
Tawa riang anak-anak mengisi ruangan, mereka sangat gembira menyambut para tamu dan melakukan permainan bersama.
Iing Felicia Joe, Kepala Sekolah TK Tzu Chi menuturkan kegiatan itu awalnya tercetus dari ide bahwa sebagai masyarakat harus bisa menempatkan diri di mana saja bukan hanya di sekolah sebagai orang tua murid atau guru. “Di sini kita belajar bagaimana memposisikan diri kita di luar sekolah dengan cara membagikan ilmu yang mudah dipahami anak-anak. Juga mengenai pengenalan budaya humanis,” ujar Iing. Selain memberikan pengetahuan mengenai budaya humanis yang dalam hal ini berkaitan dengan pengenalan karakter cinta lingkungan, mereka juga ingin memberikan sedikit kegembiraan pada anak-anak yang kesehariannya begitu akrab dengan sampah. “Kita juga menyalurkan kebaikan dari para orang tua murid dengan membagikan paket berupa peralatan sekolah,” tuturnya dalam kegiatan yang dilakukan pada 28 Februari 2015 itu.
Bagong Suyoto, pengelola sekolah menyambut baik kunjungan tersebut. Ia mengungkapkan rasa senangnya dengan menampilkan wajah ceria sepanjang acara. “Saya senang kalau ada tamu datang ke sini untuk membantu kita, memberikan pencerahan, dan ilmu-ilmu baru terutama tentang pendidikan,” ungkapnya sambil berharap anak-anak bisa mendapatkan manfaat dari kunjungan tersebut. Ungkapan senang juga diutarakan oleh Kemas Komalasari, sang Kepala Sekolah.
Dengan sedikit bantuan, keceriaan, dan penanaman pengetahuan mengenai lingkungan, Emil Atmadjaya, Ketua PTA EC berharap semoga karakter anak-anak yang tinggal di tepi lautan sampah tersebut bisa terbentuk dengan baik. “Semoga kepercayaan diri mereka tidak kalah dengan anak-anak yang tinggal di lingkungan lain,” ucapnya. Sejalan dengan hal tersebut, Tinnie Tiolani, relawan Tzu Chi yang aktif dalam bidang pendidikan mengungkapkan bahwa cinta kasih yang telah dirajut harus terus berlanjut dan kegiatan tersebut bisa menjadi benih kasih di dalam hati mereka. “Sehingga pada satu hari nanti mereka juga bisa memberikan kebahagiaan dan menginspirasi orang lain untuk berbagi cinta kasih pada sesama,” harap Tinnie.
Orang tua murid Sekolah Tzu Chi Indonesia yang tergabung dalam Parent Teacher Assosiation Early Childhood (PTA EC) juga turut lebur dalam kegiatan. Dalam kesempatan tersebut mereka menyalurkan kebaikan dari para orang tua murid dengan membagikan paket berupa peralatan sekolah kepada 100 anak.
Sebagian warga bermatapencaharian sebagai pemulung pendatang di lingkungan TPST. Lingkungan tempat tinggal yang berada di TPST diharapkan tidak memengaruhi pertumbuhan karakter baik dalam diri setiap anak.
Sekolah Prasejahtera
Sekolah Pelangi Semesta Alam merupakan sekolah non formal. Bagong, salah satu pendiri menyebutnya sebagai bimbingan belajar anak prasejahtera. “Yang formal baru PAUD dan TK-nya saja. Ada juga TPQ,” ucap Bagong. Guru di sekolah ini hanya lima orang dan hingga kini muridnya sudah ada sekitar 120 anak. Bagong menyebutkan, sekitar 30 persen anak di sekolahnya merupakan anak dari para pemulung. Sisanya, anak dari para warga yang tinggal di sekitar TPST.
Sekolah yang dibangun sejak 2011 ini berdiri berhadapan dengan gunungan sampah di TPST Bantargebang, Bekasi. Bagong mengatakan bahwa pembangunan sekolah merupakan usaha yang dirintis demi memberikan ketrampilan, ilmu, dan wawasan agar para warga di lingkungan tersebut menjadi orang yang minimal tahu apa yang terjadi dalam lingkungan mereka sendiri. “Agar mereka bisa berpikir cerdas,” ucapnya.
Bagong Suyoto (kanan) mengungkapkan ucapan terima kasih kepada Tinnie Tiolani yang mewakili Sekolah Tzu Chi Indonesia. Ia berharap bisa saling berbagi ilmu dan pengetahuan.
Bagong yang juga merupakan Ketua Dewan Pakar Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jakarta, tidak ingin SDM di lingkungan ini kalah dengan di tempat lain. Melalui sekolah ini ia mencoba untuk mengubah pola pikir warga. “Kebetulan di sini secara budaya maupun pendidikan itu lamban dan secara tradisi, sekolah formal itu masih tabu,” jelasnya. Ia bersama WALHI didukung oleh beberapa mahasiswa kemudian melakukan pendampingan dan survei pada 2009. Dari sana mereka merasa perlu mendirikan satu wadah sebagai pengayom pendidikan anak-anak sebagai penerus generasi orang tua.
Beruntung sambutan warga akan adanya sekolah dinilai baik dan terbuka sehingga sekolah tersebut hingga kini masih terus beroperasi dan siswa semakin meningkat. Kesadaran akan pentingnya pendidikan yang telah dimiliki oleh warga itu kini menorehkan harapan tersendiri pada Bagong. Ia ingin menciptakan pemimpin-pemimpin lokal melalui sekolah prasejahtera ini. “Semoga nanti bisa terwujud,” harapnya.