Selembar kertas menunjukkan beberapa garis besar catatan dari pembicaraan Master Cheng Yen. Untuk memaksimalkan penggunaan kertas, Master Cheng Yen pertama-tama menulis dengan pensil, kemudian pena tinta biru, pena tinta merah, dan terakhir baru menggunakan kuas.
“Bersyukurlah atas selembar kertas ini. Bersyukurlah atas setetes air ini. Karena rasa terima kasih Anda kepada mereka, Anda akan mencintai mereka, menghargainya, dan melakukan yang terbaik untuk melestarikan mereka.”
~ Master Cheng Yen~
*****
Kebiasaan berhemat dan melestarikan lingkungan terjalin dalam kehidupan sehari-hari di Griya Jing Si. Sudah ada sejak pertama didirikan.
Sumber daya sangat langka ketika Master Cheng Yen mendirikan tempat tinggal pertama di Hualien, Taiwan Timur, lebih dari setengah abad yang lalu. Master dan murid-muridnya berusaha menghidupi diri mereka dengan memegang teguh prinsip untuk tidak menerima persembahan dari orang lain. Mereka menjahit sepatu bayi, mengubah kantong semen menjadi kantong pakan ternak yang lebih kecil, menanam sayuran sendiri, dan melakukan pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Meski begitu, penghasilan mereka hampir tidak cukup untuk menghidupi diri mereka sendiri.
Di tengah kehidupan yang sulit itu, Master Cheng Yen mengajak murid-muridnya untuk menghargai dan melestarikan semua yang mereka miliki. Dengan melakukan itu, mereka dapat memperpanjang usia benda, mengurangi pengeluaran, dan bahkan mengurangi jumlah sampah yang mereka hasilkan. Dengan demikian, gaya hidup hemat dan pelestarian lingkungan dibangun di Griya Jing Si.
Master Cheng Yen adalah perwujudan hidup dari ajarannya sendiri. Mengesampingkan kebutuhan untuk menjalani hidup hemat, beliau sangat menghargai segala sesuatu yang melewati tangannya. Misalnya, kebanyakan orang menggunakan selembar kertas satu kali sebelum membuangnya, tetapi Master tidak. “Saya tidak bisa memaksa diri saya untuk membuang selembar kertas hanya setelah sekali penggunaan,” kata Master Cheng Yen. Sebaliknya, Master memperpanjang umur dan kegunaannya dengan menulis di atasnya terlebih dahulu dengan pensil, kemudian pena tinta biru, lalu pena tinta merah, dan terakhir dengan kuas.
Buku catatan yang terbuat dari kertas bekas di pinggiran kuitansi donasi. Master Cheng Yen menulisnya berulang kali untuk menghemat kertas.
Contoh lain dari kebiasaan pelestarian lingkungannya adalah buku catatan memo yang Master gunakan, yang terbuat dari kertas, yang tidak terpakai di tepi kwitansi sumbangan. Master tidak ingin margin kwitansi yang tidak terpakai menjadi sia-sia, jadi Master memiliki kertas ekstra dari margin yang dibuat menjadi notes untuk digunakan. Dia bahkan menulis berulang kali pada potongan kertas kecil ini untuk memanfaatkannya secara menyeluruh.
Sikap yang sama berlaku untuk penggunaan air. Master Cheng Yen tahu bahwa air adalah sumber daya yang sangat berharga dan harus digunakan dengan hati-hati. Master memastikan bahwa tidak ada setetes pun yang terbuang percuma. Master menyimpan baskom berisi air yang beliau gunakan untuk membasuh wajahnya di pagi hari untuk mencuci tangannya sepanjang hari. Air pancurannya dikumpulkan dan digunakan untuk menyiram toilet.
Master Cheng Yen bahkan tidak tahan melihat air hujan terbuang percuma. “Kita harus menghargai dan merawat semua sumber daya di dunia,” kata Master. Air hujan ditampung dan disimpan di waduk yang dibangun di ruang bawah tanah Gedung Tzu Cheng di Griya Jing Si. Kemudian digunakan untuk menyiram tanaman, membersihkan toilet dan kamar mandi.
Master juga menghemat listrik dengan menggunakan seminimal mungkin. Ruang kerjanya biasanya gelap. Jika Master memang membutuhkan cahaya untuk membaca, beliau hanya menyalakan lampu mejanya. Master mempraktikkan kebiasaan ini hari demi hari selama lebih dari setengah abad.
“Matikan lampu saat tidak digunakan” adalah sesuatu yang sering Master ingatkan agar dilakukan semua orang. Sama seperti saat Master mendorong semua orang untuk tidak membiarkan air keran mengalir saat tidak dipergunakan.
Master Cheng Yen juga mempermasalahkan mereka yang terlalu sering mengganti ponsel atau barang lain yang mereka miliki. Beliau mendorong orang untuk bersyukur atas semua yang mereka miliki. Dengan begitu, mereka akan menghargai dan merawat semua yang mereka punya. Mereka akan puas dengan apa yang mereka miliki dan membuatnya bertahan selama mungkin.
“Bersyukurlah atas selembar kertas ini. Bersyukurlah atas setetes air ini,” kata Master. “Karena rasa terima kasih Anda kepada mereka, Anda akan mencintai mereka, menghargainya, dan melakukan yang terbaik untuk melestarikan mereka.”
Jangan Sia-Siakan
Kantong plastik besar didaur ulang menjadi celemek untuk dipakai orang-orang di Griya Jing Si ketika mereka mencuci piring atau mencuci sayuran.
Mengikuti ajaran dan teladan Master Cheng Yen, para biksuni di Griya Jing Si menghargai air seolah-olah itu adalah emas. Saat mencuci pakaian, mereka memeras pakaian sekering mungkin dan menyimpan setiap tetes air untuk digunakan setelahnya. Mereka juga mengumpulkan air untuk mencuci tangan dan menggunakannya untuk menyiram toilet. Air yang digunakan untuk mencuci sayuran disimpan kembali untuk nantinya digunakan untuk mengepel lantai atau menyiram tanaman dan sayuran. Air yang digunakan untuk mencuci beras, disisihkan untuk irigasi, atau untuk mencuci panci dan wajan.
Beberapa biksuni di Griya Jing Si tidak pandai bicara dalam mengajak orang untuk mempraktikkan pelestarian lingkungan, tetapi mereka mengembangkan cara hidup penuh syukur dan berhemat dengan cara yang sama, yakni mempraktikkan ajaran Master secara diam-diam dengan segala cara yang memungkinkan. Mereka mematikan lampu setelah digunakan dan memperhatikan orangorang yang secara tidak sengaja meninggalkan lampu tersebut menyala. “Ini rumah saya,” kata mereka, “tentu saja saya akan melakukan halhal yang terbaik untuk itu.”
Master De Quan mengawasi urusan umum di Griya Jing Si. Beliau adalah seorang yang taat dan percaya pada semua yang Master Cheng Yen ajarkan. Master De Quan berpegang pada prinsip “Jangan pernah membeli barang baru jika yang lama masih bisa digunakan”. Barang yang dapat digunakan di Griya Jing Si seringkali mengalami perbaikan sampai benarbenar tidak bisa digunakan. Bahkan ketika tidak dapat diperbaiki lagi, bagian-bagiannya kadang-kadang masih dimanfaatkan untuk kegunaan lain.
Misalnya, Master De Quan akan membongkar kipas angin yang rusak dan mengubah penutup baling-balingnya menjadi rak pengering untuk cucian. Lalu rak besi yang sudah tidak dipakai bisa didaur ulang menjadi tempat cucian dengan menambahkan sedikit karet ban yang elastis. Yang lainnya yakni, botol dengan pompa yang sangat berguna seperti botol sampo, sabun, dan lainnya yang sering langsung dibuang saat isinya habis. Master De Quan akan mengubah dispenser pompanya untuk digunakan dalam botol sabun pembersih yang lebih besar.
Beberapa waktu lalu, semua bantal di penginapan relawan pria di Griya Jing Si diganti dengan yang baru. Memanfaatkan waktu luangnya, Master De Quan menghabiskan tujuh hari menjahit bantal-bantal tua itu menjadi kasur besar. Dia memastikan tidak ada yang terbuang percuma.
Contoh seperti ini sangat banyak sekali. Master De Quan terus menerus memanfaatkan akal untuk memperluas kegunaan suatu benda. Berkat kepiawaiannya, beliau tidak hanya mengurangi biaya pengeluaran di Griya Jing Si tetapi yang lebih penting, memperpanjang dan menghidupkan kembali masa guna benda-benda.
Memimpin Jalan, Menjadi Teladan
Para biksuni di Griya Jing Si menggunakan pelindung baling-baling kipas yang rusak yang telah diubah menjadi rak pengering untuk cucian.
Salah satu cara para biksuni di Griya Jing Si menghidupi diri mereka sendiri adalah dengan membuat beras instan dan bubuk multigrain untuk dijual. Lalu dari mana bahan baku pembuatan karung beras dan kantong plastik besarnya didapatkan?
Selain menggunakan kembali kantong plastik, para biksuni di Griya Jing Si membuat karung beras menjadi berbagai macam tas jinjing. Kata Perenungan Master Cheng Yen tertulis di tas untuk menambah daya tarik. Belajar dari para biksuni, relawan Tzu Chi di Afrika juga melakukan hal yang sama. Karung-karung tersebut awalnya berisi beras sumbangan pemerintah Taiwan untuk dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan di negara lain.
Celemek yang dipakai para biksuni di Griya Jing Si saat mereka mencuci sayuran atau mencuci piring juga terbuat dari kantong plastik daur ulang. Banyak relawan memuji kreativitas para biksuni ini. “Ini sangat kreatif. Saya akan menirunya,” kata beberapa orang.
“Celemek plastik dijual seharga sepuluh dolar Taiwan [35 sen AS] di pasaran,” kata seorang biksuni, “tapi kalau kita membuatnya dari plastik daur ulang, semuanya gratis.”
Selain itu, ada banyak makanan yang harus dimasak di Griya Jing Si untuk ratusan orang. Kemasan dan kantong plastik tempat makanan dan bahan-bahan juga didaur ulang dengan hati-hati — setelah dicuci dan dijemur.
Master De Huan dulunya adalah orang yang membersihkan dan menyortir kemasan (tas) itu untuk didaur ulang. “Master Cheng Yen mendorong semua orang untuk membersihkan barang-barang daur ulang mereka sebelum membuangnya,” kata Master De Huan. “Kami di Griya Jing Si memiliki tanggung jawab untuk memberikan contoh yang baik dan memimpin jalan.” Dia melakukan pekerjaan daur ulang di luar tugas formalnya. Dia mencoba menyediakan waktu sebanyak mungkin untuk itu, mengetahui bahwa semakin banyak usaha yang dia lakukan, Bumi akan semakin bersih pula.
Terkadang dia bekerja hingga pukul delapan atau sembilan malam. Awalnya dia ragu bahwa dia akan mampu, tetapi dia bersikeras. “Karena saya telah memilih untuk mengikuti Master Cheng Yen, saya harus melakukan apa yang beliau ingin kita lakukan,” tekadnya.
Mempersiapkan barang untuk didaur ulang membutuhkan banyak waktu, terlebih untuk tas yang kotor maupun berminyak. Nah, Master De Huan menjadi sukarelawan untuk membersihkannya selama tiga tahun, setelah itu Master De Xi mengambil alih. Seperti pendahulunya, dia sepenuh hati menjalankan misi, mengetahui bahwa apa yang dia lakukan baik untuk kesehatan Bumi tercinta. “Saya tidak pernah berpikir banyak tentang apa yang saya lakukan. Kalau menyangkut hal yang benar, kita harus melakukannya,” katanya, menyimpulkan pemikirannya.
Relawan dari Yilan, Taiwan Utara, bertanggung jawab untuk mengumpulkan tas-tas tersebut di Griya Jing Si dan mengangkutnya untuk didaur ulang. Mereka mengatakan bahwa tas yang diproses di Griya Jing Si sangat bersih dan tersortir dengan baik sehingga dapat dikirim langsung ke pabrik untuk dilebur menjadi pelet poliester untuk diproses lebih lanjut.
Bebas Limbah Dapur
Griya Jing Si Jing Si seperti sebuah keluarga besar, dimana persediaan makanan yang stabil sangat penting. Sayuran kering seperti kubis dan kembang kol termasuk di antara yang secara teratur disimpan untuk digunakan nanti. Tas yang digunakan untuk menyimpan sayuran kering juga didaur ulang.
Seorang biksuni di Griya Jing Si mengupas kacang Inka yang ditanam di lingkungan griya, mereka hanya menggunakan satu lampu meja di ruangan gelap untuk menghemat listrik. Para biksuni di Griya Jing Si menjalani gaya hidup hemat dan pelestarian lingkungan.
Karena Covid-19, banyak hasil pertanian tidak dapat diekspor dari Taiwan pada Februari dan Maret 2020. Menanggapi hal itu, Griya Jing Si membeli truk bermuatan penuh kembang kol, kubis, dan bengkoang dari petani untuk membantu mereka. Sayuran tersebut kemudian diolah dan dikeringkan untuk disimpan. Bahkan setelah cukup banyak yang dibeli untuk memenuhi persediaan di Griya Jing Si, Master Cheng Yen meminta murid-muridnya di sana untuk tetap membeli dari para petani. Selain menabung untuk musim hujan, Master Cheng Yen tidak ingin kerja keras petani terbuang percuma. Makanan tambahan yang mereka beli di luar kebutuhan mereka sendiri selalu dapat disumbangkan kepada orang-orang yang membutuhkan.
Di Griya Jing Si, sayuran dikeringkan dengan api. Mesin pengering tanpa asap model lama yang menggunakan kayu sebagai bahan bakar dapat digunakan. Kayu yang digunakan untuk bahan bakar mesin didaur ulang dari palet pengiriman yang dibuang. Relawan mengangkut palet tersebut ke Griya Jing Si, lalu memotongnya menjadi potongan-potongan agar lebih mudah untuk dimasukkan ke mesin pengering.
Sudah lama menjadi tradisi di Griya Jing Si untuk mengeringkan dan mengawetkan makanan untuk digunakan nanti. Pada masamasa awal ketika Griya Jing Si pertama kali didirikan, para biksuni sering tidak tahu dari mana mereka bisa mendapatkan makanan lagi. Tidak heran jika makanan sangat dihargai dan tidak ada bagian sayuran yang terbuang. Seperti lobak, misalnya. Bahkan kulit dan batangnya dimasak sebagai makanan atau diawetkan untuk digunakan nanti. Master De Ru berkata bahwa keadaan darurat membuat para biksuni mengembangkan kebiasaan berhemat. Tradisi tidak menyia-nyiakan makanan telah bertahan di Griya Jing Si sejak saat itu.
Di banyak rumah tangga, sampah kedelai atau kulit buah dibuang ke tempat sampah. Namun tidak demikian di Griya Jing Si: dapur di sana tidak menghasilkan limbah. Ampas kedelai dibuat menjadi makanan seperti daging vegetarian. Sisa makanan yang tidak bisa dimakan didaur ulang menjadi kompos untuk menyuburkan tanah dan menumbuhkan lebih banyak tanaman. Kulit buah digunakan dalam pembuatan sabun atau sebagai sumber eco enzyme untuk keperluan pembersihan. Bahkan ranting dan daun pohon yang dipangkas tidak sampai terbuang percuma. Mereka diparut dan dijadikan kompos.
Master De Ding telah tinggal dan melakukan latihan spiritual di Griya Jing Si selama 33 tahun. Dia bertanggung jawab atas pekerjaan daur ulang di sana selama 20 tahun terakhir dan menangani barang-barang yang dapat didaur ulang setiap hari. Dia mengatakan bahwa banyak orang tahu daur ulang itu penting dan perlu, tetapi tidak banyak orang yang dengan sungguh-sungguh melakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Itulah mengapa dia sangat mengagumi relawan daur ulang Tzu Chi yang bekerja di berbagai komunitas.
“Mereka dengan rela turun tangan untuk mengumpulkan dan mendapatkan kembali sumber daya yang dapat digunakan kembali tidak peduli apa status ekonomi atau status sosial mereka. Mereka tidak keberatan dengan bau busuk dari sampah atau apakah tangan mereka kotor. Mereka bahkan tidak menghindar dari pekerjaan ketika ancaman Covid-19 sangat parah. “
Dari Griya Jing Si hingga komunitas di Taiwan dan luar negeri, anggota keluarga Tzu Chi mengikuti ajaran dan teladan pribadi Master Cheng Yen dan melakukan apa yang mereka bisa untuk membantu Bumi. Meskipun satu orang mungkin tidak dapat mencapai banyak hal, ketika kerja dan upaya banyak orang disatukan, perbedaan besar mungkin terjadi.
Alih Bahasa: Metta Wulandari